Terkait tes PCR sebagai syarat perjalanan, menurut Dicky kurang tepat jika digunakan sebagai strategi kesehatan masyarakat (tools public health). Sebab, harga PCR masih terbilang mahal.
Sedangkan, kata Dicky, prinsip strategi kesehatan masyarakat itu berkelanjutan, beda dengan diagnosis penyakit di RS. Sehingga, harus dipertimbangkan aspek efektivitas biayanya.
Menurutnya, tes antigen sudah cukup. Selain harganya relatif lebih murah, sensitivitas antigen juga sudah mencapai 97 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga :SUARA ARUS BAWAH Tes PCR Bikin Biaya Transportasi Bengkak, Warga Minta Subsidi |
"Ini ada kesalahpahaman atau memahami testing sebagai strategi kesehatan masyarakat dengan testing sebagai diagnosa penyakit di RS," ujarnya.
"Untuk strategi public health saat ini sejak September tahun lalu di mana WHO sudah merekomendasikan rapid test sudah bisa. Kalau PCR itu tidak cost effective. Kita kan bukan negara yang resources-nya banyak," imbuhnya.
Senada, Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko menganggap tes PCR sebagai syarat perjalanan harus dipertimbangkan kembali.
Menurutnya, syarat tes PCR itu terlalu memaksakan. Sebab, pemerintah tak menanggung biaya tersebut. Sementara itu, harga yang dipatok masih tinggi.
![]() |
"Menurut saya, memaksakan PCR itu pada screening semua penumpang itu bisnis. Jadi bukan tujuannya melakukan screening. Tidak cost effective. Kenapa dipaksain, Ya Allah, betapa bodohnya yang maksain," kata Miko kepada CNNIndonesia.com, Kamis (28/10).
"Tes ditanggung tiap orang. Kalau mau dipaksain, pemerintahnya kuat dong. Pemerintahnya wong enggak kuat," imbuhnya.
Menurut Miko, dalam upaya antisipasi gelombang tiga, pemerintah justru harus lebih efektif, efisien dan tepat. Mengingat, sudah hampir dua tahun pandemi melanda Indonesia.
Miko memberi contoh lain, pemerintah seharusnya jangan hanya melarang bepergian, tapi juga memastikan tidak ada kerumunan. Sebab, kerumunan itu lah yang justru mempercepat laju penyebaran Covid-19.
Selain itu, ketaatan protokol kesehatan juga harus diperhatikan. Bahkan, kata Miko, pemerintah seharusnya memasukkan prokes ke dalam peraturan yang jelas seperti Undang undang.
"Penggunaan masker harusnya diwajibkan jadi dimasukan ke undang-undang. Yang enggak ada aturan itu adanya Inmendagri tapi background-nya UU Karantina. Dasar hukumnya enggak pas," imbuhnya.
(yla/arh)