Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menerima sejumlah fasilitas hingga tunjangan yang angkanya bervariasi dan dibayarkan setiap bulan. Sejumlah pendapatan di luar gaji pokok itu bisa berkali-kali lipat lebih besar dari gaji pokok.
Mulai periode 2024-2029, masing-masing anggota dewan juga menerima tunjangan rumah sebagai pengganti fasilitas rumah dinas. Setiap anggota menerima Rp50 juta per bulan.
Jika ditotal, seorang anggota DPR bisa mengantongi uang lebih dari Rp100 juta dalam satu bulan. Jumlah ini belum termasuk dana kunjungan daerah pilihan (dapil) dan uang reses.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tunjangan besar dan beragam fasilitas mewah yang diterima para wakil rakyat ini mendapat sorotan tajam dan kritik luas. Banyak pihak menilai tak pantas para anggota dewan ini bermewah-mewah, sementara rakyat yang diwakilinya hidup susah.
Masyarakat juga heran para anggota DPR ini menerima tunjangan seperti tunjangan beras, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi, tunjangan peningkatan fungsi, hingga uang listrik dan telepon.
Zifa (24), seorang guru SMA asal Jakarta Barat, menyebut kenaikan tunjangan DPR sangat memprihatinkan. Ia membandingkan besarnya tunjangan dewan dengan gaji guru yang masih jauh dari layak.
"Kita kan sebagai guru ya, merasa sakit hati sih sebenarnya, gaji guru aja tuh masih banyak yang bahkan enggak nyampe Rp50 ribu gitu. Seharusnya sih bisa dilihat lah, kondisi masyarakat Indonesia tuh lebih miris daripada anggota DPR," kata Zifa kepada CNNIndonesia.com, Jumat (22/8).
Sebagai tenaga pengajar, Zifa mengaku kecewa. Ia merasa perjuangannya menempuh kuliah hingga program profesi guru (PPG) tidak sebanding dengan penghargaan yang didapatkan. Sementara anggota DPR, menurutnya, justru bisa mendapat gaji besar tanpa kerja keras.
"Seharusnya sih bisa membuat kebijakan yang lebih bijak lagi untuk rakyatnya, bukan rakyat yang harus menjadi tulang punggung negara. Tapi memang harusnya lebih bijak lagi aja sih," ujarnya.
Zifa juga menyinggung program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilainya kurang relevan. Menurutnya, pemerintah dan DPR lebih baik menyediakan pendidikan gratis dan penciptaan lapangan kerja.
"Karena enggak semua murid itu butuh makanan bergizi, tapi justru murid butuh yang namanya pendidikan gratis. Bukan makanan bergizi. Kalau bisa lapangan pekerjaannya lebih dibanyakin, agar orang tuanya bisa kerja, anaknya bisa sekolah dengan layak," jelasnya.
Zifa mengatakan pemerataan pendidikan sangat penting dilakukan. Pendidikan di Jakarta dengan daerah, terutama masih sangat timpang. Menurutnya, anggaran yang dialokasikan untuk tunjangan DPR dan menteri bisa dialihkan ke pendidikan.
"Seharusnya pemerintah bisa mengecek lah kondisi sekitar, maksudnya masih banyak masyarakat yang memang harus dipedulikan lebih dulu daripada menaikkan gaji DPR MPR," ujarnya.
![]() |
Lihat Juga : |
Lebih lanjut, Zifa, anggota dewan seharusnya tidak melupakan rakyat ketika sudah duduk di Senayan. Ia menyebut para anggota DPR terpilih karena suara rakyat.
Zifa juga meminta para wakil rakyat merealisasikan semua janjinya ketika kampanye pemilu. Menurutnya, jangan sampai rakyat hanya di dengar ketika pemilu dan dilupakan selama menjabat lima tahun.
"Kalau misal masyarakat bilangnya anggota DPR MPR justru beban rakyat, bukan rakyat yang beban negara, tapi mereka yang beban rakyat," ujarnya.
Senada dengan Zifa, Rahma (24), guru lainnya, menyebut DPR sudah berubah menjadi beban rakyat.
"Yang seharusnya dia dewan perwakilan rakyat, ini dewan beban rakyat. mengecewakan," kata Rahma.
![]() |
Sementara itu, Erren (20) seorang freelancer menilai tunjangan berlebihan untuk anggota DPR tidak masuk akal di tengah kondisi pendidikan Indonesia yang masih jauh dari merata.
"Apalagi kita bisa lihat dari faktor ekonomi kita, dari bahkan penyebaran edukasi yang di Indonesia tidak cukup merata bagi guru-guru honorer kita, especially yang di Malang itu mereka bahkan sebulannya aja itu baru cuma Rp600 ribu doang, bahkan enggak sampai Rp1 juta," ujar Erren.
Erren pun menyindir Wakil Ketua DPR Adies Kadir yang salah hitung soal tunjangan rumah anggota DPR. Adies menyebut tunjangan rumah untuk anggota DPR mestinya mencapai Rp78 juta per bulan, namun saat ini hanya Rp50 juta.
"Yang mereka bilang tunjangan rumah untuk bayar kos itu Rp3 juta sebulan, tapi Wakil Ketua DPR kemarin pas konferensi pers itu mengatakan Rp3 juta itu perbulan kalau misal dikali 26, itu berarti Rp78 juta. Nah di situ beliau mengatakan aja sudah salah dalam perhitungannya," jelasnya.
Menurut Erren, tunjangan rumah Rp50 juta per bulan para anggota DPR ini sebenarnya bisa dialokasikan untuk kesejahteraan guru honorer.
"Rp50 juta itu bisa buat bayar berapa ratusan gaji guru honorer yang ada di Indonesia sekarang. Gaji guru honorer aja bahkan enggak sampa Rp1 juta, bahkan cuma Rp600 ribu, dan mereka menjunjung tinggi banget loh, pendidikan yang ada di Indonesia ini," kata Erren.
"Mereka ingin membuat indonesia emas pada 2045, sementara para wakil kita, DPR itu sayangnya sangat menurut saya tidak pantas untuk kenaikkan gaji. Jadi faktor ekonomi dan pendidikan juga kita sangat kurang," ujarnya menambahkan.
Erren mengatakan pemerintah seharusnya fokus pada peningkatan kualitas pendidikan ketimbang mementingkan tunjangan anggota DPR maupun pejabat kementerian.
"Seharusnya untuk saat ini pemerintah kita harus berfokus untuk menaikkan kualitas pendidikan kita. Sangat miris sekali. Kemarin saya lihat di beberapa sosmed juga ada anak SMP yang tidak bisa melakukan perhitungan dasar, seperti 5 kali 5, mereka menjawab yang seharusnya 25, mereka menjawabnya itu hanya 30. Itu sangat disayangkan sekali untuk pendidikan yang di mana perhitungan dasar mereka tidak bisa. Pendidikan kita memang masih kurang," katanya.