Masjid Pathok Negoro Mlangi, Patok Kesultanan Jogja di Kampung Santri
CNN Indonesia
Selasa, 26 Mar 2024 06:00 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Masjid Pathok Negoro Mlangi atau Masjid Jami An'nurdi di Dusun Mlangi di Sleman, DIY, merupakan salah satu penanda kewilayahan Kasultanan Yogyakarta. (CNN Indonesia/Tunggul)
Yogyakarta, CNN Indonesia --
Dusun Mlangi di Sleman, DI Yogyakarta, dikenal sebagai salah satu kawasan religius sejak lebih dari 2,5 abad lalu. Dan, yang menjadi denyut perkembangan peradaban religiusitas di sana selama ratusan tahun ini adalah Masjid Pathok Negoro Mlangi atau Masjid Jami An'nur.
Sesuai namanya, Pathok Negoro berarti batas negara, masjid ini menjadi penanda kewilayahan Kesultanan Yogyakarta.
Termasuk Masjid Jami An'nur, total ada empat masjid patok yang berada empat arah mata angin dari keraton Yogyakata sebagai penanda kewilayahan Kesultanan Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masjid Pathok Negoro Mlangi yang berdiri di Dusun Mlangi, Kelurahan Nogotirto itu bergaya arsitektur serupa dengan masjid keraton lainnya.
Masjid ini beratap tajug bersusun dua yang ditopang 16 saka dengan pawestren atau tempat ibadah putri di sayap bangunan itu.
Memasuki area utama bangunan, dapat ditemui beduk dan kentongan yang merupakan replika properti dari masa awal masjid ini berdiri.
Kolam air setinggi sejengkal di atas mata kaki orang dewasa mengelilingi bangunan utama.
Fungsinya untuk membasuh kaki dan menyucikan diri sebelum memasuki area masjid. Secara sufistik, hal itu merupakan simbol Baitullah yang dikelilingi air.
Masjid Pathok Negoro Mlangi sekarang ini dikelola oleh masyarakat, meskipun pihak keraton masih menganggap para takmir sebagai Abdi Dalem yang menandai status masjid sebagai Kagungan Dalem, atau secara harafiah berarti kepunyaan Sultan.
Pada sisi barat, selatan, dan timur bagian kiri masjid terdapat makam para pemuka dan masyarakat Mlangi yang terkait dengan sejarah bangunan ini. Salah satunya adalah makam Pangeran Ngabei Saloring Pasar atau RM Sandiya. Ia juga dikenal dengan nama Kiai Nur Iman.
Sekretaris Yayasan Nur Iman, Muhammad Mustafid alias Gus Tafid mengatakan Kiai Nur Iman itu sejatinya merupakan putra pertama dari Amangkurat Jawi atau Amangkurat IV bergelar Raden Surya Putra.
"Beliau [Kiai Nur Iman] adalah kakak Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Lahir dari ibu yang berbeda," kata Gus Tafid kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (2/3).
Dia mengatakan berdirinya Masjid Mlangi tak lepas dari peran Kiai Nur Iman.
Sekalipun berdarah ningrat, Kiai Nur Iman disebut tak menapaki jalan politik di Keraton Yogyakarta. Dia memilih mengabdikan dirinya dengan mengajar dan syiar Islam di masyarakat.
Sekretaris Yayasan Nur Iman yang mengurus Masjid Pathok Negoro Mlangi di Sleman, DIY, Muhammad Mustafid alias Gus Tafid. (CNNIndonesia/Tunggul)
Dia menceritakan, Kiai Nur Iman sejak dalam masa kandungan hingga dewasa, memang sudah tinggal di lingkungan pondok dan tak pernah menginjakkan kaki ke dalam lingkup kerajaan.
Sekalipun ia tahu punya darah biru, sedari kecil sampai dewasa Nur Iman menghabiskan waktunya di Pesantren Gedangan sebelum berdakwah ke sana kemari.
"Tapi maksudnya bukan lantas dioposisikan dengan keraton ya, tidak. Saya melihatnya ini pembagian tugas, beliau memilih menyebarkan ajaran agama Islam," tutur Gus Tafid yang juga Pengurus Pondok Pesantren Aswaja Nusantara Mlangi itu.
Ketika Perjanjian Giyanti yang menandai pembagian kekuasaan antara Kesultanan Mataram kepada Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi disepakati tahun 1755, Kiai Nur Iman sudah melanglang buana berdakwah ke berbagai daerah. Termasuk, kata Gus Tafid, sampai ke suatu titik yang kini dikenal dengan nama Gegulu di Kabupaten Kulon Progo, DIY.
Di situ dikisahkan berhasil mengislamkan Demang Adiwongso dan menikah dengan salah satu putrinya.
Hingga pada suatu saat sebelum naik tahta, atas tirakat para spiritualis keraton, Pangeran Mangkubumi meminta prajurit untuk mencari keberadaan RM Sandiya alias Kiai Nur Iman untuk kembali ke kerajaan.
Setelah itu Sultan Hamengku Buwono I menghadiahkan Kiai Nur Iman tanah perdikan yang bebas pajak.
Selanjutnya, Kiai Nur Iman tetap memutuskan hidup di luar kraton dan membaur bersama masyarakat biasa demi mengamalkan berbagai disiplin keilmuan Islam seperti, bahasa Arab, fiqih, ilmu tauhid, dan tasawuf yang diperoleh dari pesantren.
Di sebuah desa tempat tinggalnya, Nur Iman mendirikan pondok pesantren yang selanjutnya dikenal dengan nama Pondok Mlangi, dan tempat tinggalnya pun disebut Mlangi.
Mlangi sendiri diambil dari kata 'mulangi' yang bermakna mengajar. Istilah Mlangi ada pula yang menyebutnya sebagai singkatan dari "meleng-meleng ambune wangi" yang berarti bercahaya dan berbau harum dari kejauhan.
"Lalu didirikanlah Masjid Pathok Negoro ini, setelah itu putranya, Kiai Mursodo mendirikan Plosokuning. Saya kurang tahu secara presisi tapi infonya (Masjid Pathok Negoro) Babadan, dan Dongkelan juga ada hubungannya," ujar Gus Tafid.
"Masjid Mlangi ini Pathok Negoro [masjid batas Kesultanan Yogyakarta] yang tertua dan jadi sarana penyebaran Islam oleh Kiai Nur Iman saat itu," lanjutnya.
Baca halaman selanjutnya
Di sekitar Masjid Mlangi kini terdapat 17 pondok pesantren yang didirikan para keturunan Kiai Nur Iman.
Beberapa di antaranya Ponpes Miftah, al-Huda, as-Salafiyah, Mlangi Timoer, dan Al-Falahiyyah. Kemudian Ponpes an-Nasath, Hidayatul Mubtadi'in, Hujjatul Islam, as-Salamiyah, dan al-Furqon.
Selanjutnya Ponpes Al-Mahbuhiyyah, Al-Mubarok, dan Aswaja Nusantara.
Meskipun banyak pesantren, peran sentral Masjid Mlangi selalu diutamakan. Tak sedikit aktivitas keagamaan belasan ponpes tersebut yang berpusat di masjid itu, seperti muludan dan kajian kitab.
Gus Tafid memandang, kehidupan Kiai Nur Iman telah mengembuskan ruh pendidikan Islam dan Kraton Yogyakarta untuk menjadi panduan dan laku hidup di masyarakat secara inklusif.
"Dampak sosiokultural Masjid Mlangi di masa sekarang begitu kuat karena itu awalnya adalah pusat segala-segalanya, sebelum belakangan terdelegasikan ke pesantren, kiai kampung, dan organisasi sosial keagamaan seperti NU. Tradisi dan kultur yang ada di masyarakat berpusat pada nilai-nilai yang dulu dikembangkan di Pathok Negoro (Mlangi). Nilai kultural tersebut terangkum dalam dua kata: keilmuan dan perjuangan," kata dia.
Ketua Takmir Masjid Mlangi, Aban Ikhwan menuturkan kehidupan islami yang tumbuh dari sana kini benar-benar melekat pada masyarakat setempat. Dia menyebut istilah kampung santri bukan sebatas julukan semata, tapi juga mencerminkan perilaku warga sekitar.
Aban mencontohkan, di warga Dusun Mlangi setiap waktu magrib dengan penuh kesadaran warga menghentikan aktivitas luar rumah sejenak, menutup warung bahkan, guna beribadah, dan memupuk iman.
"Ya itu padahal enggak ada aturan tertulisnya, tapi semua begitu. Muda-mudi juga begitu," katanya.
Prinsip saling jaga dalam jalur nilai-nilai dan akhlak keislaman bak mendarah daging di sana. Dia menjamin semua warga di Dusun Mlangi mengenali satu sama lain, dan saling mengingatkan semua berada di jalan menuju kebaikan.
"Lingkungan kami aman dari kejadian-kejadian (kriminal) apa pun. Warga luar pun tahu Mlangi daerah seperti apa," klaimnya.
Masjid Pathok Negoro Mlangi di Sleman, DIY sekarang dikelola masyarakat, meskipun pihak keraton masih menganggap para takmir sebagai Abdi Dalem. Foto diambil SAbtu (2/3/2024). (CNNIndonesia/Tunggul)
Jejak Pangeran Diponegoro
Keberadaan Masjid Pathok Negoro Mlangi ini di lain sisi juga lekat dengan jejak Pahlawan Nasional RI, Pangeran Diponegoro. Pemimpin Perang Jawa (1825-1830) yang tak lain merupakan Putra dari Sultan Hamengku Buwono III ini ternyata juga pernah menimba ilmu di Masjid Mlangi.
"Memang Diponegoro sendiri dalam tanda petik pernah meguru di situ, nyantri dan sebagainya," kata Pemerhati Sejarah dan Budaya dari UGM Eka Hadiyanta kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Selain dari kakek buyutnya, Sultan Hamengku Buwono I, Diponegoro menyelami ilmu keagamaan di banyak pondok.
Eka mengatakan Diponegoro mengembangkan diri (ngangsu kawruh), tirakat ala kejawen, hingga menggalang kekuatan ke sejumlah lokasi sebelum takdir membawanya memimpin peperangan bersejarah.
Di Masjid Mlangi, Diponegoro mengakumulasi spirit-spirit perjuangan, mempelajari nilai-nilai peperangan, peran tokoh.
"Mengakumulasi kekuatan itu di situ, dalam arti strategi itu di situ," ucap Eka.
Eka menambahkan, Masjid Mlangi yang dibangun dengan falsafah Jawa 'Kiblat Papat Limo Pancer' dengan segudang nilai historisnya itu telah ditetapkan sebagai salah satu Bangunan Cagar Budaya (BCB).
Masjid Pathok Negoro digolongkan ke dalam BCB karena dianggap memenuhi kriteria: berusia dan mewakili masa gaya minimal 50 tahun; berarti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan; serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Semua syarat itu berpedoman pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Masjid Pathok Negoro Mlangi atau Masjid Jami An'nurdi di Dusun Mlangi di Sleman, DIY, merupakan salah satu penanda kewilayahan Kasultanan Yogyakarta. Masjid ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya. (CNNIndonesia/Tunggul)
Namun, Eka memperkirakan cuma bangunan lama dari Masjid Pathok Negoro Mlangi ini digolongkan BCB. Pasalnya, warga pernah memugar bangunan masjid medio 1980an, sebelum akhirnya dikembalikan ke bentuk semula sekitar mulai 2012 lalu.
Mengutip Ensiklopedi Kraton Yogyakarta (2014), Masjid Mlangi pernah dipugar menjadi bangunan modern berlantai dua berstruktur beton pada tahun 1985. Kala itu, beberapa bagian masjid yang masih asli menyisakan hiasan puncak masjid (mustaka) berbentuk gada, mimbar dari kayu berukir, dan bedug berukuran besar.
"Mungkin yang baru statusnya belum cagar budaya, unsur-unsur yang baru karena kriteria (cagar budaya) salah satunya (umur bangunan) akumulatif. Umur tahunnya sudah berubah. Yang mana saja, saya akhir-akhir ini belum ke sana lagi. Tapi kalau itu belum berubah ya cagar budaya. Modelnya (aslinya) seperti Plosokuning karena itu mengacu ke Mlangi," ungkap Eka yang merupakan Mantan arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY itu.
"Tapi setelah dikembalikan (bentuknya), ya meski (wujud fisik) sudah tidak otentik, tapi nuansanya dapat, ada aura-aura yang kembali. Karena aura pathok negoro ya sesuai konteks zamannya ya," kata Eka.