Jakarta, CNN Indonesia --
Sandy Indra Pratama adalah jurnalis CNN Indonesia. Tulisan opini ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.Jakarta, Januari 1987.
Berjubah biru langit bersepatu kuning, Ellyas Pical serius bernyanyi lagu kebangsaan: Indonesia Raya. Setiap baitnya terlafal lancar dari lidah si juara dunia tinju pertama asal Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di bagian lain ring, bendera Thailand juga berkibar. Khaosai Galaxy -jawara dari negeri Siam- tampak bersemangat menyongsong tarung perebutan unifikasi gelar juara dunia kelas terbang super versi IBF dan WBA -badan tinju dunia.
Kala itu, 27 tahun lalu, Khaosai kesohor sebagai petinju juara tak terkalahkan. Reputasi itu lantas membuat Elly -begitu panggilan akrab sang petinju kebanggaan Indonesia- penasaran.
Ting!…
Suara lonceng tanda pertarungan dimulai berbunyi. Arena yang semula sunyi, sontak meriah mengelu-elukan Elly. Maklum, pertandingan digelar di Jakarta. Publik pecinta tinju saat itu percaya diri, sang juara dunia asal Indonesia itu diyakini akan bisa mengkanvaskan lawannya.
Ronde demi ronde kemudian berjalan. Dalam pertarungan Elly nampak kewalahan. Dan rupanya benar saja, lelaki yang lahir 24 Maret 1960 di Ullath, Saparua, Maluku Tengah itu terengah-engah.
Sialnya, akibat luka yang mendera wajahnya, Elly tak bisa berkonsentrasi. Pada ronde 14, perlawanan Elly berhenti. Ia dinyatakan kalah TKO dari Khaosai Galaxy.
Negara ini pernah punya Ellyas Pical. Seorang anak miskin putus sekolah, penyelam mutiara yang berasal dari desa nun jauh di timur Indonesia. Gara-gara Muhammad Ali, ronde demi ronde olahraga tarung ini Elly tapaki. Mulai dari umur 13 tahun, hingga gantung sarung pada usia 29 tahun. Mulai dari amatir, hingga menjadi juara dunia tinju profesional.
Puncak karir Elly diraih pada 1985, kala ia pertama kali merebut gelar juara dunia. Sebuah pukulan upper cut tangan kiri mengkanvaskan Judo Chun, petinju asal Korea Selatan.
Saya, anda dan semua Indonesia pernah bangga punya Elly. Sayangnya itu berhenti di kotak ring seluas 7x7 dengan tinggi 1,5 meter. Nasib petarung macam Elly jarang benderang. Kebanyakan dari petinju berakhir di ruang-ruang temaram, seperti Elly yang pernah menjadi seorang penjaga malam.
Nama Elly sempat hilang ditelan waktu. Tak ada yang tahu. Kesulitan Elly pun seakan semua tak peduli. Tak seperti ketika ia menyandang sabuk juara dunia. Di dunia malam, Elly mendekam.
Elly kembali merebut perhatian lantaran sebuah kesalahan. Pada 2005, ia ditangkap terperangkap dalam lalu lintas perdagangan narkotik ibu kota dan memaksanya berada dalam penjara selama tujuh bulan lamanya. Frustasi.
Berkat ingatan seorang Agum Gumelar kemudian Ellyas Pical bisa kembali ke dunia olahraga. Meski bukan kembali sebagai atlet atau pelatih. Ronde kehidupan Elly jalani kembali, kini ia bekerja sebagai staf tata usaha di kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Potret Ellyas Pical yang bertarung ronde demi ronde dalam kehidupannya adalah sebuah gambaran betapa Indonesia termasuk semua kita, tak pernah punya rencana yang laik untuk putra-putra terbaik. Tangan kiri Elly yang dulu dijuluki sebagai Rudal Exocet -Rudal buatan Perancis- kini lebih banyak bergetar. Emosinya pun kabarnya tak stabil. Elly adalah gambaran bagaimana seorang yang pernah berjasa lantas cepat terlupakan.
Mungkin benar kata Soe Hok Gie, “Dan seorang pahlawan adalah seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan..”
(sip)