Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo menilai seharusnya yang dipersoalkan adalah harga tes PCR yang terlampau mahal dan dugaan keberadaan mafia.
Ia menilai tes PCR masih menjadi tes terbaik atau 'golden testing' bagi pendeteksian Virus Corona. Terlebih lagi, upaya pengetesan dan penelusuran wabah di tengah masyarakat saat ini justru mengalami penurunan.
"Artinya kalau pemerintah ubah kebijakan lagi PCR dan antigen, sekarang syaratnya pemerintah semuanya harus meningkatkan testing dan tracing seperti di bulan Juni dan Juli. Karena sekarang melemah lagi," kata Windhu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Windhu juga berharap pemerintah bisa memberantas mafia yang bergerak di bisnis kesehatan di tengah pandemi saat ini. Hal itu merupakan upaya agar masyarakat bisa mendapatkan harga tes PCR yang terjangkau.
Sebelumnya diberitakan bahwa sejumlah pejabat kabinet Presiden Jokowi dicurigai terkait dalam bisnis tes PCR di Indonesia.
PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang menjadi perusahaan penyedia tes Covid di RI itu disebut didirikan oleh Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan dan 8 pemegang saham lainnya. Namun, Juru Bicara Menko Marves, Jodi Mahardi menegaskan tak ada konflik kepentingan dari keterlibatan Luhut di PT GSI.
"Yang dipermasalahkan itu harus diberantas mafianya. Untuk harga bisa dinego. Itu yang dipersoalkan. Tapi jangan testing-nya yang dikorbankan," tambah dia.
Senada, Trubus menyindir orang-orang di dalam pemerintahan yang mengeluarkan kebijakan yang justru lebih mementingkan kepentingan pribadinya ketimbang urusan pandemi.
"Ini para pengambil kebijakan punya kepentingan pribadi dan kelompoknya itu. Cari untung aja," kata dia.
Terkait gonta-ganti kebijakan ini, Dicky menilai pemerintah seharusnya bisa meminimalkan dengan memilih strategi yang tepat.
Ia mengusulkan pemerintah membentuk panel pakar (panel expert) untuk melakukan kajian dan memberikan masukan secara cepat soal kebijakan pandemi.
Baginya, panel pakar ini bisa tak harus diisi oleh banyak pakar. Namun, sewaktu-waktu mereka bisa berkolaborasi untuk menghasilkan strategi yang tepat untuk menangani pandemi.
"Mereka bekerja bukan dalam situasi pandemi. Tapi situasi damai dia harus mengantisipasi juga. Sehingga orang-orang ini bisa memberikan masukan yg tepat dan cepat. Pusat dan provinsi penting punya tim seperti ini untuk berikan masukan-masukan," kata Dicky.
Trubus menambahkan seharusnya pemerintah melakukan konsultasi atau serap aspirasi terhadap keinginan masyarakat. Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan bersifat 'bottom-up' untuk meminimalisir kritik dan keberatan masyarakat.
Bila kesulitan untuk menyerap aspirasi, Ia menyatakan pemerintah bisa berkoordinasi dengan DPR dan para kepala daerah ketika hendak mengeluarkan kebijakan tertentu.
"Pemerintah menawarkan bagaimana kalau seperti ini ini ini. Itu ada waktunya dan gak buat kebijakan ujug-ujug. Dan ada perencanaan matang," kata dia.
(rzr/arh)