JEJAK 5 TAHUN ANIES

Menatap Megah JIS dari Rumah Kayu Warga Kampung Bayam

CNN Indonesia
Kamis, 13 Okt 2022 13:25 WIB
Selama tiga tahun warga Kampung Bayam terpaksa tinggal di selter seadanya, menanti kepastian menjadi penghuni Kampung Susun Bayam.
Warga eks Kampung Bayam beraktivitas di dekat JIS, Jakarta, Selasa. 10 Mei 2022. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Puluhan hunian petak non permanen berdiri di ujung Jalan Tongkol, Pademangan, Jakarta Utara. Luas tiap hunian itu tak begitu besar, bertembok kayu dan beratap asbes, tetapi cukup sebagai tempat berlindung dari teriknya panas Jakarta pada Rabu (28/9) lalu.

Lantai hunian cuma dilapisi semen seadanya. Tak ada jendela seperti rumah pada umumya. Hanya ada satu pintu untuk keluar masuk penghuni rumah. Meski demikian aliran udara bisa leluasa bersirkulasi lewat celah-celah dinding rumah yang dibuat dari bambu seadanya.

Ibu-ibu tampak mencuci dan lainnya sibuk bercocok tanam urban farming sederhana dilakukan di depan rumah. Tampak di antaranya tengah berkumpul berbincang-bincang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mereka adalah warga relokasi dari Kampung Bayam, Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di hunian sementara atau selter ini hidup sekitar 50 kepala keluarga (KK).

Rumah mereka di Kampung Bayam telah rata dengan tanah akibat digusur proyek pembangunan Jakarta International Stadium (JIS), proyek ambisius Pemprov DKI Jakarta senilai Rp5,9 triliun.

Kilau megah JIS kontras dengan kondisi warga gusuran Kampung Bayam di selter ini.

Muhammad Furqon (44 tahun), warga Kampung Bayam yang tinggal di selter ini mengaku sudah tiga tahun menunggu kepastian menempati Kampung Susun di kawasan JIS yang tengah dibangun Pemprov DKI. Mereka dijanjikan akan menghuni Kampung Susun yang dibangun Pemprov DKI usai rumahnya tergusur.

Kampung Susun Bayam dibuat khusus Pemprov DKI Jakarta bagi warga Kampung Bayam yang terdampak pembangunan JIS seluas 11,8 hektar. Kampung Susun Bayam terdiri dari tiga blok/gedung yang diperuntukkan bagi 135 kepala keluarga.

"Kita masuk [Selter] pas momen Lebaran tahun 2020. Berarti sudah tiga tahun menunggu," kata Furqon.

Furqon bercerita saat itu 50-an warga sempat bertahan di Kampung Bayam saat berjalannya proyek JIS. Namun, pihak Pemprov DKI meminta warga yang masih bertahan untuk mengosongkan atau pindah secepatnya ke tempat relokasi.

Warga lantas diberikan dua tempat alternatif untuk relokasi, yakni rumah susun (rusun) Nagrak Clincing dan lahan milik Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) di Jalan Tongkol.

Akhirnya 50-an warga bersedia pindah sementara ke selter di Jalan Tongkol karena alasan jarak lebih dekat ke kawasan JIS. Sementara ratusan warga kampung bayam lainnya sudah berpencar.

Namun, selter kala itu belum dibangun dan masih berbentuk tanah kosong dan bekas pembuangan sampah fiber. Akhirnya, warga bergotong royong membersihkan lahan dan membangun selter dengan merogoh kocek sendiri menggunakan bahan seadanya. Bambu, kayu dan bekas reruntuhan rumah mereka yang sudah dihancurkan di JIS digunakan lagi untuk membangun selter.

"Bangun kita patungan. Satu KK ada yang Rp2 juta, Rp3 juta, Rp4 juta. Dibangunnya sendiri juga. Paling kita tambahannya asbes, kan dulu rumahnya kita [di Kampung Bayam] kan dibongkar sendiri. [Bahan dari rumah lama] yang bisa dipakai, pakai buat di sini," kata Furqon.

Warga eks Kampung Bayam beraktivitas di bantaran jalur kereta api. Jakarta, Selasa. 10 Mei 2022. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)Warga eks Kampung Bayam beraktivitas di bantaran jalur kereta api. Jakarta, Selasa. 10 Mei 2022. (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)

Sebelum digusur, Furqon berprofesi sebagai petani dan peternak yang tergabung dalam Kelompok Agrowisata Edutainment Kampung Bayam Madani di Kampung Bayam. Kelompok ini terdiri 50 KK. Bayam, kacang, kangkung turut ditanam hingga kambing, ikan dan ayam diternak untuk mencari nafkah.

Dulunya, ia mengklaim total hasil panen warga Kampung Bayam mampu mendapatkan dua ribu ikat bayam atau kangkung per hari. Satu ikat harganya mencapai Rp2-3 ribu. Mereka jual ke pasar di sekitar. Belum lagi dari hasil peternakan.

"Saya sebagai petani penanam bayam, kacang. Lahan saya sekitar satu hektare lah di sana. Hitung aja jadi berapa itu penghasilannya. Pak Anies juga sempat bawa juga hasil panen saya. Kalau cerita gitu pengen nangis saya," kata Furqon.

Kondisi Furqon berubah drastis sejak kebun dan rumahnya diratakan tanah untuk proyek JIS. Bersama warga Kampung Bayam, Ia kehilangan sumber mata pencaharian dan ekonomi untuk hidupi keluarga di lahan itu.

Kini, Furqon bekerja serabutan. Ia rela bolak balik Jakarta-Bogor untuk mengelola kebun milik orang lain di kawasan Puncak. Terkadang juga melatih Pramuka di Kwartir Jakarta Pusat.

Padahal, dulu kebutuhan ekonominya sudah tersedia di perkebunan. Hewan ternak yang dulu dimiliki pun sudah banyak dijual memenuhi hidup keluarga di selter.

"Saya kelola kebun di puncak milik orang, penghasilannya tak sebesar dulu pasti karena kan dulu [pendapatannya] di Jakarta," kata dia.

Lebih jauh, Furqon mengatakan warga Kampung Bayam mendapatkan ganti rugi bernama 'dana resume' selama setahun dari Pemprov DKI usai kampung itu digusur. Tiap KK mendapatkan jumlah dana berbeda-beda karena diukur dari penghasilan yang hilang selama setahun. Ada yang mendapatkan Rp30 juta ada pula yang mendapatkan Rp6 juta.

"Itu seperti modal untuk setahun. Resume itu penggantian penghasilan. Itu dicantumkan satu tahun. Tapi kan sudah tiga tahun kita [di selter]. Dua tahunnya lagi enggak tahu dapat atau tidak ini. Perjanjian awal satu tahun," kata Furqon.

Ketidakjelasan Kampung Susun Bayam

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER