Bahtsul Masail NU Jabar: Ekspor Pasir Laut Haram
Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat memutuskan ekspor pasir laut haram. Hal itu diungkapkan Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail NU Jawa Barat Ahmad Yazid Fatah pada saat konferensi pers hasil Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar Jawa Barat.
"Ekspor pasir laut haram," kata Yazid dalam keterangannya di laman resmi NU Jabar.
Keputusan ini lahir setelah ratusan pengurus NU dan delegasi pondok pesantren se- Priangan Timur hadir dan beradu argumentasi di forum ilmiah Bahtsul Masail berdasarkan kajian mendalam tentang kitab-kitab keislaman.
Yazid menjelaskan pemerintah memiliki kewenangan untuk mengelola hasil sedimentasi laut dengan memperhatikan kemaslahatan rakyat. Pengelolaan tersebut, kata dia, tentu harus memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
Yazid menjelaskan pengelolaan hasil sedimentasi laut untuk keperluan ekspor luar negeri dianggap haram sebagai upaya untuk menghindari eksploitasi berlebihan. Terlebih, eksploitasi itu hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu tanpa mempertimbangkan dampak dan memberikan manfaat yang seimbang bagi rakyat dan masyarakat luas.
Sementara itu, ia menjelaskan pengelolaan hasil sedimentasi laut untuk keperluan dalam negeri diperbolehkan dengan syarat tertentu.
Pengelolaan ini, lanjutnya, harus berdasarkan kemaslahatan umat, misalnya dengan melakukan pembersihan sedimentasi yang menghalangi lalu lintas kapal laut atau memanfaatkannya sebagai bahan infrastruktur untuk perluasan dermaga yang jauh dari permukiman warga.
Jika pengelolaan tersebut berdampak menjadi mudarat (kerusakan) seperti merusak ekosistem laut, meningkatkan abrasi dan erosi laut, serta menimbulkan efek banjir pada warga pesisir dan hilangnya kepulauan di Indonesia, maka hukumnya dianggap haram.
"Pengelolaan harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin terjadi," kata Yazid.
Berikut rekomendasi Bahtsul Masail NU Jawa Barat kepada pemerintah guna mengatasi isu sedimentasi laut yang kian mendesak:
Pertama, meninjau kembali PP No. 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.
Kedua, melarang ekspor pasir laut ke luar negeri demi kebutuhan pasir di dalam negeri.
Ketiga, mengelola sedimentasi laut berdasarkan kemaslahatan umat.
Keempat, menjaga pengelolaan sedimentasi laut dari dampak mudarat yang lebih besar.
Polemik ekspor pasir laut ini bermula ketika Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Aturan tersebut memungkinkan pengusaha tambang yang punya izin bisa mengumpulkan dan mengekspor pasir laut, asal kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk ekspor juga wajib mendapatkan perizinan berusaha di bidang ekspor dari menteri perdagangan.
Indonesia sempat melarang ekspor pasir laut pada 2003. Empat tahun kemudian, mereka menegaskan langkah itu untuk melawan pengiriman ilegal.
Pembukaan keran ekspor pasir laut dari hasil sedimentasi termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Beleid ini diteken pada 15 Mei 2023 lalu oleh Presiden Jokowi.
Kebijakan ini menuai kritik mulai dari elemen masyarakat sipil hingga anggota DPR.
Staf Khusus Bidang Komunikasi Publik KKP Wahyu Muryadi menegaskan tujuan utama aturan tersebut dirilis pemerintah bukan ekspor pasir, melainkan untuk melestarikan lingkungan laut.
"PP ini bukan rezim penambangan, tapi pembersihan sedimentasi dengan mengedepankan aspek ekologi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (29/5).
Menurutnya, berbagai pertimbangan sudah dilakukan pemerintah sebelum aturan ini dirilis. Salah satunya, melestarikan lingkungan yang merupakan tanggung jawab KKP sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2O14 tentang Kelautan.
"Jadi ekspor bukan tujuan utama. Pemanfaatan sedimentasi di laut lebih menekankan pemenuhan kebutuhan dalam negeri seperti reklamasi, infrastruktur di laut dan lain sebagainya," jelasnya.
(rzr/wis)