Pendeta Cina I-Tsing menyebut Nusantara adalah negeri-negeri yang ia lewati dalam perjalanan dari India menuju China. Beberapa di antaranya adalah Shili Foshi (Sriwijaya), Moluoyou (Malayu), She-po (Jawa), dan Ho-ling (pantai utara Jawa Tengah).
Sebagian besar penduduk Nusantara tercatat sebagai pemeluk agama Buddha dan Hindu. Bandar-bandar di Nusantara menjadi tujuan niaga bagi para pelaut India karena menghasilkan emas dan hasil bumi lokal berupa rempah-rempah.
Majapahit memasukkan negeri-negeri Nusantara di dalam wilayah Madya. Negeri-negeri itu disebut terletak di luar kerajaan Majapahit, tetapi masih di sekitar Semenanjung Melayu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarawan JJ Rizal menyampaikan pandangan berbeda terkait histori kata Nusantara. Menurutnya, kata Nusantara digunakan Majapahit dengan mencerminkan bias Jawa yang dominan.
Rizal menyebut posisi Majapahit saat itu sebagai kerajaan yang akan menaklukkan wilayah di luar Jawa.
"Nusantara adalah produk cara pandang Jawa masa Majapahit itu yang mendikotomi antara negaragung (kota Majapahit) dengan mancanegara (luar kota Majapahit)," tutur Rizal saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Oleh karena itu, Rizal berpandangan bahwa sebutan Nusantara ini bukan hanya berarti kewilayahan tetapi juga peradaban.
Ia menjelaskan dalam konteks Jawa sebutan mancanegara digunakan untuk menjelaskan wilayah yang tidak beradab, bodoh, tidak teratur atau sesuatu yang sebaliknya dari negaragung yang beradab, harmonis.
Lebih lanjut, Rizal mengkritik penggunaan nama Nusantara sebagai nama ibu kota baru. Menurutnya, pemakaian nama Nusantara itu tidak dapat disandingkan sebagaimana pemakaian Nusantara sebagai nama untuk Wawasan Nusantara dari masa Juanda.
Ia memaparkan bahwa sejak zaman pergerakan kemerdekaan, istilah ini muncul untuk digunakan sebagai nama wilayah bangsa dan negara yang hendak didirikan. Namun, nama Nusantara segera tersingkir karena dianggap Jawa sentris, atau penuh feodalisme.
"Nah, pola Nusantara dari Majapahit ini yang harus dibaca dalam soal pembangunan ibu kota baru, apakah sudah ditinggalkan semua pola feodal yang subordinatif dalam prosesnya?" ujarnya.
(cfd/dhf/fra)