Bukan hanya Zali yang resah dengan kehadiran nelayan Vietnam. Herman, nelayan Pelabuhan Teluk Baruk, juga merasakan demikian. Namun Herman tak bisa berbuat apa-apa ketika kapal-kapal Vietnam yang mencapai puluhan dengan bebas menarik trawl, mengejar gerombolan ikan, dan membawanya pulang ke negaranya.
Dari sekian banyak menyaksikan aktivitas kapal nelayan Vietnam, ia mengaku jarang bertemu kapal-kapal TNI AL, Bakamla, hingga PSDKP patroli menghalau nelayan asing itu.
Menurut Herman, kapal patroli RI tak pernah sampai tempatnya bekerja. Kondisi ini berbeda dengan kapal ikan asing yang dikawal kapal-kapal penjaga lautnya masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Herman menyebut keberadaan nelayan Vietnam sangat mempengaruhi hasil ikannya lantaran cara tangkap mereka memakai trawl, yang bisa menyerok semua ikan di depannya.
"Harapan kami tuh, pengin kaya Bu Susi kemarin, kalau Bu Susi kemarin emang aman. Penginnya Bu Susi tugas lagi kayak kemarin, di Laut Natuna aman, enggak ada kapal asing masuk ke Laut Natuna, kalau gini agak kurang aman, agak susah (ikan)," ujarnya.
Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Imam Prakoso mengatakan pihaknya mengamati kapal-kapal ikan Vietnam masuk perairan utara Natuna sejak awal tahun ini. Intrusi kapal Vietnam tersebut di wilayah ZEE yang masih menjadi sengketa RI-Vietnam sampai landas kontinen. Di dua zona wilayah itu, negara pantai diberikan hak berdaulat oleh UNCLOS 1982.
"Maret banyak sekali terjadi di wilayah landas kontinen, jelas-jelas itu bukan wilayah sengketa ya," kata Imam.
Dari pengamatan IOJI melalui Automatic Identification System (AIS) dan citra satelit, intrusi kapal ikan Vietnam di wilayah Indonesia paling tinggi terjadi pada April 2021, dengan 100 kapal dalam cakupan wilayah 110 km2.
"Bayangkan kalau kita pukul rata dalam 1 kilometer persegi, ada satu kapal Vietnam," ujarnya.
Imam mengatakan intrusi kapal Vietnam ini berangsur menurun sejak Mei, Agustus, hingga September. Kapal-kapal mereka juga lebih banyak beraktivitas di wilayah sengketa klaim ZEE Indonesia-Vietnam.
Ia menduga penurunan aktivitas kapal Vietnam ini lantaran negara tetangga itu sedang berusaha mencabut yellow card dari Uni Eropa. Menurutnya, Vietnam mendapat sanksi larangan ekspor ke Eropa karena banyak melakukan illegal fishing.
"Itu mungkin penyebab utama ya menurut kami. Itu akan kita terus monitor aktivitas illegal fishing yang dilakukan kapal Vietnam di ZEE Indonesia," katanya.
Namun, kata Imam, berdasarkan pengamatannya aktivitas kapal Vietnam masih terjadi pada September sampai Oktober lalu. Pada September terdeteksi 35 kapal di wilayah sengketa RI-Vietnam dan 13 kapal lainnya di bawah garis landas kontinen.
Ia menyebut nelayan Vietnam ini juga cerdik. Mereka masuk ke wilayah RI saat kapal-kapal patroli tak ada. Mayoritas klaster kapal-kapal Vietnam tersebut berada di utara perairan Natuna.
"Perkiraan saya sampai akhir tahun tidak akan melebihi puncaknya seperti di bulan April 2021, tapi tetap masih akan terjadi intrusi tersebut," ujarnya.
Imam menduga masifnya kapal ikan Vietnam menangkap ikan di perairan Natuna tak terlepas dari kebijakan dalam negeri Vietnam. Menurutnya, pemerintah Vietnam memberikan subsidi kepada nelayan mereka agar hasil tangkapan bisa lebih tinggi.
Akibatnya, kata Imam, wilayah ZEE Vietnam kehabisan sumber daya perikanan. Karena ikan di wilayah sendiri sudah tak banyak, kapal-kapal nelayan Vietnam lantas tak segan masuk ke wilayah Indonesia.
"Apalagi mereka tangkap ikan dengan alat tangkap trawl. Sangat tidak ramah lingkungan dan bisa menyapu dasar laut," ujarnya.
Selain itu, Imam menyebut Vietnam memiliki kebutuhan ikan rucah yang tinggi untuk pakan budidaya lobster. Ditambah jumlah nelayan dan kapal patroli Indonesia yang minim di wilayah ZEE sendiri.
"Jadi itu sangat mendukung sekali, mereka sangat leluasa sekali untuk masuk dan melakukan intrusi ke wilayah ZEE Indonesia," katanya.
Peneliti Bidang Kemaritiman Pusat Riset Politik BRIN, Anta Maulana Nasution mengatakan tingginya potensi perikanan di Natuna itu tidak diimbangi dengan jumlah nelayan Indonesia yang menangkap ikan hingga wilayah ZEE RI.
"Kalau ZEE sampai 200 mil (laut), jadi dibutuhkan kapal besar di atas 30 groos tonage, karena wilayah yang kosong makanya banyak nelayan Vietnam masuk ke perairan ZEE kita untuk melakukan penangkapan ikan," kata Anta saat dihubungi CNNIndonesia.com belum lama ini.
Anta bercerita beberapa waktu lalu mewawancarai sejumlah nelayan Vietnam yang ditangkap aparat di Laut Natuna. Ia menyebut tidak sedikit dari mereka yang tertangkap bukan pertama kalinya.
Menurutnya, ada beberapa alasan nelayan-nelayan itu berani hingga ke wilayah Indonesia. Pertama, mereka berani melaut hingga wilayah Indonesia lantaran adanya broker yang menawarkan. Broker itu, menurut pengakuan nelayan, adalah orang Vietnam.
"Nakhoda kan punya bos, bos-nya itu ditawarkan oleh broker di sana. Ini saya punya surat, udah bisa nangkap di perairan dekat Indonesia. Sepuluh kapal berangkat lah mereka," katanya.
Alasan kedua, lantaran industri perikanan di Vietnam sudah sangat maju, dan membutuhkan suplai ikan yang sangat banyak. Di sisi lain, sumber daya ikan di laut mereka sudah menurun, sehingga butuh pasokan ikan dari laut Indonesia.
"Memang sumber daya perikanan (Indonesia) berlimpah, secara logika kalau enggak melimpah enggak akan kapal Vietnam itu masuk ke ZEE Indonesia," katanya.
'Kapal-kapal Vietnam yang Ditangkap', ada di halaman selanjutnya...