Jakarta, CNN Indonesia --
Dokumen transkrip percakapan Whatsapp yang diduga dilakukan oleh terdakwa kasus upaya pengurusan fatwa bebas buron KPK Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki Sirna Malasari dan pengacara Anita Kolopaking menyebut kata 'istana' dan DPR.
Dokumen tersebut diserahkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dalam sidang praperadilan pada Rabu (22/9) dengan tergugat KPK mengenai penghentian supervisi dan penyidikan kasus fatwa Pinangki di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Sebagian transkrip sendiri dibacakan di persidangan pada Selasa (21/9) lalu.
Kata 'istana' disebut oleh Pinangki dalam percakapan yang berlangsung tanggal 26 November 2019. Saat itu, keduanya membicarakan mengenai upaya membatalkan grasi atau pengampunan.
"Ini grasi kalau diproses bubar semua lho. Minta ditanyakan ke S (huruf ditutup) mbak, bagaimana cara mencabutnya. Saya sudah hubung A (huruf ditutup)," kata Pinangki.
"Ibu tinggal pantau posisi di MA. Saya sudah jagain di istana," lanjut Pinangki.
"Besok saya pantau ya," jawab Anita.
Keduanya lantas membicarakan mengenai grasi yang diberikan Presiden Jokowi kepada Annas Maamun. Menurut Anita, dengan pemberian grasi seseorang akan dicap seumur hidup dan membuat keturunan penerima grasi mengetahui bahwa ia terkena hukum pidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi kan dicap seumur hidup dan keturunannya tahu sebagai orang yang terkena hukuman pidana. Apa mau?" tanya Anita.
"Kita tetap pada scheme awal," jawab Pinangki.
Tidak hanya istana, percakapan Anita dan Pinangki juga menyebut Komisi III DPR RI. Percakapan ini berlangsung pada 1 Desember 2019.
Mulanya, Pinangki menanyakan mengenai komunikasi 'sepri' pribadi Bapak Pinangki dan Anita.
"Kapan sepri bapaknya ibu hubungi sepri bapak saya? Sampai sekarang kata bapak saya masih belum dihubungi," kata Pinangki.
"Besok pagi akan dihubungi, karena jadwal dengan DPR Kom III ditunda jadi bisa terima besan," jawab Anita.
Dalam transkrip percakapan itu, hubungan antara keduanya sempat tegang saat Pinangki meminta agar Anita tidak merekam percakapan dalam suatu pertemuan yang dilakukan.
"Ibu, jangan direkam ya (consider last time ibu rekam KMA dan JC) karena pembicaraan kita begitu pribadi," kata Pinangki.
Menanggapi ini, Anita membantah telah merekam pertemuan mereka. Menurut Anita, handphone nya tidak berada di atas meja tanpa merekam. Ia mempertanyakan sikap Pinangki yang tidak mempercayainya.
"Astaghfirullahalaziim, saya tidak ada rekaman mbak, mbak khan tadi lihat sendiri. Tidak ada HP saya di atas meja dan tidak rekaman. Kok jadi tidak percaya saya?" jawab Anita.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Sobandi enggan menjawab temuan MAKI yang menyeret Ketua MA dalam sengkarut penanganan buron Djoko Tjandra. Ia meminta hal tersebut ditanyakan ke Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro.
"Coba ke juru bicara ya," ujar Sobandi saat dikonfirmasi melalui keterangan tertulis, Kamis (23/9).
Sementara itu, hingga berita ini ditulis Andi Samsan Nganro belum menjawab permohonan klarifikasi. Pesan tertulis dan sambungan telepon yang dilayangkan tidak mendapat respons.
Hubungan keduanya meruncing saat Anita mempersoalkan fee yang ia terima sebagai pengacara Djoko Tjandra melalui tangan Pinangki pada 31 maret 2020. Anita mempersoalkan ia hanya mendapatkan uang US$50 ribu dari Pinangki.
Ia lantas mempersoalkan hal ini langsung ke Djoko Tjandra. Namun, Djoko Tjandra membantah hanya memberikan uang US$50 ribu. Menurut Anita, buron KPK itu mengaku memberi US$100 ribu untuk Anita. Sementara, Pinangki mengaku hanya mendapat US$150 ribu.
"Saya cocokkan info mbak ke bapak. Lalu bapak mengatakan itu tidak benar, karena bapak serahkan US$500 ribu. Jadi mana yang benar? Mbak bilang hanya diberi US$150 ribu. Bapak bilangnya US$500 ribu beri ke mbak," protes Anita.
Merespons ini, Pinangki menolak membicarakan apapun melalui Whatsapp. Menurutnya, pengalaman menunjukkan bahwa Anita merekam percakapan Ketua MA dengan sosok Joe Chan.
"Saya nggak bicara apapun di WA ya ibu, pengalaman menunjukkan bahwa Ketua MA dan Joe Chan saja ibu Anita rekam. Apalagi cuma saya," kata Pinangki.
Setelah itu, hubungan Anita dan Pinangki terus tegang. Anita terus mempertanyakan dan memohon agar fee yang semestinya ia dapatkan dari Djoko Tjandra diberikan oleh Pinangki.
Menurut Anita, sejak awal Pinangki sudah menekankan bahwa fee yang bakal diterima Anita sebesar US$200 ribu dan akan dibayarkan ketika ia hendak menyodorkan offering letter (surat penawaran). Namun, menurut Anita, Pinangki mengatakan bahwa offering itu tidak perlu. Sebab, begitu beres ia akan membayar 50 persen.
"Saya sedih waktu itu, tapi saya harus percaya kepada Mbak. Tapi kemudian bapak bilang sudah bayar saya 50 persen dan menyerahkannya 500 ribu," kata Anita.
Dikejar-kejar oleh Anita, Pinangki terus mengelak. Ia tetap mengaku hanya menerima US$150 ribu dari Djoko Tjandra. Menurutnya, titipan dari Djoko Tjandra untuk Anita sebagai pengacara hanya US$50 ribu.
"Sumpah demi Allah ya ibu itu titipan Joe Chan fee sebenar 50 ribu untuk ibu. Fee lawyer. Masak saya ditagih," kata Anita.
Namun, Anita tidak percaya. Menurutnya, Djoko Tjandra meminta agar ia menagih haknya sebagai pengacara kepada Pinangki yang sudah dibayarkan 50 persen dengan nominal US$100 ribu. Sementara, ia baru menerima US$50 ribu. Menurut Anita, Djoko Tjandra menyebut Pinangki sebagai penipu dan pencuri.
"Bapak bilang ibu penipu dan pencuri. Itu yang terus bapak bilang ke saya," ujar Anita pada 31 Maret 2020.
Sebelumnya, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mempersoalkan keputusan KPK menghentikan supervisi dan penyidikan kasus fatwa Pinangki dalam perkara Djoko Tjandra.
Boyamin lantas menggugat perkara ini ke PN Jaksel. Dalam gugatannya, ia menyebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah memutus perkara Pinangki tersangka lainnya menyatakan terdapat sosok aktor intelektual atau King Maker dalam upaya membebaskan Djoko Tjandra dari jeratan kasus hak tagih Bank Bali.
"Namun Majelis Hakim menyatakan tidak mampu menggali siapa King Maker sehingga menjadi kewajiban KPK untuk menemukan peran King Maker," kata Boyamin dalam gugatannya.
Dalam persidangan itu, MAKI juga menyerahkan sejumlah dokumen yang dinilai menjadi bukti untuk mengungkap King Maker kasus fatwa Pinangki. Salah satu dari barang bukti tersebut merupakan transkrip percakapan Pinangki dengan dengan Anita Kolopaking terkait sosok King Maker kasus Djoko Tjandra.