Di sekitar Masjid Mlangi kini terdapat 17 pondok pesantren yang didirikan para keturunan Kiai Nur Iman.
Beberapa di antaranya Ponpes Miftah, al-Huda, as-Salafiyah, Mlangi Timoer, dan Al-Falahiyyah. Kemudian Ponpes an-Nasath, Hidayatul Mubtadi'in, Hujjatul Islam, as-Salamiyah, dan al-Furqon.
Selanjutnya Ponpes Al-Mahbuhiyyah, Al-Mubarok, dan Aswaja Nusantara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun banyak pesantren, peran sentral Masjid Mlangi selalu diutamakan. Tak sedikit aktivitas keagamaan belasan ponpes tersebut yang berpusat di masjid itu, seperti muludan dan kajian kitab.
Gus Tafid memandang, kehidupan Kiai Nur Iman telah mengembuskan ruh pendidikan Islam dan Kraton Yogyakarta untuk menjadi panduan dan laku hidup di masyarakat secara inklusif.
"Dampak sosiokultural Masjid Mlangi di masa sekarang begitu kuat karena itu awalnya adalah pusat segala-segalanya, sebelum belakangan terdelegasikan ke pesantren, kiai kampung, dan organisasi sosial keagamaan seperti NU. Tradisi dan kultur yang ada di masyarakat berpusat pada nilai-nilai yang dulu dikembangkan di Pathok Negoro (Mlangi). Nilai kultural tersebut terangkum dalam dua kata: keilmuan dan perjuangan," kata dia.
Ketua Takmir Masjid Mlangi, Aban Ikhwan menuturkan kehidupan islami yang tumbuh dari sana kini benar-benar melekat pada masyarakat setempat. Dia menyebut istilah kampung santri bukan sebatas julukan semata, tapi juga mencerminkan perilaku warga sekitar.
Aban mencontohkan, di warga Dusun Mlangi setiap waktu magrib dengan penuh kesadaran warga menghentikan aktivitas luar rumah sejenak, menutup warung bahkan, guna beribadah, dan memupuk iman.
"Ya itu padahal enggak ada aturan tertulisnya, tapi semua begitu. Muda-mudi juga begitu," katanya.
Prinsip saling jaga dalam jalur nilai-nilai dan akhlak keislaman bak mendarah daging di sana. Dia menjamin semua warga di Dusun Mlangi mengenali satu sama lain, dan saling mengingatkan semua berada di jalan menuju kebaikan.
"Lingkungan kami aman dari kejadian-kejadian (kriminal) apa pun. Warga luar pun tahu Mlangi daerah seperti apa," klaimnya.
![]() |
Keberadaan Masjid Pathok Negoro Mlangi ini di lain sisi juga lekat dengan jejak Pahlawan Nasional RI, Pangeran Diponegoro. Pemimpin Perang Jawa (1825-1830) yang tak lain merupakan Putra dari Sultan Hamengku Buwono III ini ternyata juga pernah menimba ilmu di Masjid Mlangi.
"Memang Diponegoro sendiri dalam tanda petik pernah meguru di situ, nyantri dan sebagainya," kata Pemerhati Sejarah dan Budaya dari UGM Eka Hadiyanta kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Selain dari kakek buyutnya, Sultan Hamengku Buwono I, Diponegoro menyelami ilmu keagamaan di banyak pondok.
Eka mengatakan Diponegoro mengembangkan diri (ngangsu kawruh), tirakat ala kejawen, hingga menggalang kekuatan ke sejumlah lokasi sebelum takdir membawanya memimpin peperangan bersejarah.
Di Masjid Mlangi, Diponegoro mengakumulasi spirit-spirit perjuangan, mempelajari nilai-nilai peperangan, peran tokoh.
"Mengakumulasi kekuatan itu di situ, dalam arti strategi itu di situ," ucap Eka.
Eka menambahkan, Masjid Mlangi yang dibangun dengan falsafah Jawa 'Kiblat Papat Limo Pancer' dengan segudang nilai historisnya itu telah ditetapkan sebagai salah satu Bangunan Cagar Budaya (BCB).
Masjid Pathok Negoro digolongkan ke dalam BCB karena dianggap memenuhi kriteria: berusia dan mewakili masa gaya minimal 50 tahun; berarti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan; serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Semua syarat itu berpedoman pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
![]() |
Namun, Eka memperkirakan cuma bangunan lama dari Masjid Pathok Negoro Mlangi ini digolongkan BCB. Pasalnya, warga pernah memugar bangunan masjid medio 1980an, sebelum akhirnya dikembalikan ke bentuk semula sekitar mulai 2012 lalu.
Mengutip Ensiklopedi Kraton Yogyakarta (2014), Masjid Mlangi pernah dipugar menjadi bangunan modern berlantai dua berstruktur beton pada tahun 1985. Kala itu, beberapa bagian masjid yang masih asli menyisakan hiasan puncak masjid (mustaka) berbentuk gada, mimbar dari kayu berukir, dan bedug berukuran besar.
"Mungkin yang baru statusnya belum cagar budaya, unsur-unsur yang baru karena kriteria (cagar budaya) salah satunya (umur bangunan) akumulatif. Umur tahunnya sudah berubah. Yang mana saja, saya akhir-akhir ini belum ke sana lagi. Tapi kalau itu belum berubah ya cagar budaya. Modelnya (aslinya) seperti Plosokuning karena itu mengacu ke Mlangi," ungkap Eka yang merupakan Mantan arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY itu.
"Tapi setelah dikembalikan (bentuknya), ya meski (wujud fisik) sudah tidak otentik, tapi nuansanya dapat, ada aura-aura yang kembali. Karena aura pathok negoro ya sesuai konteks zamannya ya," kata Eka.