Jakarta, CNN Indonesia --
Warga Suku Anak Dalam (SAD) Jambi diduga melakukan penembakan terhadap tiga anggota satuan pengamanan (Satpam) perkebunan sawit. Selain menyita 16 pucuk senapan, polisi mengaku melakukan pendekatan persuasif, terutama untuk mengamankan pelaku.
Dikutip dari Antara, Wakil Kapolda Jambi Brigjen Pol. Yudawan menyebut warga menggunakan senjata api rakitan laras panjang alias kecepek untuk menembak tiga satpam perusahaan sawit PT PKM.
Akibat tembakan tersebut, ketiganya mendapat luka di bagian tangan dan kaki. Para korban pun telah dirawat intensif di rumah sakit umum daerah Kolonel Abundjani Bangko, Merangin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya minta Polres Sarolangun menegakkan hukum sesuai aturan terhadap warga Suku Anak Dalam yang melakukan penembakan terhadap tiga satpam perusahaan sawit di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun," kata Yudawan, Selasa (2/11).
Berdasarkan keterangan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Robert Aritonang, penembakan itu terkait dengan penyerangan "dua truk karyawan perusahaan" ke permukiman Orang Rimba yang menumpang di dalam kebun sawit warga Desa Lubuk Jering.
Para karyawan, menurut KKI, merusak sudung dan membakar total lima motor Orang Rimba.
Yudawan melanjutkan pihaknya akan memeriksa para saksi insiden ini. "Semua akan dipantau terus dengan sama dan perkara tersebut menjadi atensi buat kita semua dan akan pahami permasalahannya," kata dia.
Saat ini pihaknya sudah mengamankan 16 pucuk kecepek dari tangan Suku Anak Dalam.
"Sampai hari ini sudah ada sebanyak 16 pucuk kecepek yang diterima polisi baik itu dengan cara menyita atau diserahkan sendiri oleh ketua kelompok SAD (Temenggung) dan pihak kepolisian akan terus melakukan operasi penarikan senjata api rakitan dari warga maupun kelompok orang rimba," kata Yudawan.
Selain penegakan hukum, kepolisian juga melakukan upaya persuasif lewat pendekatan langsung ke masyarakat agar tak terprovokasi. Bentuknya, komunikasi dengan Bupati dan Wakil Bupati Sarolangun serta para pemimpin orang rimba.
Tim dari Polda Jambi yang dipimpin oleh Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jambi AKBP Trisaksono Puspo Aji pun diturunkan untuk melihat langsung penanganan kasus tersebut, berkomunikasi dengan masyarakat, serta mengecek perkembangan kasus.
Aparat kepolisian juga telah mengirim tim pendamping dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi untuk bisa menjembatani komunikasi dengan warga SAD, terutama untuk mendapatkan pelaku penembakan.
"Polisi akan melakukan dengan cara-cara persuasif dan kita akan mengajak pimpinan SAD atau Temenggung yang kami anggap sebagai ketua adat SAD untuk mengajak pelaku penembakan itu segera hadir ke Polres atau ke Polsek terdekat untuk dimintai keterangan," tutur Yuwadi.
"Sambil membawa senjata api kecepek laras panjang saat melakukan penembakan terhadap satpam perusahaan sawit," lanjutnya.
Senada, Kepala Urusan Pembinaan dan Dispilin Sub Bidang Provos Bidang Provesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jambi AKP S. Nababan mengaku sudah turun ke lapangan tiga hari terakhir ini untuk menenangkan warga Suku Anak Dalam.
"Saya diperintahkan Kapolda Jambi untuk turun langsung ke lapangan melakukan pendekatan persuasif kepada warga SAD agar mereka tidak mudah terprovokasi dengan isu negatif," kata dia, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (4/11).
Ia, yang sudah membina orang rimba di Pemenang sekitar 15 tahun itu, mengimbau warga SAD untuk menyerahkan senjata api rakitannya kepada aparat kepolisian.
"Makanya, saya turun sendiri agar warga SAD jangan sampai dipengaruhi, dan mereka mau menyerahkan senjata api rakitan kepada polisi," kata AKP Nababan.
Bersambung ke halaman berikutnya...
[Gambas:Video CNN]
KKI Warsi mengungkapkan Orang Rimba (Suku Anak Dalam) saat ini sudah mengungsi ke dalam hutan yang lebih jauh dari tempat tinggal mereka setelah bentrok dan aksi penembakan terhadap satpam perusahaan perkebunan sawit di Sarolangun itu.
