Cek Fakta Janji Perubahan Iklim dan Emisi GRK, dari SBY Hingga Jokowi

CNN Indonesia
Kamis, 04 Nov 2021 17:49 WIB
Merujuk pada laporan KLHK, Gas Rumah Kaca di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 13 persen dari data 2010 yang jadi tahun dasar perhitungan emisi pada NDC.
Presiden Jokowi melakukan penanaman pohon bakau di Desa Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (23/9/2021). (Antara foto/agus suparto)

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan data yang menunjukkan terus-menerusnya naik angka deforestasi lahan di Indonesia juga disebabkan kebijakan pemerintah. Ia mengatakan deforestasi didorong dua hal, pertama izin-izin berbasis lahan dan program food estate.

Izin pembukaan lahan untuk dijadikan Hak Guna Usaha (HGU) kelapa sawit, kata dia, sejauh ini dinilai berkontribusi lebih besar pada angka deforestasi lahan di Indonesia. Di samping itu, program integrasi pengembangan pangan atau food estate juga berperan penting dalam pembukaan lahan hijau.

"Kalau dilihat saat ini, deforestasi di dorong oleh izin-izin berbasis lahan terutama kelapa sawit atau HGU. Pembukaan lahan karena alasan pangan rasanya enggak tepat. Jika yang dimaksud adalah food estate iya, food estate menyebabkan terjadinya deforestasi," kata Iqbal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal deforestasi merupakan salah satu penyumbang emisi GRK terbesar. Semakin banyak pembukaan lahan, maka semakin tinggi emisi karbon akan diproduksi.

Sementara pembabatan hutan terus terjadi, upaya reboisasi dinilai tak banyak berperan dalam memperbaiki lingkungan. Pasalnya, reboisasi tak bisa jadi jaminan mengembalikan hutan dewasa yang sudah terdeforestasi.

Ia mengatakan rehabilitasi hutan memerlukan empat tahap: penanaman (anakan), sapihan/pancang (pohon tumbuh 1,5 meter, diameter lebih dari 10 cm), tiang (diameter 10-19 cm), hingga menjadi pohon dewasa dan kembali rimbun.

"Sementara reboisasi hanya melakukan proses anakan, proses lainnya diserahkan pada alam. Jadi reboisasi 'sekian ha' itu maksudnya baru ditanami bibit, bukan langsung jadi hutan seperti sediakala," ujar Iqbal.

Di samping itu, pihaknya menilai pemerintah bisa disebut gagal menghentikan proses deforestasi.

Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Edo Rakhman mengatakan risiko makin tingginya deforestasi juga diperkuat kebijakan pemerintah yang dipayungi undang-undang yang dibuat bersama DPR yakni Omnibus Law UU Cipta Kerja dan/atau UU Minerba.

Pihaknya menilai laju deforestasi bisa dicegah dengan tidak memberikan izin konsesi baru, baik di sektor kehutanan, tambang batubara, minyak dan gas. Namun sistem perundang-undangan di Indonesia masih mengizinkan pembukaan lahan hutan untuk kepentingan bisnis.

"Peluang deforestasi masih tetap ada selama masih ada UU Cipta Kerja dan UU Minerba. Sehingga emisi GRK tetap ada juga bukan hanya di kawasan hutan, tapi di konsesi perusahaan yang secara fisik masih banyak membuka lahan," kata Edo.

Infografis Kamus Pemanasan Global

Tapi, secara terpisah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (MenLHK) Ri Siti Nurbaya Bakar memiliki tolok ukur pandang sendiri soal deforestasi. Saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11), Siti mengatakan pembangunan besar-besaran di era Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon ataupun deforestasi.

Siti menyatakan FoLU Net Carbon Sink 2030 tak bisa diartikan sebagai nol deforestasi (zero deforestation). Ia menegaskan hal tersebut perlu dipahami semua pihak atas nama kepentingan nasional.

Melalui agenda FoLU Net Carbon Sink, katanya, Indonesia menegaskan komitmen mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan (di antaranya berkaitan dengan deforestasi) pada tahun 2030.

''Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan/penyimpanan karbon sektor kehutanan. Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,'' tegas Siti dalam siaran persnya, Rabu (3/11).

Siti pun mengklaim dengan menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation bisa dikatakan sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk ketetapan nilai dan tujuan (values and goals establishment), serta membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.

Ia menyatakan kekayaan alam Indonesia termasuk hutan harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan.

''Kita juga menolak penggunaan terminologi deforestasi yang tidak sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia. Karena di negara Eropa contohnya, sebatang pohon ditebang di belakang rumah, itu mungkin masuk dalam kategori dan dinilai sebagai deforestasi. Ini tentu beda dengan kondisi di Indonesia,'' ujar dia yang juga dikenal sebagai politikus NasDem.

Untuk itu, Ia mengajak semua pihak untuk berhati-hati memahami deforestasi dan tidak membandingkannya dengan terminologi deforestasi negara lain, karena di situ ada persoalan cara hidup. Gaya hidup, kata dia, termasuk tentang definisi rumah huni menurut masyarakat Indonesia yang berbeda dengan persepsi di Eropa, Afrika, dan lainnya.

Buka halaman selanjutnya.

Sulit Penuhi Target 2050, Optimistis Capai Emisi Negatif 2030

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER