Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo divonis dengan hukuman mati dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Vonis itu lebih berat dari tuntutan jaksa yang menghendaki hukuman penjara seumur hidup.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menganggap Sambo terbukti melanggar Pasal 340 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 49 jo Pasal 33 UU ITE jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Para ahli hukum pidana menganggap sulit bagi Sambo untuk mendapat pengurangan hukuman lewat banding. Pelanggaran yang dilakukan Sambo dianggap sangat berat dan hampir tak ada celah untuk mengurangi hukumannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahli Hukum Pidana Yenti Garnasih menjelaskan bahwa Ferdy Sambo memang patut dihukum berat. Selain karena terbukti merencanakan pembunuhan, Sambo pun merupakan penegak hukum yang seharusnya menjadi panutan masyarakat.
"Yang memperberat sudah jelas karena Sambo merupakan pejabat penegak hukum. Walaupun disebut berprestasi lalu meminta keringanan, semua itu tidak ada kaitannya. Justru filosofinya, orang yang memiliki jabatan harus dihukum lebih berat," kata dia saat dihubungi CNNIndonesia.com.
"Jadi, untuk para pejabat, jenderal, jangan main-main dengan membunuh bawahan," sambungnya.
Menurut Yenti, pengurangan hukuman untuk Sambo tidak akan mudah didapat. Masyarakat luas akan mengawal penerapan hukuman terhadap Sambo.
Selain itu, dalih hak asasi manusia (HAM) juga tidak relevan jika ingin dipakai kuasa hukum Sambo untuk memperoleh pengurangan hukuman.
"Ketika Yosua dibunuh, apa Sambo memikirkan hak asasi? Apa dia punya hak membunuh Yosua? Dalam HAM kan, hanya Tuhan yang punya hak untuk mencabut nyawa seseorang," ucap Yenti.
Ahli Hukum Pidana Edita Elda juga berpandangan serupa. Sambo punya hak untuk mengajukan banding demi mendapat pengurangan hukuman. Namun, akan sangat sulit.
Pertama, karena Sambo merupakan dalang utama atau aktor intelektual sekaligus eksekutor. Kedua, dia menggerakkan banyak orang untuk turut terlibat.
Ketiga, Sambo adalah aparat penegak hukum berpangkat perwira tinggi yang seharusnya menjadi panutan. Keempat, Sambo berupaya membuat narasi palsu demi menutupi kronologi pembunuhan yang ia lakukan.
Edita tidak setuju jika jasa dan prestasi Sambo di kepolisian patut dijadikan tolok ukur untuk meringankan hukuman.
"Justru hal tersebut seharusnya memperberat dia. Sebab dia adalah aparat penegak hukum yang mengetahui hukum. Jadi seharusnya dia diperberat berkali-kali lipat dari pada orang biasa. Orang yang harusnya melindungi masyarakat, dia justru merusak hukum itu sendiri," kata Edita.
Selain itu, kata Elda, Sambo juga menggunakan fasilitas negara seperti ajudan dan senjata untuk membunuh Yosua. Oleh sebab itu, dia menganggap keputusan hakim sudah tepat.
"Semoga saja euforia itu bukan menjadi ambisi masyarakat untuk membalas Sambo, akan tetapi menunjukkan bahwa hukum ada di tengah-tengah masyarakat," ucapnya.
Pengamat Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar juga turut menyoroti vonis hukuman mati Sambo. Menurutnya, hakim mencoba menangkap rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat dengan mengatakan tak ada hal yang meringankan untuk Sambo.
"Sambo masih bisa melakukan upaya hukum banding meskipun sulit rasanya. Sebab, majelis hakim sendiri sudah menyatakan tidak ada hal yang meringankan," kata dia.
"Jadi, penasihat hukum harus bekerja keras untuk membuka rekaman perbuatan baik agar menjadi pertimbangan hakim," kata dia.
(psr/bmw)