Jika beberapa orang suka menyanyi, main catur atau memasak, Puarman justru menghabiskan waktu dengan menyusuri sungai di sekitar rumahnya di perbatasan Bekasi-Bogor. Ia mencermati kualitas air, kerapatan vegetasi sepanjang aliran sungai kanan dan kiri, kemudian dugaan pencemaran akibat limbah buangan pabrik di sekitarnya.
Pemilik usaha jual-beli buku ini suka sungai dan lingkungan sekitarnya.
Tidak pernah diduga, hobi ini akan mengubah hidupnya dan puluhan ribu orang yang juga tinggal dekat aliran sungai di Kali Bekasi, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semua dimulai tahun 2004, saat Puarman memboyong keluarga pindah rumah ke Vila Nusa Indah (VNI) II, sebuah perumahan kelas menengah di Desa Bojong Kulur, ujung terluar Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Kota Bekasi.
"Masuk rumah bulan Oktober, tiga bulan kemudian langsung kebanjiran. Tidak ada angin, tidak ada hujan, panas terik. Eh banjir begitu saja, air tiba-tiba masuk rumah," katanya dengan nada kecut dari ujung telepon saat dihubungi CNN Indonesia.
Keluarga pun syok, barang-barang rusak, kehilangan harta benda bahkan dokumen penting. Empat hari sejak kebanjiran pertama itu, Puarman mulai menyusur sungai mengurut asal-muasal arus air yang merisak rumah dan lingkungannya.
Perjalanan ini mempertemukannya dengan Iyan, orang yang dikenal sebagai 'penjaga air' di Tlajung Udik, salah satu titik yang dilewati aliran Kali Cileungsi sebelum sampai Kali Bekasi.
Dari Iyan ia tahu, banjir adalah 'kiriman' dari Bogor, tempat Kali Cileungsi bersumber.
Jika Bogor dilanda hujan deras, debit akan menguat dan arus mengganas menyerbu masuk Bekasi. Air pun bisa tumpah ruah ke berbagai pemukiman sekitar sungai.
Penyusuran ini juga menunjukkan debit air kiriman bisa sangat besar karena Bogor adalah sumber dari berbagai sungai. Yang paling dekat dekat dengan pemukimannya adalah Cileungsi dan Cikeas, dua sungai yang bertemu di Kali Bekasi. Titik pertemuan ini lazim disebut P2C.
"Saya enggak habis pikir. Kok pemerintah bisa-bisanya enggak ngasih peringatan atau apa kek. Ini kan air kiriman, bukan hujan lokal. Jadi sebenarnya bisa dihitung, diperkirakan kalau hujan di hilir jam sekian, jam berapa dia akan sampai di P2C. Kenapa itu tidak dilakukan?" tanya Puarman jengkel.
Kepada Iyan, Puarman berpesan agar jika nanti hujan datang lagi, tolong kabari kalau tinggi muka air (TMA) kali kembali naik.
"Saya minta tolong dipantau, dikabari. Setiap bulan saya kasih pulsa telepon, sesekali kasih sembako. Gitu aja terus selama beberapa tahun."
Berikutnya dia melakukan hal yang sama di ruas Kali Cikeas. Mencari orang yang sanggup dititipi tanggung jawab memantau TMA dan memberi tahu via SMS atau telepon jika ada kenaikan terutama saat Bogor dilanda hujan.
![]() |
Mula-mula informasinya hanya dipakai sendiri, kemudian disebarkan pada keluarga, tetangga dan kenalan. Lewat SMS, Friendster, Blackberry dan grup email (mailing list) jangkauan penerima informasi makin luas. Derasnya penyebaran informasi jadi makin tinggi setelah muncul aplikasi Facebook, Twitter, Whatsapp, atau Instagram, dan orang mulai membentuk berbagai grup.
"Lama-lama kerepotan juga. Tiap hujan megang telepon terus-menerus saking banyaknya yang cari info. Kadang-kadang sampai heran sendiri, info dari saya tahu-tahu sudah sampai mana-mana. Rupanya disebarkan lagi dari orang-ke-orang. Karena memang banyak sekali yang membutuhkan," kata Puarman.
Tinggi muka air kali makin jadi isu krusial seiring berjalannya waktu karena populasi di sepanjang aliran sungai Kali Bekasi makin padat akibat tambahan perumahan baru, sementara kiriman air dari Bogor juga makin besar.
Akibatnya banjir yang semulai cuma setahun sekali bisa terjadi sampai tiga bahkan lima kali.
Lebih dari 10 tahun sejak pertama membagi info TMA Kali, Puarman sudah menjangkau 3000 pemakai. Mulailah terpikir untuk membentuk komunitas agar bisa membagi kerja. Bersama beberapa teman ngopi, empat orang setuju bergabung dengan Puarman membentuk organisasi Komunitas Peduli Cileungsi-Cikeas (KP2C). Tahun 2016 pembentukan KP2C diresmikan lengkap dengan pengurusnya.
Sebagian pengurus adalah pengurus Rukun Warga dan Rukun Tetangga yang setiap saat jadi tumpuan warga karena banjir. Semuanya bekerja dengan prinsip relawan: tidak menerima imbalan apapun.
"Relawan untuk pribadi saya adalah senang bisa manfaat untuk orang banyak. Memberikan peringatan dini ini kan salah satu yang bermanfaat bagi masyarakat banyak, termasuk warga kami," kata Saikhu Muhammad, Ketua RW 08 di Pondok Gede Permai, salah satu perumahan yang paling sering menerima luapan banjir.
"Targetnya adalah minimalisir kerugian. Sebelum ada grup WA dan lain-lain, kami menggunakan radio HT. Jika situasi genting diumumkan melalui pengeras suara masjid maupun musholla. Sekarang sih sudah lebih mudah diumumkan melalui grup WA ya. Alhamdulillah setelah info disebar kendaraan aman di tempat yang lebih tinggi. Terus barang di rumah juga naik ke lantai 2, kalau nggak ada lantai 2 ya bisa numpang di tetangga yang ada lantai duanya," kata Saikhu.