Ironi Jurnalis Tanpa Perlindungan dari Intaian Kekerasan Seksual

Cintya Faliana | CNN Indonesia
Jumat, 13 Jan 2023 10:00 WIB
Survei AJI Jakarta pada 2020 menyatakan, 25 dari 34 jurnalis baik laki-laki maupun perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.
Ilustrasi korban kekerasan seksual. (Istockphoto/iweta0077)
Jakarta, CNN Indonesia --

Jurnalis perempuan dan laki-laki terancam jadi korban kekerasan seksual, baik saat bekerja maupun tidak. Berdasarkan survei yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Agustus-Desember 2020, sebanyak 25 dari 34 jurnalis baik laki-laki maupun perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Survei itu digelar AJI Jakarta setelah mendapatkan laporan sejumlah kasus kekerasan seksual yang menimpa atau melibatkan anggota organisasi mereka.

Ketua AJI Jakarta Afwan Purwanto menuturkan melalui survei itu ditemukan sebagian jurnalis laki-laki dan perempuan pernah mengalami kekerasan dengan pelaku yang beragam, seperti atasan, teman sesama jurnalis, dan narasumber. Tempat terjadinya kekerasan seksual juga beragam, mulai dari tempat liputan, kantor, hingga di acara pertemuan jurnalis.

Selain itu, berdasarkan survei Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang diikuti 1.256 jurnalis perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 1.077 responden atau setara 85,7 persen pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka. Sebanyak 753 responden (70,1 persen) mengaku mengalami kekerasan di ranah digital maupun fisik, sementara hanya 179 jurnalis perempuan (14,3 persen) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sama sekali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti PR2Media Masduki menjelaskan tiga jenis kekerasan yang rentan dialami oleh jurnalis baik laki-laki maupun perempuan. Pertama, kekerasan fisik seperti intimidasi, ancaman, dan pemukulan. Kedua, kekerasan seksual secara simbolik melalui verbal. Bentuknya bisa berupa stereotip dan merendahkan lawan bicara bernada kasar atau seksis.

Ketiga, yaitu kekerasan digital. Kekerasan ini tidak hanya ditujukan kepada jurnalis secara personal, tetapi juga ke perusahaan media itu sendiri. Sejumlah kasus peretasan situs media online sudah banyak terjadi. Sedangkan kekerasan digital kepada jurnalis memiliki berbagai bentuk, seperti hacking, doxxing, hingga aktivitas surveilans atau memata-matai.

"Kalau melihat data yang kami temukan tahun lalu, justru kekerasan terhadap wartawan itu jauh lebih kompleks. Jadi tidak semata-mata karena tugas jurnalistik yang berisiko atau berat, tetapi ada persoalan relasi gender di sini yang memicu kekerasan. Jadi jurnalis perempuan itu, apapun posisinya, apalagi dia hanya jurnalis biasa ya, itu rentan mengalami kekerasan," kata Masduki.

Minim perlindungan perusahaan media

Masduki menilai selama ini masih banyak perusahaan media yang tidak memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan seksual. Menurutnya, masih ada sikap menyangkal dari perusahaan media sendiri, misalnya menganggap bahwa tindakan yang dilakukan secara verbal bukan merupakan kekerasan seksual.

Masduki mengatakan PR2Media bersama AJI sempat menggelar survei dengan 100 wartawan dan 10 pimpinan perusahaan media soal aturan penanganan kekerasan seksual. Dalam wawancara, Masduki melihat pimpinan perusahaan media masih menilai bahwa ajakan untuk bercinta, kencan, atau menikah hanya sebatas candaan.

Ia beranggapan kekerasan seksual di perusahaan media masih dianggap sebagai isu marginal, sehingga tidak menjadi prioritas perusahaan media. Menurutnya, SOP penanganan kekerasan seksual yang ada kebanyakan bersifat kekerasan secara umum, seperti pemukulan, pembunuhan, kriminalitas, dan intimidasi. Ia menilai selama ini banyak pemahaman bahwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi dalam tugas berat, seperti investigasi atau kerja-kerja jurnalistik yang berisiko. Padahal, fenomena kekerasan kerap terjadi pada kerja-kerja harian di tempat yang dianggap paling aman.

"Ini kan soal pemahaman mengenai kekerasan terhadap perempuan itu sendiri. Jadi mereka masih denial bahwa itu cuma (bercanda) ngomong-ngomong atau verbal ngajak nikah, atau ngajak bercinta, itu biasa bercanda. (Alasan) itu masih kami dengar, bahkan dari pimpinan media yang kita wawancara. Dia (pemimpin redaksi) mengaku ada kultur redaksinya yang tidak bagus bagi perlindungan jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan seksual," ucap Masduki.

Selain itu, menurut Masduki, saat ini industri media beralasan sedang mengalami kesulitan finansial, sehingga para pemimpin redaksi kerap menganggap urusan operasional jauh lebih penting dibanding pembuatan SOP penanganan kekerasan seksual. Alasan ini makin menguat akibat adanya pandemi Covid-19. Akhirnya, SOP penanganan kekerasan seksual menjadi isu yang dipinggirkan.

"Jadi (SOP) ini bukan prioritas. Nah, mereka melihatnya ini masih sebagai isu marginal atau isu berikutnya setelah perusahaan sehat. Kemudian juga ada persoalan konstruksi sosial mengenai relasi gender yang belum baik di redaksi," katanya.

Merancang Aturan Sebelum Ada Korban

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER