KPK di masa kepemimpinan jilid V era Firli Bahuri cs benar-benar terpuruk. Sejak pengesahan perubahan kedua UU KPK tahun 2019 lalu, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia mendapat skor anjlok.
Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan IPK Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya. Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara yang dilibatkan.
IPK Indonesia tahun 2022 dinilai mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdapat delapan indikator penyusunan IPK. Tiga indeks mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu yaitu PRS International Country Risk Guide (dari 48 menjadi 35); IMD World Competitiveness Yearbook (dari 44 menjadi 39); dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 menjadi 29).
Indeks yang mengalami kenaikan yaitu World Justice Project - Rule of Law Index (dari 23 menjadi 24) dan Varieties of Democracy Project (dari 22 menjadi 24).
Sementara tiga yang stagnan yaitu Global Insight Country Risk Ratings (47); Bertelsmann Foundation Transform Index (33); dan Economist Intelligence Unit Country Ratings (37).
Di tengah merosotnya IPK dan sorotan tajam terhadap kondisi pemberantasan korupsi, jabatan pimpinan KPK justru ditambah satu tahun.
Dalam sidang pengucapan putusan yang digelar Kamis, 25 Mei 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari semula empat tahun menjadi lima tahun.
MK juga menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK tentang syarat batas usia calon pimpinan KPK paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
MK dalam hal ini mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang mempersoalkan Pasal 34 dan Pasal 29 huruf e UU KPK.
Terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari hakim konstitusi Saldi Isra khusus terhadap pengujian norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 tentang KPK dan terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih terhadap pengujian norma Pasal 34 UU 30/2002 tentang KPK.
Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai KPK sudah kehilangan standar integritas. Hal itu terlihat dari banyaknya kasus yang melibatkan internal lembaga antirasuah.
"Semua itu dimulai satu paket antara revisi UU KPK dan penempatan Firli di KPK," ujar Castro kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Selasa (19/12).
Castro menyatakan apa yang terjadi saat ini sebenarnya sudah diprediksi jauh-jauh hari saat pembuat kebijakan tidak mendengar masukan publik terkait perubahan kedua UU KPK dan pimpinan KPK terpilih.
Ia berpendapat para elite politik dalam hal ini pemerintah dan DPR mempunyai andil dan tanggung jawab besar di balik kebobrokan KPK tersebut.
"Ini yang kerap disebut sebagai taktik kuda troya yang dimainkan oleh elite politik dan kekuasaan yang memang menghendaki KPK hancur," ucap dia.
"Di titik ini, keterangan Agus Rahardjo [Ketua KPK jilid IV] terkonfirmasi kalau penolakannya menghentikan kasus e-KTP Setya Novanto menebalkan keinginan rezim untuk membunuh KPK," tandasnya.
Castro menawarkan solusi yang kemungkinan besar bisa menyelamatkan KPK dari kehancuran yang lebih parah. Ia meminta empat pimpinan KPK yang tersisa saat ini diberhentikan. Di samping itu, ia meminta substansi UU KPK dikembalikan ke pengaturan semula. Hal itu membutuhkan kemauan politik atau political will.
"Kalau desain jangka panjangnya, KPK harus dijadikan organ konstitusi dan diatur dalam UUD agar tidak mudah diobok-obok oleh para politisi sekutu koruptor," ungkap Castro.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai peristiwa yang terjadi di KPK sepanjang tahun ini dipenuhi dengan permasalahan kinerja penindakan, bobroknya pengelolaan internal kelembagaan, dan rentetan dugaan pelanggaran kode etik pegawai maupun pimpinan KPK.
"Bahkan, tahun ini bisa dikatakan tahun terburuk pemberantasan korupsi karena Ketua KPK Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Polda Metro Jaya," ucap Kurnia.
"Di luar itu, masyarakat dipaksa untuk pasrah karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Pimpinan KPK penuh permasalahan seperti saat ini justru diperpanjang masa jabatannya, dari 4 tahun menjadi 5 tahun," tandasnya.
(ryn/pmg)