"Warsi kini mendorong aparat kepolisian dan pihak terkait untuk bersama-sama menyelesaikan secara adat dan persuasif konflik antara warga Suku Anak Dalam (SAD) dengan pihak perusahaan perkebunan," kata Manager Program Suku-Suku Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Robert Aritonang, Selasa (2/11).
Ia menyebut konflik itu terjadi antara Orang Rimba dan perusahaan sawit PT Primatama Kreasimas, anak perusahaan Sinar Mas Agro Resources and Technology (Smart).
Berdasarkan catatan KKI Warsi, 96 keluarga dengan 324 jiwa Orang Rimba tidak lagi ada di permukiman mereka di Selentik, Desa Lubuk Jering, Ujung Doho, Desa Pematang Kabau, dan Singosari, Desa Pematang Kabau, di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Robert menyebut pengungsian warga suku yang kerap berpindah untuk mencari pangan di hutan itu terutama terjadi akibat penyerbuan oleh karyawan perusahaan itu.
"Bagi Orang Rimba konflik di perkebunan dan dilanjutkan dengan penyerbuan ke pemukiman adalah hal yang sangat menakutkan, itulah yang menyebabkan mereka lari," kata dia.
Menurutnya, penting untuk memastikan ketersediaan pangan bagi Orang Rimba yang lari ini. Sebab, dilihat dengan waktu kejadian dan melarikan ini, ia menyebut mereka tidak akan memiliki bahan pangan yang cukup.
Polda Jambi melalui KKI Warsi pun sudah menyalurkan 90 paket sembako untuk Orang Rimba yang sedang mengungsi. Bantuan ini, kata Robert, sangat penting untuk mengatasi masalah remayao, yakni masa dimana tidak tersedia bahan pangan untuk konsumsi harian.
"Kami saat ini menyusul kelompok ini satu persatu, sembari mengantarkan ke mereka bahan pangan dari Polda untuk membantu mereka bertahan hidup di masa yang pastinya akan sulit untuk mencari bahan pangan," kata Robert lagi.
Dari penelusuran Warsi, warga yang mengungsi ditemukan tidak dalam kondisi yang baik. Yakni, berada dalam ketakutan hingga trauma berat, sakit demam dan batuk, terpencar berjauhan.
Kriminalisasi
KKI Warsi menilai akar konflik antara warga Suku Anak Dalam dengan perusahaan perkebunan adalah tidak terakomodasinya pola hidup berpindah mereka di sistem kepemilikan lahan yang banyak dikuasai perkebunan.
Robert menyebut area perkebunan sawit itu dulunya merupakan wilayah jelajah Suku Anak Dalam. Kemudian perusahaan hadir dan memarginalkan Orang Rimba di lahan mereka sejak dulu.
 Infografis Penyebab Konflik Agraria. (Foto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
"Ini yang jadi intinya, Orang Rimba kehilangan sumber penghidupan mereka, akibat lahan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit," kata dia, dikutip dari Antara.
Di sisi lain, perkebun sawit tak memungkinkan tumbuhnya tanaman pangan seperti umbi atau buah lain untuk dikonsumsi Orang Rimba. Alhasil, mereka mengambil brondol, yakni butiran sawit yang jatuh dari tandannya, untuk ditukarkan dengan beras.
Ketika Orang Rimba mengambil brondol, Robert menyebut perusahaan menganggapnya maka sebagai pencuri alias pelaku kriminal.
Akibatnya, beberapa Orang Rimba dilaporkan ke penegak hukum. Satpam perusahaan pun melakukan tindakan yang diyakini sebagai bentuk perlindungan tempat usaha.
Sementara, perusahaan tidak berupaya mencari solusi permanen bagi kehidupan Orang Rimba, yang seolah hanya dianggap sebagai penumpang di lahan perkebunan.
Menurut catatan KKI Warsi, terdapat lebih dari 414 Kepala Keluarga Orang Rimba yang tinggal di perkebunan sawit, di antaranya perusahaan sawit skala besar milik Sinar Mas Plantation yaitu PT PKM, PT BKS dan KDA, serta milik Astra yaitu PT SAL.
"Manajemen perusahaan harus bertanggung jawab secara utuh atas Orang Rimba yang ada di lahan mereka, dan tidak membenturkan Orang Rimba dengan pekerja perusahaan, sehingga konflik ini bisa diakhiri secara permanen," tandas Robert.
[Gambas:Video CNN]