Ahli soal Syarat PCR Buat Naik Pesawat: Pemerintah Harus Konsisten

CNN Indonesia
Selasa, 26 Okt 2021 20:41 WIB
Syarat hasil negatif PCR buat naik pesawat merupakan upaya dari pemerintah untuk memperlambat penularan Covid-19 yang saat ini masih belum selesai.
PCR di Bandara Soekarno-Hatta. (Foto: CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ahli Biologi Molekuler, Ahmad Rusdan menyebut pemerintah harus konsisten untuk menjadikan hasil negatif PCR sebagai syarat untuk bepergian menggunakan pesawat.

Dalam pandangan positif Ahmad, syarat hasil negatif PCR buat naik pesawat merupakan upaya dari pemerintah untuk memperlambat penularan Covid-19 yang saat ini masih belum selesai. Meskipun angka paparan sudah jauh menurun, tapi secara teknis Indonesia belum bisa dinyatakan bebas dari Covid-19.

Sebab itu, penting bagi masyarakat maupun pemerintah untuk tidak mengendurkan protokol kesehatan. Hanya saja, dalam membuat kebijakan aturan, pemerintah juga harus memikirkan beberapa pertimbangan, termasuk jauhnya jarak serta waktu tempuh yang dihabiskan dalam sebuah perjalanan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Aturan wajib PCR buat naik pesawat ini merupakan sisi kehati-hatian pemerintah. Tapi pemerintah harus konsisten juga dong. Kalau pesawat pakai PCR, kereta api juga. Karena dari segi jarak, jauh dan waktu perjalanannya juga lebih lama. Kalau mau konsisten semua transportasi jarak jauh harus pakai PCR juga, jangan tanggung-tanggung," kata Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/10).

"Tujuan dari banyaknya syarat ini kan untuk memperlambat euforia masyarakat saat ini karena angka paparan sudah jauh menurun. Tapi diingatkan ini belum selesai, makanya dibuat banyak penghalang. Kalau jadi kesulitan memang, tapi khusnuzonnya ini upaya menghambat modus penularan dari sisi virus," lanjutnya menambahkan.

Saat ini, studi paparan virus Covid-19 di dalam pesawat disebut Ahmad belum ada. Tapi, biasanya setelah kejadian baru akan dianalisa.

Kehadiran varian Delta beberapa waktu lalu juga disebut membuat perjalanan virus menjadi lebih cepat. Dalam perjalanan jarak jauh yang membutuhkan waktu tempuh lebih lama, dibutuhkan proteksi lebih supaya penyebaran virus bisa diredam.

Terlebih, lanjut Ahmad, jika perjalanan memasuki wilayah dengan fasilitas kesehatan yang tidak sesolid dari wilayah awal keberangkatan. Meskipun, dalam pelaksanaannya penularan bisa terjadi di dalam pesawat maupun di luar pesawat.

"Pesawat biasanya punya filter berlapis untuk memastikan keamanannya. Tapi di Bandara, di luar pesawat banyak interaksi. Meskipun sudah divaksin dua kali untuk memproteksi individu dan mengurangi risiko gejala, tapi orang yang sudah divaksin khawatir bisa menularkan virus ke orang yang belum divaksin jika protokol kesehatan tidak diterapkan dengan ketat," jelasnya.

Meski belum bisa memberikan penjelasan utuh soal studi penularan Covid-19 di pesawat, Ahmad memungkinkan hal itu terjadi pada saat makan karena membuka proteksi masker. Meskipun social distancing atau pengaturan jarak sudah dilakukan.

"Maka itu, orang dalam perjalanan itu ditakutkan membawa virus dan yang sensitif akan virus itu melalui tes PCR bukan antigen. Sebab itu yang diminta PCR untuk orang yang melakukan perjalanan jauh dengan transportasi umum," ungkap Ahmad.

Sementara itu, Epidemiolog Dicky Budiman menegaskan bahwa testing itu penting. Tapi kalau semua hal dimulai dengan testing itu tidak membuat cost effective dan terlebih, WHO atau Badan Kesehatan Dunia tidak pernah menyarankan hal itu.

"Selain efektifitas belum terbukti, secara ongkos juga akan jadi masalah, karena apa? Harus diketahui kecuali bicara ongkos, walaupun pemerintah menggratiskan [tes PCR], kalau semua di tes tetap akan tidak efektif dan efektifitas jadi diragukan."

"Buat apa? itu memakan resources, waktu dan uang. Sedangkan dalam situasi ini kita harus pintar-pintar memilih strategi, selain efektif juga cost efektif dan berkesinambungan," kata Dicky.

Efektif yang dimaksud Dicky yakni testing dilakukan untuk orang-orang yang rawan dari risiko, memiliki kontak erat dengan yang terpapar dan mereka yang bergejala. Tidak hanya soal testing, lanjut Dicky, tracking, isolasi dan karantina juga harus jelas.

Bicara soal transportasi umum, Dicky menjelaskan pemerintah harus membuat kebijakan secara jelas. Misalnya, secara umum di dunia tidak ada negara yang meminta masyarakatnya untuk melakukan testing untuk perjalanan yang bersifat domestik, baik itu melalui bus, kereta maupun pesawat.

Tapi, negara melakukan pembatasan melalui penerapan protokol kesehatan, social distancing untuk semua moda transportasi dengan pembatasan kapasitas, penambahan armada, dll. Selain itu, Dicky menyarankan juga ada penguatan dari sistem skrining orang yang akan menggunakan transportasi umum.

"PeduliLindungi itu wajib, sudah benar. Tapi vaksin tidak bisa dijadikan syarat sebetulnya kalau untuk moda transportasi darat dan laut. Untuk persyaratan vaksin seharusnya dicari yang penggunanya sedikit, misal transportasi udara. Apalagi vaksinasi belum merata, bukan karena mereka tidak mau tapi misalnya masih antre, jadi nanti diskriminatif," beber Ahmad.

Di sisi lain, PCR itu disebut Dicky sebagai golden standar tracking Covid-19 dibanding Antigen. Tapi selain efektivitas, kecepatan, kemudahan dan ketepatan, aksesibilitas masyarakat juga harus dipertimbangkan.

Saat ini PCR dianggap mahal, sekalipun Presiden Joko Widodo telah meminta untuk menurunkan harga menjadi Rp300 ribu per testing. Namun, di Indonesia, kemampuan publik untuk membayar PCR atau willingness to pay, lanjut Dicky masih jauh di bawah itu.

"Sebab itu harus ada kajian matang soal penerapan PCR ini. Pemerintah harus membuat kajian, selektif dan menerapkan social distancing, pembatasan kapasitas. Pemerintah tidak bisa buat kebijakan yang sifatnya general," tutup Dicky.

(mik)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER