Cek Fakta Janji Perubahan Iklim dan Emisi GRK, dari SBY Hingga Jokowi

CNN Indonesia
Kamis, 04 Nov 2021 17:49 WIB
Merujuk pada laporan KLHK, Gas Rumah Kaca di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 13 persen dari data 2010 yang jadi tahun dasar perhitungan emisi pada NDC.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat berbicara dalam KTT Perubahan Iklim (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia, 1 November 2021. (REUTERS/YVES HERMAN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pidato Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat Konferensi Tingkat Tinggi PBB (KTT) tentang Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) 26 di Glasgow, Skotlandia pekan ini menyita perhatian publik.

Baik dalam pidatonya di hadapan pemimpin negara-negara dunia, maupun dalam obrolan dengan sesama sejumlah pimpinan negara di sela COP26, Jokowi mengklaim telah melakukan banyak hal untuk menangani krisis iklim yang berdampak secara global.

Jokowi membeberkan klaim capaian dan komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim. Klaim capaian tersebut di antaranya angka deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terus menurun, sampai pada upaya pengembangan mobil listrik untuk menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jokowi juga menyebut angka deforestasi dan karhutla terus menurun dalam 20 tahun terakhir. Tak hanya itu, Jokowi juga menyebut kemungkinan capaian nett zero emission Indonesia bakal lebih cepat dari target di 2060 jika mendapatkan bantuan dari negara maju.

Dan, dia pun menjanjikan target dari program yang tengah dilakoni yakni rehabilitasi 600 hektare mangrove atau hutan bakau dalam 3 tahun--hingga 2024 mendatang atau tahun terakhir kepresidenannya di Indonesia.

Sebagai informasi, kontribusi negara maju untuk menekan angka emisi GRK memang tertera dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam perjanjian komitmen perbaikan iklim antarnegara tersebut, disebut negara-negara maju memiliki tanggung jawab untuk membantu negara berkembang menurunkan emisi gas rumah kaca.

Namun sesuai dengan komitmen NDC, setiap negara juga memiliki tanggung jawab untuk menurunkan emisi karbon dengan usaha sendiri.

"Sayangnya target penurunan emisi dengan upaya sendiri tersebut juga gagal dipenuhi. Pada 2014, 2015, 2018, dan 2019, emisi gas rumah kaca Indonesia justru melebihi ketentuan," kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Harmono, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (3/11).

Dua Periode SBY dan Kini Jokowi, GRK Tetap Meningkat

Menurut data Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI KLHK) pada 2020, emisi GRK nasional terus meningkat sejak 2000-2019. Beberapa faktor penyebab peningkatan ini antara lain meningkatnya sektor industri (IPPU), sampah, agrikultur, tata guna lahan (FoLU), hingga penggunaan energi tak terbarukan.

Dalam kurun waktu 2000-2010, dituliskan emisi GRK nasional masih fluktuatif di kisaran angka 500 ribu-1 juta Gigaton CO2 ekuivalen (Gg CO2e).

CNNindonesia.com pun membandingkan fakta data upaya menurunkan GRK dan kebijakan perubahan iklim di Indonesia setidaknya dalam lebih dari satu dasawarsa terakhir--atau dua kepresidenan terakhir yang kebetulan sama-sama menjabat dua periode: era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014) dan kini Jokowi (2014-2019 dan 2019-2024).

Data itu didapatkan dari Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan Verifikasi dari Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Tahun 2021 yang mencatat perkembangan hingga 2020.

Pada masa awal kepresidenan SBY pada 2004 silam, emisi GRK masih tercatat di bawah 1 juta Gg Co2e. Pada periode pertama pemerintahan SBY, beberapa kali sempat terjadi peningkatan emisi GRK nasional, pada 2006 dan 2009 melebihi 1 juta Gg CO2e.

Memasuki periode kedua SBY, emisi GRK nasional justru terus menunjukkan peningkatan hingga menyentuh angka 1,5 juta Gg CO2e pada 2014.

Infografis Klaim-klaim Jokowi di Pidato Perubahan Iklim

Kemudian terjadinya pergantian kursi pemerintahan dari SBY ke Jokowi pada 2014 silam tak membuat angka emisi GRK menurun. Justru pada 2015, emisi karbon itu malah melonjak hampir menyentuh angka 2,5 juta Gg CO2e.

Pada dua tahun selanjutnya (2016-2017) pemerintahan Jokowi berhasil menurunkan angka emisi GRK nasional berada di bawah 1,5 juta Gg CO2e. Namun angka itu kembali meningkat pada 2018-2019, emisi GRK hampir menyentuh angka 2 juta Gg CO2e.

Dari tahun ke tahun, emisi GRK nasional juga justru lebih tinggi ketimbang target penurunan emisi dengan upaya sendiri (CM1). Emisi GRK justru terlihat lebih tinggi dari target CM1 pada tahun 2014, 2015, 2018, dan 2019. Hasil emisi di 2015 justru 39 persen lebih tinggi dari target CM1.

CM1 itu-- sederhananya-- target yang dicapai untuk menekan emisi GRK dengan upaya sendiri tanpa bantuan internasional. Sementara CM2 adalah target penurunan emisi GRK target bersyarat jika ada bantuan internasional (CM2).

Dalam laporannya, KLHK mencatat hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan terjadi peningkatan emisi hingga sekitar 13 persen pada 2019 silam. Rincinya emisi pada 2019 adalah 1.866.552 Gg CO2e, meningkat sebesar 250.983 Gg CO2e dibanding tingkat emisi tahun 2010.

Sebagai informasi, 2010 menjadi tahun dasar perhitungan emisi GRK pada NDC.

Dalam penghitungan emisi GRK itu pun dibagi ke dalam lima sektor sumber yakni Energi, Industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan dan kebakaran gambut, serta limbah. Dari lima sektor itu penyumbang terbesar kenaikan GRK adalah dari sektor kehutanan dan kebakaran gambut, disusul energi.

Petugas dari Manggala Agni Daops Banyuasin berusaha memadamkan kebakaran lahan di Desa Pulau Semambu,  Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Sabtu (31/7/2021). Petugas gabungan dari Manggala Agni Daops Banyuasin, BPBD Ogan Ilir, TNI dan Polri berhasil memadamkan kebakaran lahan di daerah tersebut. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.Petugas dari Manggala Agni Daops Banyuasin berusaha memadamkan kebakaran lahan di Desa Pulau Semambu, Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Sabtu (31/7/2021). (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)

Dengan demikian, ambisi terbesar penurunan emisi Indonesia hingga saat ini masih berasal dari sektor kehutanan, dengan target penurunan emisi sebesar 17,2 persen hingga 38 persen pada tahun 2030. Tapi dalam lebih dari satu dasawarsa terakhir, sejalan dengan emisi GRK yang terus melaju, angka deforestasi lahan juga tercatat mengalami peningkatan.

Berdasarkan data Greenpeace pada 2020, dalam kurun waktu 8 tahun (2003-2011) sebanyak 2,45 juta ha lahan mengalami deforestasi. Angka deforestasi kembali bertambah pada 2011-2019 menjadi 4,8 juta ha.

Namun--merujuk pada data yang sama--kejadian Karhutla menurun sejak 2015-2019. Kondisi tersebut mengindikasikan deforestasi terjadi bukan karena Karhutla, beberapa hal yang menjadi penyebab di antaranya pembukaan lahan untuk pemukiman, atau deforestasi untuk pembangunan.

Greenpeace juga menyebut penurunan angka karhutla bukan karena arah kebijakan pemerintah, namun lebih pada kondisi iklim di Indonesia yang menghadapi La Nina.

"Tren kebakaran hutan memang menurun sama el nina, sehingga kalau ada klaim 2020 dan 2021 ada penurunan karhutla, itu enggak bisa disebut keberhasilan karena sebenarnya dipengaruhi cuaca," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik.

Buka halaman selanjutnya: MenLHK soal Pembangunan tak Boleh Setop atas nama Deforestasi

Komitmen Jokowi di Antara Krisis Iklim dan Omnibus Law Ciptaker

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER