OLAHRAGA TIONGKOK

'Merakit' Atlet di Negeri Tirai Bambu

CNN Indonesia
Jumat, 19 Sep 2014 15:16 WIB
Tiongkok demikian dominan dalam dunia olahraga Asia. Hal ini tidak datang tiba-tiba, namun hasil dari pembinaa skala besar yang didukung oleh negara.
Panji-panji bendera Tiongkok berkibar di Asian Games selama 10 tahun terakhir (Tyrone Su/Reuters)
Jakarta, CNN Indonesia -- Catatan prestasi olahraga Tiongkok di laga-laga internasional terbilang sulit dikejar. Atlet dari negeri tirai bambu ini mampu mendominasi banyak cabang olahraga.

Sebut saja tenis meja. Tiongkok berhasil menyapu bersih empat medali emas di Olimpiade London, pada 2012 lalu. Pun demikian pada bulutangkis.

Ketika menjadi tuan rumah, Tiongkok juga muncul  menjadi juara umum Olimpiade Beijing 2008 setelah berhasil mengumpulkan 51 emas, 21 perak, dan 28 perunggu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apalagi berbicara di tingkat Asia. Pada Asian Games ke-16 empat tahun lalu, mereka bisa mengumpulkan 199 emas, sementara Korea Selatan di tempat kedua 76 emas dan Jepang di urutan tiga 'hanya' 48 emas.

Sistem Pelatihan

Keberhasilan negara ini di sektor ekonomi mulai ditularkan dalam bidang olahraga. Pemerintahnya tak segan menanamkan invetasi untuk tujuan tersebut.

Sebuah sekolah sengaja dibangun untuk membentuk atlet-atlet beragam cabang olahraga. Adalah Beijing Shichahai Sport School yang didirikan pada 1958, di pusat Kota Beijing.

Sekolah ini merupakan salah satu sekolah olahraga dengan fasilitas berkualitas tertinggi. Tidak seperti layaknya sekolah pendidikan atlet yang melatih atlet remaja menuju profesional, Shichahai memulainya dari tingkat taman kanak-kanak. Mereka ditekankan untuk selalu memenangkan pertandingan.

"Olahraga adalah bisnis di Sekolah Shichahai yang didanai pemerintah dan dikhususkan untuk pelatihan generasi atlet Tiongkok," demikian dimuat Telegraph dalam laporan yang terbit sebelum Olimpiade Beijing.

Mereka belajar seperti biasa pada pagi hari. Pada sore hari, murid-murid akan berlatih selama empat jam. Semua berjalan enam hari dalam seminggu.

Para orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah ini berharap akan menuai kemenangan dan kemewahan sebagai juara olimpiade.

Tak hanya melatih siswa yang mendaftar sukarela, pemerintah juga mencari anak-anak berbakat di sekolah-sekolah umum.

Dalam sebuah laporan, Washington Post pernah menuliskan kisah beberapa siswa biasa yang kemudian menjadi atlet olimpiade. Wang Xiaowen, pelajar yang menggemari matematika dan melukis ini akhirnya menjadi atlet angkat besi.

“Menginjak kelas lima, sebuah tim pemandu bakat olahraga datang ke sekolah. Mereka mengukur panjang tangan dan bahu saya," ujar Wang Xiaowen. "Tanpa diduga, saya direkomendasikan masuk sekolah olahraga dan diminta menekuni angkat besi! Saya sangat terkejut sebab sehari-hari saya bermain bola basket.”

Lantaran patuh dan disiplin, Wang masuk ke Sekolaj Olahraga Shanghai lewat jalur beasiswa. Di sekolah itu, ia berlatih angkat besi selama lima jam sehari.

Washington Post juga memuat anggaran yang dikeluarkan untuk pelatihan tersebut. Shichahai pernah menganggarkan US$ 4 juta pada 2006.

Anggaran sekolah olahraga setiap tahunnya naik lima persen. Seluruhnya ditanggung pemerintah Kota Beijing.

Anggaran tidak hanya menanggung kebutuhan pendidikan sang atlet. Orang tua dari atlet yang memiliki masa depan sangat baik namun miskin, akan diberi tempat tinggal di kampung halaman.

Pelatihan atau Penyiksaan?

Shichahai telah memainkan peran utama dalam memproduksi atlet berprestasi untuk negaranya. Namun, sistem pendidikan yang diterapkan dinilai banyak pihak terlalu keras dalam mendidik.

Pada 2005, juara Olimpiade dayung empat kali dari Inggris Sir Matthew Pinsent mengaku melihat seorang anak perempuan berusia tujuh tahun sedang menangis. ia dipaksa berdiri dengan tangannya (handstands).

Ada pula beberapa anak kecil lainnya sedang berlatih. Wajah mereka, menurut Pinsent, terlihat tegang seperti menahan sakit, tetapi tidak mengeluarkan suara. Para pelatih begitu ketat dan tidak pernah tersenyum.

Beberapa pelatih juga dituding kerap melakukan pemukulan pada siswanya. Media setempat, China Daily, memperkirakan bahwa 80 persen dari atlet yang pensiun menderita penyakit kronis dan kemiskinan akibat latihan yang berlebihan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER