Eks anggota Tim Pencari Fakta (TPF) kematian Munir Said Thalib sekaligus politikus Partai Demokrat, Rachland Nashidik menyebut bahwa dokumen laporan akhir TPF sudah dibagikan oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kepada para penegak hukum.
Dokumen itu dibagikan SBY setelah menerima laporan akhir dari TPF. Dengan itu Rachland menyebut anggapan bahwa laporan tersebut hilang adalah omong kosong penguasa.
"Omong kosong laporan TPF Munir hilang. Laporan pasti ada di Istana, tapi juga di laci para penegak hukum. Pada hari laporan itu disampaikan, Presiden SBY membagikannya pada mereka. Mungkin omong kosong hilang itu cermin upaya penguasa mengelak desakan mengusut sekutunya sendiri?" kata Rachland dalam akun Twitternya @rachlannashidik yang sudah diizinkan untuk dikutip oleh Bakomstra DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Selasa (7/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, opini yang berkembang bahwa laporan TPF dihilangkan pada masa pemerintahan SBY adalah kabar bohong atau hoaks. Fakta sebaliknya, Rachland menyebut di era SBY sejumlah aktor utama yang terlibat pembunuhan tersebut sudah mendapat hukuman.
"Dari Garuda hingga BIN, sudah dilakukan. Tapi rantai kasus putus karena Muchdi PR, Deputi V BIN saat Munir dibunuh, dibebaskan pengadilan," kata Rachland.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Muchdi Pr yang didakwa telah membunuh Munir pada 31 Desember 2008 lalu. Putusan ini bertolak belakang dengan tuntutan jaksa yang menghendaki divonis 15 tahun penjara atas kasus tersebut.
Lebih lanjut, Rachland menilai pemerintahan SBY kala itu memutuskan agar laporan TPF tak dibuka selama penyidikan masih berlangsung. Ia mengklaim saat itu pihak TPF Munir tak mempersoalkan karena faktanya hukum tengah bekerja saat itu.
"Kebutuhan agar laporan TPF dibuka baru terasa kuat saat kasus setop di masa Jokowi," kata Rachland.
Rachland lantas merefleksikan bahwa TPF Munir menjadi bukti kerja sama antara negara hukum dengan masyarakat sipil bisa terjadi meski penuh dinamika
"TPF diisi bukan hanya aktivis LSM namun juga aparat hukum dan birokrasi negara. Retno Marsudi, kini Menlu RI, salah satu anggotanya," tambah dia.
SBY sempat menerbitkan Keppres Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan TPF Kasus Munir saat masih menjabat sebagai presiden. TPF kala itu dipimpin oleh Brigadir Jenderal Polisi (Purn) Marsudi Hanafi serta beranggotakan sejumlah aktivis.
Setelah tim dibubarkan, hasil penyelidikannya diserahkan ke SBY pada 24 Juni 2005. Namun, hingga kini, temuan itu tidak kunjung diungkap ke publik.
Lalu, pada pertengahan Februari 2016 terdapat kabar bahwa laporan tersebut diklaim hilang. Kemensetneg mengklaim tidak menguasai dokumen dimaksud.
Sengketa ini kemudian dibawa oleh KontraS ke Komisi Informasi Pusat yang menghasilkan putusan bernomor register 025/IV/KIP-PS-2016 pada 10 Oktober 2016.
Putusan KIP menginstruksikan pemerintah segera mengumumkan secara resmi informasi hasil penyelidikan TPF kasus meninggalnya Munir kepada masyarakat. Namun keputusan ini digugat oleh Tim Biro Hukum Kementerian Setneg ke PTUN yang hasilnya membatalkan putusan KIP tersebut.
Dalam permohonannya, Setneg keberatan atas perintah KIP untuk mengumumkan secara resmi hasil penyelidikan TPF kasus pembunuhan Munir kepada masyarakat.
Tim Advokasi kasus pembunuhan aktivis HAM Munir lantas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, MA menolak dan menguatkan putusan PTUN tersebut pada 2017. Mereka berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK) putusan tersebut pada 2018 lalu.
(rzr/wis)