Fenomena Gangster Surabaya, Antara Eksistensi dan Perlawanan

CNN Indonesia
Selasa, 06 Des 2022 16:04 WIB
Aksi gangster di Kota Surabaya yang meresahkan warga disebut sebagai bentuk ketidakpuasan remaja terhadap pertumbuhan kota yang tidak adil.
Polisi menangkap belasan remaja diduga anggota gangster di Surabaya. (Foto: Arsip Pemkot Surabaya)
Surabaya, CNN Indonesia --

Aksi kekerasan dan tawuran kelompok remaja yang menamai dirinya 'gangster' kian meresahkan warga Kota Surabaya belakangan ini.

Aksi sekelompok remaja yang konvoi sambil menenteng senjata tajam itu kerap ditemui ketika malam hari. Belakangan mereka terlibat tawuran, penyerangan pos satpam perumahan di Kenjeran, serta penyerangan warung kopi di bilangan Keputih Surabaya yang menyebabkan korban luka.

Fenomena itu disebut muncul dari rasa haus eksistensi yang meluap-luap. Menurut sosiolog Universitas Airlangga Surabaya Prof Bagong Suyanto fenomena ini biasa muncul dari anak-anak muda sub marjinal perkotaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya melihat itu ekspresi dari kultur anak muda marjinal di kota. Jadi, itu memang terjadi di kota-kota di negara lain seperti itu," kata Bagong kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/12).

Ekspresi kekerasan itu, kata Bagong, dipicu oleh rasa tak puas anak muda pada perkembangan kotanya. Bisa soal ekonomi, pendidikan yang tidak adil, masalah pergaulan dan lingkungan. Atau bahkan lahir dari keinginan melawan pranata normatif.

"Ketika kota itu dirasa berkembang ke arah tidak adil, muncul perlawanan dari anak-anak muda itu dengan cara mengembangkan perilaku-perilaku yang patologis," ucapnya.

"Saya kira ini kultur mereka yang selalu ingin melawan segala sesuatu yang sudah mapan. Makanya mereka selalu tidak suka pada polisi, tidak suka pada pranata normatif masyarakat," lanjut Bagong.

Ada juga hasrat ingin dipandang. Bagong menyebut para remaja yang terlibat dalam kelompok gangster ini biasanya ingin menunjukkan eksistensinya.

Masing-masing dari mereka kemudian berlomba-lomba ingin terlihat lebih unggul atau lebih hebat dari lainnya. Persaingannya, bukan hanya terjadi antar kelompok, tapi bahkan terjadi di antara anggota dalam satu geng.

"Persaingan itu tidak terjadi antar geng, di antara anggota gang dalam satu kelompok yang sama itu juga bersaing untuk menunjukkan siapa yang lebih berani," ucapnya.

Sebab, kata Bagong, dalam kelompok gangster ini, kasta tertinggi ditentukan oleh kekuatan. Orang yang paling hebat dan paling berani, justru akan dihormati.

Tak jarang para anggota gangster secara terang-terangan menunjukkan identitasnya di media sosial. Sambil berpose menenteng senjata tajam yang panjang, sembari kebut-kebutan di jalan.

"Maka ada yang satu bawa celurit lebih kecil, satunya bawa golok pemecah es itu sebenarnya untuk menunjukkan dia enggak kalah. Karena pada kelompok seperti ini, penghormatan itu ditentukan oleh keberanian," katanya.

Perilaku ini, kata Bagong, tak hanya menyimpang. Tapi juga sudah mengarah ke perbuatan kriminal karena mengganggu keamanan publik.

"Perilaku yang muncul tidak sekadar menyimpang. Ini perilaku mereka masuk ke dalam wilayah kriminal dan melanggar hukum," tambahnya.

Tapi, untuk memberantas fenomena ini, kata Bagong, tak cukup dengan menindak pelakunya secara hukum. Menurutnya hal itu harus diiringi solusi lain dari pemerintah.

"Untuk perilaku yang melanggar hukum, memang harus pendekatannya hukum. Tetapi pendekatan hukum itu sifatnya hanya temporary (sementara)," katanya.

Pemerintah, saran Bagong, sebaiknya menyediakan ruang-ruang kepada anak muda untuk mengekspresikan dirinya. Tentunya dengan pengawasan dan kontrol.

Misalnya dengan menciptakan kompetisi balap, atau arena berkreasi lain dengan tata cara yang legal dan sesuai dengan koridor.

"Dibutuhkan pendekatan yang lebih memahami persoalan kultural tadi. Kalau kebutuhan mereka kan pengin eksis, menunjukkan mereka jagoan. Tentu yang dibutuhkan adalah ruang-ruang yang memungkinkan mereka itu bisa menunjukkan kejagoannya itu," ucapnya.

Sementara soal dugaan perilaku ini dipicu oleh konflik antar kelompok, menurut Bagong, hal itu bukan masalah utama. Ia melihat fenomena gangster ini murni muncul karena rasa ingin eksis.

"Sentimen konfliknya bergeser. Tetapi itu sebetulnya hanya pemicu. Masalahnya yang utama kan kebutuhan eksistensi," ujarnya.

(frd/wis)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER