Sekelompok anak perempuan asyik berlarian saling berkejaran di Jalan Pancoran Buntu 2, Jakarta Selatan, Senin (1/11). Beberapa anak yang lebih kecil duduk di bawah pohon beringin, sedang berbincang satu sama lain.
Suasana siang itu teduh, tanpa bentakan, intimidasi, atau situasi yang mencekam. Berbeda jauh dengan yang pernah terjadi pada Maret lalu, saat puncak konflik perebutan lahan antara warga melawan PT Pertamina (Persero).
Mereka adalah anak-anak Sekolah Rakyat Pancoran Buntu 2 (Serapan), sekolah yang dihimpit bangunan-bangunan tinggi menjulang di tengah Jakarta, yang mencoba bertahan hidup di tengah konflik lahan dan ancaman penggusuran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mau jadi ibu guru," kata salah seorang anak berusia 7 tahun yang ditemui CNNIndonesia.com di lokasi, Senin (1/11). Anak perempuan berambut panjang sebahu itu langsung lari ketika ditanya namanya.
Sekolah ini menumpang di sebuah bangunan bertuliskan 'Paud Insan Aulia' yang ditinggalkan pada akhir 2020 karena konflik di tanah itu.
Sekolah yang berdiri di bawah pohon beringin itu terlihat kurang terurus; daun-daun berserakan, di beberapa titik atap sekolah terlihat terkelupas, meja tulis dan buku seadanya. Hanya ada satu papan jungkat-jungkit sebagai bukti bangunan tersebut pernah menjadi sekolah untuk anak usia dini.
Meski begitu, sekolah itu tetap hidup dan memiliki 162 anak warga Pancoran Buntu 2 yang kesulitan akses pendidikan.
Salah seorang relawan Divisi Pendidikan di Sekolah Serapan, Wikana, mengatakan kegiatan belajar mengajar di sekolah rakyat tersebut dimulai sejak dua pekan terakhir. Anak-anak usia TK-SD kembali diajarkan baca tulis.
"Di sini banyak anak kecil yang putus pendidikan karena faktor ekonomi, belum lagi mereka tumbuh di lahan konflik, jadi kami mencoba mengambil langkah membangun Sekolah Rakyat Pancoran," kata dia.
Wikana menjelaskan kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan peralatan seadanya. Buku, meja belajar, dan alat tulis inventaris PAUD yang sebelumnya sempat dibuang oleh oknum saat konflik pecah pun digunakan kembali.
Kurang lebih ada 20 anak usia TK-SD yang mengikuti kegiatan belajar mengajar pada Minggu (31/10). Tim pengajar menggunakan bantuan teknologi dengan dana dan alat elektronik pribadi untuk mengajar anak-anak.
"Kami coba sebisa mungkin membuat iklim belajar mengajar agar anak-anak tertarik, kami pakai medium YouTube untuk membantu, pakai kuota dan laptop atau gawai pribadi," ujarnya.
Karena keterbatasan tim pengajar dan sarana prasarana tersebut, kegiatan belajar mengajar hanya dilakukan pada akhir pekan setiap pukul 14.00 WIB.
Wikana juga menyebut, anak-anak di Pancoran Buntu 2 sempat takut dan trauma bertemu dengan orang baru akibat penggusuran yang berujung bentrokan aparat dengan warga itu.
"Jadi anak-anak ini karena tinggal di lahan konflik, mereka punya trauma saat bertemu dengan orang baru. Karena dulu sempat ada orang-orang bawa senjata berkeliling saat puncak konflik penggusuran di sini," ujarnya.