Teddy Minahasa Klaim Kejanggalan Proses Hukum Saat Pembacaan Pleidoi
Mantan Kapolda Sumatra Barat Irjen Teddy Minahasa menyatakan banyak kejanggalan proses hukum perkara peredaran gelap narkoba yang kini menjeratnya. Dia menduga hal itu untuk membinasakan dirinya.
Teddy menyampaikan itu dalam sidang dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (13/4).
Teddy mengungkap sejak proses penyidikan hingga penuntutan banyak kejanggalan dalam proses hukum yang saat ini tengah dijalaninya.
Kejanggalan itu dilakukan dengan memanfaatkan para terdakwa yang bertujuan untuk menghentikan karier dan membinasakan jenderal bintang dua itu.
"Majelis Hakim Yang Mulia, dalam proses hukum yang saya alami ini, terjadi banyak sekali kejanggalan dan unprocedural yang dilakukan sejak proses penyidikan dan penuntutan," kata Teddy.
"Dengan memanfaatkan para terdakwa lainnya yang mengarah kepada sebuah konspirasi dan rekayasa untuk membunuh karakter saya, menghentikan karier saya dan menghancurkan hidup serta masa depan saya, yang tentunya berdampak terhadap keluarga besar saya. Bahkan akhirnya bertujuan untuk membinasakan saya," sambungnya.
Selain itu, kata dia, penasihat hukum para terdakwa yakni Adriel Viari Purba juga gencar menyerang dirinya dalam pemberitaan media massa.
"Jaksa penuntut umum pun secara otomatis harus melakukan estafet yang sama tentang apa yang dilakukan dari penyidik," ujarnya.
Ia lantas menyinggung keterangan ahli hukum pidana Eva Achjani Zulfa yang pernah dihadirkan dalam persidangan perkara tersebut bahwa proses penegakan hukum tidak boleh atau tidak sah jika dilakukan secara melawan hukum.
Teddy menyebut proses penetapan tersangka dirinya juga tidak sesuai prosedur. Ia ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap pada 13 Oktober 2022. Padahal dirinya belum pernah diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi atau apapun.
"Hal ini mengesankan bahwa saya memang dibidik untuk dijatuhkan. Dan sekarang terbukti bukan hanya dijatuhkan namun juga dibinasakan," ujar Teddy.
Teddy juga menyebut penetapan dirinya sebagai tersangka hanya berdasarkan keterangan saksi yang juga tersangka atau saksi mahkota serta alat bukti elektronik berupa percakapan WhatsApp yang berasal dari hasil ekstraksi ponsel milik tersangka lain.
"Jadi bukan handphone milik saya Yang Mulia, handphone milik saya tidak pernah ditampilkan Yang Mulia. Namun bukti percakapan chat WhatsApp diperoleh dengan cara yang melanggar ketentuan Pasal 6 Undang-undang ITE," katanya.
"Di mana tidak dilakukan proses uji digital forensik sesuai dengan SOP yang benar, yang menghasilkan alat bukti surat berupa hasil uji laboratorium digital forensik yang utuh dan tidak terpotong-potong," sambungnya.
Teddy mengatakan berdasarkan kesaksian ahli digital forensik dari Polda Metro Jaya dalam persidangan disebutkan bahwa alasan memotong-motong hasil uji digital forensik adalah karena hasil koordinasi dengan penyidik dan berdasarkan laporan kemajuan.
"Ini artinya bahwa konstruksi berpikir ahli digital forensik dan petugas laboratorium forensik adalah sesuai dengan dalam tanda kutipan pesanan," ujarnya.
"Karena seharusnya hasil laboratorium forensik disajikan secara utuh. Kemudian penyidik yang berwenang mengambil sampling percakapan yang diperlukan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, jadi sejak di laboratorium sudah dipotong-potong sesuai dengan pesanan penyidik," imbuhnya.
Pamer prestasi dan harta
Teddy kemudian membeberkan sederet prestasi yang diraih selama berkarir sebagai anggota Polri. Ia mengklaim prestasi-prestasi itu diraih tanpa praktik kolusi dan nepotisme.
Berawal dari pengakuan Teddy yang dilahirkan dari keluarga 'wong cilik' yang berhasil meniti karir di kepolisian usai lulus dari Akademi Kepolisian pada 1997 silam.
Teddy pamer pernah sebagai Kapolda Sumatera Barat, Staff Ahli Manajemen Kapolri, dan Wakapolda Lampung, Kapolda Banten, Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Propam Polri, Staf Ahli Wakil Presiden Republik Indonesia, hingga Ajudan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Jenderal bintang dua itu mengklaim sederet prestasi yang diterimanya selama bergabung di Korps Bhayangkara diperoleh tanpa praktik kolusi dan nepotisme.
"Jabatan tersebut di atas saya terima secara alamiah tanpa saya menggunakan cara-cara yang kolusi dan nepotisme," kata Teddy.
Ia lantas menyinggung pemberitaan yang menyebut dirinya sebagai polisi paling tajir dengan harta kekayaan senilai Rp29,97 miliar. Label dirinya sebagai polisi terkaya versi Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) lantaran ia menyampaikan seluruh harta kekayaannya secara apa adanya.
"Mohon maaf saya bukan mengutarakan kesombongan namun untuk apa lagi saya harus melakukan penyimpangan hukum seperti ini hanya demi uang Rp300 juta," ujarnya.
Teddy mengatakan harta miliaran itu didapatkan dengan penuh perjuangan bahkan hingga berdarah-darah dengan meniti karir di institusi Polri, sehingga tak mungkin apabila karir yang sudah dibangun tersebut dirusak begitu saja dengan melakukan peredaran gelap narkoba.
Ia juga mengklaim tidak pernah merepotkan bawahannya dengan meminta setoran apapun.
Keberatan hukuman mati
Teddy mengaku keberatan dengan tuntutan hukuman mati yang dijatuhkan jaksa penuntut umum. Menurutnya, tuntutan tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan.
"Dengan segala hormat dan kerendahan hati, saya merasa bahwa tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati bagi saya sangatlah berat dan tidak mencerminkan rasa keadilan," kata Teddy.
Oleh karena itu, ia meminta agar majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dapat mempertimbangkan putusannya sesuai dengan bukti-bukti yang telah dipaparkan di muka persidangan.
"Berkenan kepada Majelis Hakim Yang Mulia untuk mempertimbangkan seadil-adilnya sesuai dengan proses pembuktian selama persidangan berlangsung dan alat bukti yang ada, baik secara formil maupun materiil," ujarnya.
Jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya menuntut Teddy dengan hukuman pidana mati lantaran dinilai secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan peredaran narkoba secara ilegal.
Teddy dinilai terbukti melanggar Pasal 114 Ayat (2) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(lna/pmg)