ANALISIS

Tiga Provinsi Baru Papua dan Upaya Meredam Separatisme OPM

CNN Indonesia
Jumat, 01 Jul 2022 14:05 WIB
Pemekaran tiga provinsi baru di Papua dinilai berpotensi memicu ketegangan yang lebih besar. (ANTARA FOTO/Gusti Tanati)
Jakarta, CNN Indonesia --

DPR mengesahkan tiga rancangan undang-undang (RUU) terkait pembentukan provinsi baru di Papua, Kamis (30/6). Tiga provinsi itu yakni Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan.

Pengesahan tetap dilakukan meskipun gelombang penolakan terus bergulir. Aksi demonstrasi digelar di sejumlah daerah Papua, termasuk di Jakarta.

Penolakan juga dilontarkan Majelis Rakyat Papua (MRP). Mereka menyebut pemekaran hanya keinginan 'orang Jakarta', bukan kehendak rakyat Papua.

Pemerintah mengklaim pemekaran Papua bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan pemekaran dilakukan untuk mempercepat pembangunan di Bumi Cendrawasih.

"Oleh karena itu, pemekaran ini adalah sekali lagi bertujuan tidak lain tidak bukan untuk mempercepat pembangunan dan kita semua ingin agar kesejahteraan rakyat Papua, terutama orang asli Papua akan meningkat dengan cepat juga," kata Tito dalam rapat dengan Komisi II DPR, beberapa waktu lalu.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas menilai pemerintah tak perlu melakukan pemekaran wilayah jika tujuannya untuk menyejahterakan rakyat dan meningkatkan pembangunan.

Cahyo menyebut salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua bisa dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah.

"Misalnya kalau di suatu daerah tidak ada rumah sakit sekelas di Jayapura, ya diberikan aja kewenangan bagi pemerintah (daerah) untuk buat rumah sakit sekelas di Jayapura. Tidak perlu dimekarkan sebetulnya. Pemerintah tidak ambil jalan itu. Berarti ada motif politik di balik itu (pemekaran)," kata Cahyo saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (1/7).

Cahyo menduga motivasi terbesar pemerintah melakukan pemekaran di Papua adalah untuk memperlemah konsolidasi politik masyarakat sipil dan gerakan militer yang menginginkan Papua merdeka.

Menurutnya, langkah pemerintah tersebut juga berpotensi memicu ketegangan yang lebih besar.

"(Memicu) distrust yang lebih besar antara gerakan politik di Papua yang ingin merdeka dengan pemerintah karena pemekaran ini tidak dilakukan melalui dialog dan konsultasi publik dengan masyarakat Adat Papua, Gerakan Perempuan Papua, Gereja-gereja di Papua," katanya.

Di sisi lain, Cahyo menilai pemekaran tersebut justru akan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat Papua.

Polarisasi itu bisa tercipta dalam dua tingkatan, antara masyarakat yang propemekaran dengan masyarakat yang kontra, serta antara masyarakat yang kontra dengan elite politik lokal.

"Ini kalau polarisasi dibiarkan semakin tajam maka akan berpotensi menimbulkan gesekan-gesekan ataupun konflik. Tapi yang sekarang muncul memang polarisasi. Polarisasi bisa jadi konflik kalau tidak dikelola dengan baik, kalau tidak ada dialog," katanya.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Orang Asli Papua jadi Minoritas


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :