Jakarta, CNN Indonesia --
Jurnalis perempuan dan laki-laki terancam jadi korban kekerasan seksual, baik saat bekerja maupun tidak. Berdasarkan survei yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Agustus-Desember 2020, sebanyak 25 dari 34 jurnalis baik laki-laki maupun perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Survei itu digelar AJI Jakarta setelah mendapatkan laporan sejumlah kasus kekerasan seksual yang menimpa atau melibatkan anggota organisasi mereka.
Ketua AJI Jakarta Afwan Purwanto menuturkan melalui survei itu ditemukan sebagian jurnalis laki-laki dan perempuan pernah mengalami kekerasan dengan pelaku yang beragam, seperti atasan, teman sesama jurnalis, dan narasumber. Tempat terjadinya kekerasan seksual juga beragam, mulai dari tempat liputan, kantor, hingga di acara pertemuan jurnalis.
Selain itu, berdasarkan survei Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang diikuti 1.256 jurnalis perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 1.077 responden atau setara 85,7 persen pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka. Sebanyak 753 responden (70,1 persen) mengaku mengalami kekerasan di ranah digital maupun fisik, sementara hanya 179 jurnalis perempuan (14,3 persen) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sama sekali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti PR2Media Masduki menjelaskan tiga jenis kekerasan yang rentan dialami oleh jurnalis baik laki-laki maupun perempuan. Pertama, kekerasan fisik seperti intimidasi, ancaman, dan pemukulan. Kedua, kekerasan seksual secara simbolik melalui verbal. Bentuknya bisa berupa stereotip dan merendahkan lawan bicara bernada kasar atau seksis.
Ketiga, yaitu kekerasan digital. Kekerasan ini tidak hanya ditujukan kepada jurnalis secara personal, tetapi juga ke perusahaan media itu sendiri. Sejumlah kasus peretasan situs media online sudah banyak terjadi. Sedangkan kekerasan digital kepada jurnalis memiliki berbagai bentuk, seperti hacking, doxxing, hingga aktivitas surveilans atau memata-matai.
"Kalau melihat data yang kami temukan tahun lalu, justru kekerasan terhadap wartawan itu jauh lebih kompleks. Jadi tidak semata-mata karena tugas jurnalistik yang berisiko atau berat, tetapi ada persoalan relasi gender di sini yang memicu kekerasan. Jadi jurnalis perempuan itu, apapun posisinya, apalagi dia hanya jurnalis biasa ya, itu rentan mengalami kekerasan," kata Masduki.
Minim perlindungan perusahaan media
Masduki menilai selama ini masih banyak perusahaan media yang tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan seksual. Menurutnya, masih ada sikap menyangkal dari perusahaan media sendiri, misalnya menganggap bahwa tindakan yang dilakukan secara verbal bukan merupakan kekerasan seksual.
Masduki mengatakan PR2Media bersama AJI sempat menggelar survei dengan 100 wartawan dan 10 pimpinan perusahaan media soal aturan penanganan kekerasan seksual. Dalam wawancara, Masduki melihat pimpinan perusahaan media masih menilai bahwa ajakan untuk bercinta, kencan, atau menikah hanya sebatas candaan.
Ia beranggapan kekerasan seksual di perusahaan media masih dianggap sebagai isu marginal, sehingga tidak menjadi prioritas perusahaan media. Menurutnya, SOP penanganan kekerasan seksual yang ada kebanyakan bersifat kekerasan secara umum, seperti pemukulan, pembunuhan, kriminalitas, dan intimidasi. Ia menilai selama ini banyak pemahaman bahwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi dalam tugas berat, seperti investigasi atau kerja-kerja jurnalistik yang berisiko. Padahal, fenomena kekerasan kerap terjadi pada kerja-kerja harian di tempat yang dianggap paling aman.
"Ini kan soal pemahaman mengenai kekerasan terhadap perempuan itu sendiri. Jadi mereka masih denial bahwa itu cuma (bercanda) ngomong-ngomong atau verbal ngajak nikah, atau ngajak bercinta, itu biasa bercanda. (Alasan) itu masih kami dengar, bahkan dari pimpinan media yang kita wawancara. Dia (pemimpin redaksi) mengaku ada kultur redaksinya yang tidak bagus bagi perlindungan jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan seksual," ucap Masduki.
Selain itu, menurut Masduki, saat ini industri media beralasan sedang mengalami kesulitan finansial, sehingga para pemimpin redaksi kerap menganggap urusan operasional jauh lebih penting dibanding pembuatan SOP penanganan kekerasan seksual. Alasan ini makin menguat akibat adanya pandemi Covid-19. Akhirnya, SOP penanganan kekerasan seksual menjadi isu yang dipinggirkan.
"Jadi (SOP) ini bukan prioritas. Nah, mereka melihatnya ini masih sebagai isu marginal atau isu berikutnya setelah perusahaan sehat. Kemudian juga ada persoalan konstruksi sosial mengenai relasi gender yang belum baik di redaksi," katanya.
Sekretaris AJI Indonesia Ika Ningtyas menegaskan perusahaan media memiliki tanggung jawab utama untuk mencegah sekaligus menangani kasus kekerasan seksual yang dialami oleh jurnalis. Sebab, relasi ketenagakerjaan antara jurnalis dan perusahaan media mestinya tak berhenti pada upah-hasil kerja, tetapi juga pemberian rasa aman dan perlindungan dari risiko kerja. Menurutnya, setiap kekerasan yang dialami oleh jurnalis adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Media itu kan watchdog. Selama ini kan kami itu mengawasi pelanggaran HAM, kami membongkar kejahatan, tapi ketika itu semua dibiarkan terjadi dalam organisasi medianya, berarti itu menjadi hal-hal yang tidak konsisten. Seharusnya perusahaan media memiliki komitmen dan melaksanakan prinsip yang sama di dalam organisasinya, sebagai organisasi yang juga menjunjung HAM dan melindungi dan juga mempromosikan kesetaraan gender," kata Ika saat dihubungi pertengahan Desember 2022.
Ia menilai saat ini tanggung jawab perusahaan media masih rendah untuk melindungi jurnalis dari risiko kekerasan seksual. Ika menuturkan banyak jurnalis enggan melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya kepada perusahaan karena tidak yakin kasusnya akan ditindaklanjuti. Selain itu, masih banyak diskriminasi di tempat kerja yang menyebabkan perempuan lebih rentan dibandingkan jurnalis laki-laki. Hal ini diperparah dengan kondisi perusahaan yang tidak memiliki kesadaran atau mekanisme untuk mencegah atau melindungi jurnalis perempuan yang menjadi korban.
"Kalau kami melihat jumlah perempuan yang menjadi jurnalis di industri media itu masih timpang gitu ya. Meskipun juga saat ini kesempatan perempuan untuk menjadi jurnalis sampai ke tingkat redaksi itu terbuka, tapi selalu ada hambatan bagi perempuan untuk untuk memperoleh dunia kerja yang aman. Termasuk di dalam kantornya, itu yang menjadi salah satu hambatan kenapa tidak banyak perempuan yang secara kuantitas juga dia bisa gitu bertahan di dunia jurnalisme, alih-alih sampai ke tingkat struktural (yang tinggi)," ucapnya.
Upaya menciptakan perlindungan
Meski hingga saat ini Dewan Pers dan banyak perusahaan media belum memiliki SOP penanganan kekerasan seksual, sejumlah organisasi perkumpulan jurnalis justru lebih dulu berinisiatif melahirkan kebijakan ini. AJI Indonesia dan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi) sudah memiliki SOP ini sejak setahun lalu. Ika bercerita proses pembuatan aturan penanganan kekerasan seksual di AJI dimulai sejak Februari 2021 dan berlaku pada 15 Februari 2022.
Ika menuturkan SOP tersebut dirumuskan oleh lima orang yang dipilih berdasarkan kapasitas dan pengalaman menangani kasus kekerasan seksual. Tim ini kemudian membuat draf awal untuk dielaborasi dan diskusikan dengan internal AJI, termasuk meminta feedback dari AJI cabang di 40 kota. Ika mengatakan pihaknya meminta pengurus AJI di tingkat kota mempelajari draf itu dan memberikan masukan terkait kebutuhan para anggota yang dirasa belum terakomodasi, terutama dalam aspek perlindungan korban.
"Dari AJI kota kemudian kami sempurnakan lagi draf itu, di-review lagi oleh legal, ini orang lain juga, kami hire juga dia pernah di Komnas Perempuan. Dari dua proses ini jadi draf final dan kami sebarkan lagi ke AJI kota untuk menerima tanggapan akhir. Setelah menerima tanggapan akhir, SOP itu kami sahkan, kami resmikan melalui peraturan pengurus, per 15 Februari 2022. Jadi prosesnya memang panjang," katanya.
Proses serupa juga dilalui oleh Serikat Sindikasi. Ketua Divisi Gender Sindikasi Selira Dian mengatakan pembuatan SOP penanganan kekerasan seksual dibuat setelah adanya kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di internal dan melibatkan anggota pada 2020. Menurutnya, kejadian itu merupakan titik balik bagi Sindikasi berbenah. Sindikasi merancang SOP penanganan kekerasan seksual serta menegaskan sikap zero tolerance terhadap kekerasan seksual.
Sindikasi juga membentuk Divisi Gender dan Inklusi Sosial, Majelis Etik, AD/ART, dan menggelar pendidikan atau pelatihan terkait kekerasan seksual. Selain itu, Sindikasi membuka layanan hotline (berupa surel dan SMS) pengaduan kekerasan seksual serta Satuan Gugus Tugas Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual.
Selira mengatakan, saat membuat SOP penanganan kekerasan seksual, Sindikasi membentuk Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) dari dalam maupun luar organisasi. Ia juga berkolaborasi dengan SAFENet, LBH APIK, dan beberapa pihak lainnya. Sindikasi mengedepankan rasa percaya pada korban dan pendekatan yang inklusif.
Sejak SOP penanganan kekerasan seksual disahkan pada 2021, Selira mengatakan belum pernah menerima laporan kasus yang melibatkan anggota Sindikasi. Ia menegaskan jika ada kasus kekerasan seksual, Sindikasi tidak akan memberikan toleransi.
"Terakhir kami meluncurkan e-book tentang asesmen kesetaraan gender dan inklusi sosial, dalam riset tersebut kami benar-benar mengevaluasi baik anggota, perangkat organiasi, maupun kebijakan organisasi, apakah sudah benar-benar inklusif atau belum. Kami undang pula pakar gender untuk merinci lebih detail dan memberi saran untuk kerja-kerja kami ke depannya. Kami tidak pernah mentolelir tindakan kekerasan seksual, siapa pun pelakunya harus diusut tuntas. Keadilan bagi korban selalu jadi yang utama," kata Selira.
Liputan ini didukung oleh beasiswa peliputan "Yang Muda, Yang Mewartakan" yang diadakan Rutgers Indonesia dan Project Multatuli.