Nara mencari keadilan tanpa didampingi kuasa hukum. Dia hanya ditemani keluarga saat berurusan dengan polisi. Tak hanya tenaga, pikiran dan perasaan yang tercurahkan, tapi juga keuangan keluarga terkuras untuk 'membayar' polisi, demi pengusutan perkara.
Namun pihak Polresta Bogor Kota menolak berkomentar terkait hal ini. Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Bogor Kota enggan memberikan komentar. Sementara Kasat Reskrim Polresta Bogor Kota tidak menjawab panggilan telepon maupun pesan WhatsApp yang dikirim CNNIndonesia.com.
Di sisi lain, Kemenkop UKM melakukan penggantian Plt. Kepala Bagian Kepegawaian pada 23 Desember 2019. Keputusan ini sebagai respons kedinasan atas kejadian tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karo Umum juga memerintahkan kepada Bagian Kepegawaian untuk memeriksa ketujuh pegawai yang diduga terlibat.
Satu bulan usai pelaporan, polisi kemudian menetapkan keempat pegawai Kemenkop UKM sebagai tersangka. Mereka yaitu WH, ZPA, MF dan NN dijerat pelanggaran pasal 286 KUHP yakni perkosaan terhadap perempuan yang diketahui pingsan atau tidak berdaya.
Sementara tiga orang lainnya yaitu MM, AS, dan EW tak dijadikan tersangka meskipun terlibat beberapa perbuatan.
Temuan Tim Independen menyebut ketiganya ikut membuat korban tak berdaya dengan mengajak mengonsumsi miras, serta melakukan dugaan pelecehan seksual di klub malam. Mereka juga ikut mengantar korban ke kamar tempat pemerkosaan.
Para tersangka kemudian ditahan pada 14 Februari 2020. Namun setelah sebulan berlalu, tepatnya 18 Maret 2020, kepolisian menghentikan penyidikan (SP3) dengan alasan keadilan restoratif.
"Sebelum ditahan, pelaku sempat ke rumah, mendatangi ibu dan bapak korban, mengakui perbuatannya serta meminta maaf agar jangan diproses hukum," kata kakak korban.
Sebelum kasus dihentikan, muncul surat perjanjian bersama antara pelaku dengan korban yang difasilitasi oleh kepolisian pada 3 Maret 2020. Kemudian disusul dengan pernikahan antara korban dengan salah satu tersangka, ZPA, pada 13 Maret 2020.
Dalam salinan Surat Perjanjian Bersama yang diperoleh CNNIndonesia.com, salah satu poinnya memuat kesepakatan untuk menyelesaikan permasalahan secara musyawarah/kekeluargaan.
"Pihak ke-1 (korban) bersedia mencabut laporan yang telah dilaporkan di Polresta Bogor Kota...," demikian isi penggalan surat tersebut.
Menurut kakak korban, surat perjanjian itu dibuat oleh polisi. Belakangan, pihak keluarga korban mempersoalkan surat perjanjian tersebut. Roy menyebut perjanjian itu sebagai permufakatan jahat agar pelaku lolos dari hukuman.
MF, AS, MM diberhentikan sebagai tenaga honorer. NN juga dipecat sebagai cleaning service oleh perusahaan outsourcing yang mempekerjakannya.
Nasib berbeda justru dialami pegawai CPNS dan PNS. ZPA dan EW, yang berstatus CPNS justru diangkat menjadi PNS pada 20 Februari 2020.
Bahkan Karo Kepegawaian memberikan rekomendasi kepada Bappenas agar ZPA mendapat beasiswa S2 di Universitas Brawijaya Malang pada 1 Februari 2021.
Sementara WH naik pangkat pada 31 Februari 2021.
Sekretaris Kemenkop UKM justru memberhentikan atau tidak memperpanjang kontrak kerja korban pada Juli 2020. Bahkan selama Februari hingga Juli, Kemenkop UKM tidak membayarkan gaji korban. Gaji tersebut baru dibayarkan dua tahun kemudian.
Penderitaannya tak henti di situ. Nara kerap mendapatkan perundungan dari teman sekantor. Ia pun tak nyaman karena beberapa kali melihat pelaku di kantor. Korban dan pelaku bekerja pada satu ruangan yang sama.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengaku baru mengetahui kasus ini setelah polisi menghentikan kasusnya.
"Saya jadi tahu kasus ini itu kira-kira 30 Maret 2020. Jadi dari tanggal 6 Desember 2019 saya tidak mendapat laporan dan dinyatakan sudah selesai semuanya," kata Teten saat konferensi pers di kantornya, Senin (28/11) lalu.
Pada kesempatan itu, Teten juga mengumumkan pemecatan terhadap ZPA dan WH sebagai PNS. Sementara EW diberi sanksi turun jabatan setingkat lebih rendah selama satu tahun. Pihaknya juga membatalkan rekomendasi beasiswa ZPA.
"Kami justru dalam rangka untuk menegakkan keadilan yang dirasa sanksi yang sudah diberikan, bahkan ada promosi dan beasiswa, itu merupakan suatu ketidakadilan," ujar Teten.
Kini, korban dan keluarganya kembali menuntut agar kasus tersebut diusut tuntas. ZPA dianggap mengingkari perjanjian terkait kewajibannya sebagai suami. Dia juga dianggap melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pihak keluarga menyadari perjanjian bersama hanya digunakan untuk membebaskan tersangka dari jeratan hukum. Sementara korban tetap menderita dan dirugikan.
"Dari pendampingan pada semua kasus korban pelecehan perkosaan, traumanya seumur hidup meskipun kasusnya sudah diungkap, meskipun pelaku ditangkap, dipenjara, bagi korban itu adalah trauma seumur hidup," kata Ririn Sefsani, anggota Tim Independen Pencari Fakta.
(pop/pmg)