Jakarta, CNN Indonesia --
Beragam misi peledakan bom hingga menciptakan suasana mencekam tak lantas membuat internal Jamaah Islamiyah semakin solid. Mereka tak lebih memperkuat diri ketika semakin melemah usai anggotanya satu persatu ditangkapi polisi.
Alih-alih mempersolid internal Jamaah Islamiyah, kelompok sempalan justru bermunculan. Generasi yang lebih muda pun cenderung ceroboh serta membahayakan kelompoknya sendiri.
Akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya, Rubaidi dalam bukunya bertajuk Variasi Gerakan Islam di Indonesia (2011) menyebut Jamaah Islamiyah mulai goyang ketika Abdullah Sungkar meninggal dunia pada 1999.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kematian Sungkar membuat Abu Bakar Ba'asyir didapuk menjadi pucuk pimpinan Jamaah Islamiyah. Namun, meski Ba'asyir tergolong sesepuh dan sarat pengalaman, banyak yang tidak suka dengan kepemimpinannya.
Sebagian besar dari mereka adalah anggota yang lebih muda. Mereka merongrong Ba'asyir karena dianggap kurang militan dalam mencapai tujuan pendirian negara Islam.
"Kelompok muda ini mengklaim Ba'asyir terlalu lemah, terlalu bersikap akomodatif dan terlalu mudah dipengaruhi orang lain," tulis Rubaidi.
Adapun yang termasuk dalam kelompok ini antara lain, Hambali, Imam Samudra, Mukhlas atau Ali Ghufron, yang menjadi pelaku Bom Bali I serta Abu Fatih. Mereka tergolong semangat melakukan jihad meski misinya tidak berkaitan dengan tujuan mendirikan negara Islam.
Misalnya Bom Bali 1. Hambali, Imam Samudra, Mukhlas ngotot melakukan itu karena ingin membalas dendam penyerangan Amerika Serikat terhadap Al Qaeda di Afghanistan. Ali Imron menyebut Bali dipilih menjadi lokasi jihad hanya karena banyak turis asal AS berada di sana dan pengamanan yang tidak ketat seperti di gedung Kedutaan Besar.
Majelis Mujahidin Indonesia
Tahu pengaruhnya semakin melemah, Ba'asyir kemudian pergi. Pada 5-7 Agustus 2000, Ba'asyir dan koleganya, Irfan Awwas Suryahardi serta Mursalin Dahlan mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta.
Menurut Anwar Kurniawan dan Ahmad Aminuddin dalam penelitian mereka berjudul Muhammad Thalib, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Tafsir Ayat-Ayat Penegakan Syariat di Indonesia (2018), kepemimpinan Baasyir hanya berlangsung selama dua periode.
Saat itu, terjadi gesekan di internal MMI. Baasyir keluar dari MMI pada 19 Juli 2008. Posisi Baasyir kemudian diganti wakilnya, Muhammad Thalib.
Belakangan, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat memasukkan MMI dalam daftar hitam teroris. AS menganggap MMI berkaitan dengan Al Qaeda dan Al Nusra Front.
Jamaah Ansharut Tauhid
Petualangan Ba'asyir belum berhenti. Dua bulan setelah tersingkir dari MMI, Ba'asyir kemudian mendirikan Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) bersama pengikutnya. Diresmikan di Bekasi tepat pada 17 Ramadhan 1529 Hijriah atau pada 17 September 2008.
Crisis Group dalam Indonesia: The Dark Side of Jama'ah Ansharut Tauhid (JAT) menyebut organisasi baru bentukan Ba'asyir ini masih menjalin hubungan dengan Jamaah Islamiyah.
Keduanya memiliki perbedaan pandangan soal strategi. Akan tetapi, Ba'asyir tetap orang yang dituakan, sehingga komunikasi tak putus begitu saja.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Bagi JAT, ajaran Islam adalah hal yang mutlak. Hukum Islam juga mesti menjadi sumber keadilan. Siapapun dianggap kafir jika tidak berpedoman kepada hukum Islam.
Menurut Crisis Group, ideologi ini memberikan dua konsekuensi logis. Pertama, siap perang sehingga ada pelatihan milisi dan peracikan bahan peledak.
Kedua, para pejabat lokal yang menolak penerapan syariat Islam sederajat dengan musuh jauh mereka, yaitu Amerika, Israel, serta sekutunya. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia pun dianggap sama berdosa dan terkutuknya seperti negara barat.
Di bawah pengaruh dan ketenaran Ba'asyir, hanya dalam dua tahun JAT telah menjadi organisasi nasional.
Salah satu sosok penting yang bergabung dengan JAT adalah Aman Abdurrachman. Ia bergabung setelah bebas dari penjara karena dinyatakan bersalah menghadiri agenda pembuatan bom di tahun 2004.
Hanya beberapa bulan bergabung, Aman langsung berselisih paham dengan Ba'asyir. Aman orang yang pintar dalam agama, hafal Alquran dan juga tipe pribadi mudah disegani oleh kalangan muda, sehingga dia tak takut merong-rong Ba'asyir yang sesepuh.
Pada 6 Mei 2010, polisi menggerebek markas besar JAT. Aparat membongkar penggalangan dana untuk kamp pelatihan milisi di Aceh. Ba'asyir lalu ditangkap.
