Jejen turut menyoroti minimnya fungsi pengawasan dan pembinaan dari Kemenag terhadap seluruh Ponpes yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Menurutnya, pemerintah wajib melakukan monitoring dan evaluasi terhadap seluruh pesantren secara berkala. Upaya itu, kata dia, juga harus sejalan dengan komitmen dari Kemenag untuk menjadikan pesantren ramah anak sebagai program prioritas.
Jejen menilai hal itu penting lantaran UU Nomor 18 tahun 2019 telah mewajibkan agar pondok atau asrama pesantren harus memperhatikan aspek keamanan bagi santri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah harus melakukan monitoring dan evaluasi pesantren secara berkala. Lalu menjadikan pesantren ramah anak sebagai program prioritas," jelasnya.
"Sudah ada ketentuan di UU Pesantren. Diperlukan langkah nyata untuk memastikan bahwa pesantren betul-betul ramah anak. Sehingga mereka berhasil menjadi remaja yang baik akhlaknya dan berwawasan agama," imbuhnya.
Lebih lanjut, Jejen juga menyayangkan sikap Kemenag yang terkesan lepas tangan dalam kasus tersebut dengan berdalih pesantren tersebut tidak terdaftar atau tidak memiliki izin.
Ia menilai seharusnya momentum momentum kasus Bintang tersebut menjadi bahan evaluasi bagi Kemenag untuk membenahi seluruh prosedur yang terkait perizinan pesantren.
Tak hanya itu, Jejen lantas meminta agar pemerintah khususnya Kemenag bisa lebih proaktif melakukan pendataan dan tidak berdiam diri dengan hanya memproses perizinan yang diajukan dari pihak Ponpes.
"Sebab pencegahan kekerasan di pesantren harus menjadi tugas bersama bagi pemerintah, pengelola pesantren dan orang tua santri itu sendiri," tuturnya.
Sementara itu, Edi Subkhan mendorong agar Kemenag segera menerbitkan regulasi yang secara spesifik mengatur pencegahan kekerasan di lingkungan pesantren. Terlebih selama ini peraturan menteri yang ada masih berfokus pada kekerasan seksual saja.
Edi memandang Kemenag dapat meniru aturan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang meminta setiap sekolah membentuk tim untuk mengatasi kasus kekerasan dan sejenisnya.
Kendati demikian, ia menilai hal tersebut harus tetap disesuaikan dengan karakteristik dari model pendidikan pesantren yang berbeda dengan sekolah umum.
"Misal di pesantren pasti ada pengurus dan ada bagian keamanan. Bagian ini bisa bertugas untuk keliling, mengawasi, dan mengontrol santri agar tidak melanggar aturan, termasuk kekerasan," ujarnya.
Selain itu, Edi mengatakan diperlukan juga tim lainnya yang bertugas melakukan pencegahan dan sosialisasi untuk meminimalisir aksi-aksi kekerasan di lingkungan pesantren.
"Yang bisa dilakukan membangun kultur yang baik dan keterbukaan. Termasuk membuat satu divisi atau bagian di pesantren yang memang tugasnya terkait pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual," kata Edi.