Tim pesepeda 'Chasing the Shadow' Greenpeace Indonesia yang mengampanyekan krisis iklim mendapatkan intimidasi selama perjalanan dari DKI Jakarta menuju tujuan akhir Bali. Perlakuan intimidasi terjadi selama rentang periode 1-7 November 2022.
Mulai perjalanan dari Semarang, Jawa Tengah hingga Probolinggo, Jawa Timur. Mereka dilarang berkampanye selama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali berlangsung. Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyebut timnya mengalami teror berupa pengintaian dari orang tidak dikenal dan indikasi perusakan kendaraan.
Sekelompok organisasi masyarakat (ormas) yang mengatasnamakan Tapal Kuda Nusantara (TKN) mendatangi tim Greenpeace yang tengah singgah dalam perjalanan di Probolinggo. Mereka melakukan demo dan memaksa Greenpeace membuat surat pernyataan agar tidak melakukan aktivitas kampanye selama KTT G20 di Bali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akun WhatsApp empat aktivis Greenpeace juga diduga diretas dan dicoba diambil alih pada tanggal 5-6 November 2022. Akhirnya, Greenpeace Indonesia memutuskan untuk menarik tim pesepeda 'Chasing the Shadow'. Langkah tersebut terpaksa diambil lantaran mereka menilai kejadian ini sudah terlalu berisiko.
Intimidasi yang dialami tim Greenpeace Indonesia, menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur merupakan sebuah bentuk kemunduran demokrasi Indonesia yang nyata. Ia memandang praktik itu sebagai bentuk kembalinya rezim otoriter di zaman orde baru Indonesia.
Isnur mengingatkan seluruh pihak bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sesuai yang diamanatkan melalui Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
"Melihat sejarah bangsa kita, ini saya melihat seperti tidak ada ubahnya, hanya mengulang otoritarianisme di era orde baru, di mana aparat itu tidak lagi menghormati konstitusi," kata Isnur kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/11) malam.
Isnur menilai tindakan represif yang diterima para aktivis sama saja dengan mengulang kisah Bung Karno dan Bung Hatta, Tan Malaka, dan pejuang Indonesia lainnya di masa prakemerdekaan saat melawan para penjajah baik Belanda maupun Jepang.
"Saya sepakat dengan temuan teman-teman, kalau hal berkenaan dengan sistematis, kemudian terstruktur, itu hanya bisa dilakukan oleh aparat, oleh suatu komando," jelas Isnur.
Isnur mengatakan berdasarkan berbagai tulisan yang dimuat dalam jurnal internasional, para peneliti mengatakan bahwa mayoritas ormas-ormas di Indonesia sangat erat hubungannya dengan aparat penegak hukum di pemerintahan.
"Dan kita patut menduga, patut meyakini dengan kuat, inilah komando yang terstruktur sejak awal, sejak atas dari mulai Jawa Tengah ke Jawa Timur. Itu kan ada komando, dan komando hanya dimiliki oleh institusi militer seperti kepolisian yang kuat atau intelijen," imbuhnya.
Isnur meminta agar pihak kepolisian mengusut tuntas tindakan intimidasi sekaligus represi yang diterima Greenpeace Indonesia. Ia juga menyinggung terkait temuan dugaan pemaksaan dari para ormas ke Greenpeace Indonesia agar membuat surat pernyataan dengan tanda tangan di atas materai.
Menurutnya, surat pernyataan itu tidak sah di mata hukum. Ia kemudian mencontohkan pada Pasal 1320 KUHPerdata telah mengatur bahwa syarat sah perjanjian antara kedua belah pihak adalah dilakukan dengan kausal halal yang bebas atau tanpa adanya intervensi dan intimidasi.
"Jadi kami curiga semua ini hanya merupakan bagian dari upaya konflik horizontal yang digerakkan oleh vertikal begitu," ujar Isnur.
Klik untuk selanjutnya