 Aman Abdurrahman punya pengaruh yang kuat hingga memecah organisasi yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir hingga terbentuk Jamaah Ansharut Daulah (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Jamaah Ansharut Daulah
Saat masih berada di kelompok Jamaah Ansharut Tauhid, sosok bernama Aman Abdurahman berani beradu argumen dengan Ba'asyir.
Pengaruh Aman meningkat seiring penangkapan pimpinan Jamaah Islamiyah serta penggerebekan kantor pusatnya di Poso pada 2007 yang membuat organisasi itu kian melemah. Kematian Noordin M. Top juga menjadi alasan reputasi Jamaah Islamiyah semakin meredup.
Aman berperan dalam perubahan target teror, dari musuh jauh atau orang asing menjadi musuh dekat atau lokal seperti, polisi dan pejabat pemerintah.
V. Arianti dalam Aman Abdurrahman: Ideologue and 'Commander' of IS Supporters in Indonesia (2017) menyebut Aman juga merekrut penjahat serta narapidana teroris.
Ia bahkan mempengaruhi Abu Bakar Ba'asyir untuk mendukung ISIS. Akibatnya, organisasi bentukan Ba'asyir, JAT, terpecah. Anak Baasyir kemudian mendirikan Jemaah Ansharus Syariah (JAS) pada Agustus 2014.
Aman lantas berupaya menyatukan kelompok-kelompok pro ISIS di bawah satu payung organisasi yakni Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terdeteksi pada Maret 2015. Dia menyerukan agar kelompok Islam berbaiat kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar Al Baghdadi.
Beberapa organisasi yang tergabung dalam JAD antara lain, Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok sempalan JI dan Al-Muhajirun.
Untuk memperluas JAD, Aman Menggunakan nama seperti, Ansharut Daulah Islamiyah (ADI), Jemaah Ansharul Khilafah (JAK), dan Jemaah Ansharul Khilafah Islamiyah (JAKI).
Mantan napi teroris, Arief Budi Setyawan atau dikenal Arief Tuban mengatakan bahwa anggota kelompok JAD memiliki militansi yang tinggi. Tak lepas dari doktrin dari Aman yang menganggap keadaan sedang dalam kondisi perang. Ingin beriringan dengan perang yang diinisiasi ISIS di Irak dan Suriah.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Kelompok JAD pun kerap melakukan penyerangan dalam skala yang kecil dan senjata seadanya. Akan tetapi, suasana teror tetap tercipta di tengah-tengah masyarakat.
"Lebih barbar dan lebih enggak punya aturan. Dia punya pisau dia akan nyerang pakai pisau. Karena bagi dia itu melakukan perlawanan itu sesuatu yang heroik, meskipun dia mati," kata Arief kepada CNNIndonesia.com.
"Kalau JAD serangannya itu pasti minimalis, kecil. Kan berapa kali itu pos polisi diserang pakai parang, pakai bom molotov," tuturnya.
Adapun jejak teror JAD antara lain, Bom Thamrin di Jakarta, Bom Sarinah, serangan Mapolres Surakarta, bom molotov di Samarinda, kerusuhan Mako Brimob, bom bunuh diri di Surabaya, serta bom di gereja Makassar 2021.
Menurut alumni pesantren JI ini, target serangan bisa menjadi petunjuk jaringan teroris tersebut. Jika teroris menyerang polisi, misalnya, maka meskipun orang itu anggota JI maka ia telah bergabung ke kelompok Aman Abdurrachman.
"Siapapun yang dulunya ngaji ke JI kemudian dia terlibat aksi yang menyeramkan dan objeknya itu Polisi, maka dia sudah resmi bergabung ke takfirinya Aman Abdurrachman," tutur Arief.
 Aparat kerap mengingatkan agar para anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT) untuk menyerahkan diri. Masyarakat pun diminta untuk melapor jika melihat anggota MIT. (ANTARA FOTO/Basri Marzuki/foc) |
Mujahidin Indonesia timur
Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang bergerak di Poso, Sulawesi Tengah merupakan jaringan teroris di bawah payung JAD. MIT dibentuk pada 2010 yang dibidani Santoso alias Abu Wardah Asy Ayarqi.
Poltak Partogi Nainggolan dalam bukunya Ancaman ISIS di Indonesia (2017) mengatakan bahwa MIT berbaiat kepada ISIS.
Sepanjang 2014-2015, kelompok ini tercatat secara terbuka mengancam akan menyerang pimpinan Polri, Panglima TNI, pejabat Densus 88. Mereka juga melakukan perbuatan keji baik berupa pembunuhan maupun penembakan terhadap warga.
Menurut Polri, kelompok ini merupakan bagian dari ISIS dan diduga telah menerima dana dan bantuan dari ISIS.
Poltak pun menyebut sosok Santoso memiliki pengaruh yang luar biasa di kawasan Poso Pesisir.
Betapa tidak, penduduk Desa Tambarana dan Landangan yang merupakan lokasi orangtua Santoso, Desa Ampana, dan Parigi Moutong menyambut jenazah Santoso yang tewas akibat tertembak oleh polisi dalam operasi penggerebekan 18 Juli 2016.
"Para pendukung dan pemujanya di wilayah-wilayah itu, terutama kalangan MIT, menyambut dan mengiringi penguburan jenazah dengan iring-iringan mobil dan motor, sambil mengenakan kaos bersimbol ISIS," tutur Poltak.