Jamiluddin mewanti-wanti bahwa modal utama dalam Pilpres 2024 adalah figur capres dan cawapres yang akan diusung, tak lagi melulu soal elektabilitas parpol. Oleh sebab itu, koalisi harus benar-benar memikirkan secara matang mana saja kader parpol atau tokoh politik yang memiliki elektabilitas tertinggi.
"Karena Pilpres itu pada personal bukan kepada yang mendukung, sejarah pilpres Indonesia begitu. Contohnya SBY tahun 2004 itu partai yang mengusung elektabilitasnya rendah, tetapi elektabilitasnya SBY kan tinggi saat itu," kata mantan Dekan Fikom ISSIP Jakarta ini.
Tak jauh berbeda, Pengamat Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai peta politik pada Pilpres 2024 mendatang akan sangat bergantung pada kandidat capres dan cawapres yang diusung. Kondisi itu membuat koalisi yang ada atau tengah dijajaki saat ini mudah sekali bercerai atau bahkan loncat koalisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejauh ini belum ada kesepakatan satu suara terkait capres dan cawapres yang diusung dari masing-masing bakal koalisi.
Wasisto lantas menyarankan agar koalisi lebih jeli dalam mengusung nama Capres yang seharusnya berasal dari sosok dengan elektabilitas tinggi di masyarakat, alih-alih mengutamakan pentolan parpol dan sebagainya.
"Karena sekarang adalah era personalisasi politik. Sehingga potensi pecah itu ada manakala tidak ada konsensus internal yang mengikat dan komitmen berkoalisi yang mengendur," kata Wasisto kepada CNNIndonesia.com, Kamis (22/12).
![]() |
Wasisto menilai untuk saat ini posisi koalisi yang terbentuk cukup setara dan seimbang. Namun yang menjadi parameter eksistensi mereka di masyarakat adalah sejauh mana koalisi parpol solid dan baik dalam menentukan nominasi capres maupun konsolidasi internal.
Pasalnya, kata dia, publik pun bisa melihat timbulnya dilema politik yang terjadi di antara parpol, khususnya saat menentukan Capres yang akan diusung. Kondisi itu akan dengan mudah membuat parpol dalam koalisi memilih hengkang apabila keputusan akhir tidak sesuai dengan 'selera'.
"Saya pikir potensi berubah itu ada, terlebih lagi beberapa koalisi masih menghadapi dilema soal nominasi calon yang akan diusung," ujarnya.