Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Yusuf Arifin adalah Pemimpin Redaksi CNN Indonesia. Tulisan opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.Suatu saat mengomentari kejuaraan All England, seorang komentator bulutangkis ditanya tentang hal yang membuat Susi Susanti begitu hebat.
Ia pun menggambarkan tentang
footwork yang layaknya pebalet, mental baja, pergelangan tangan yang begitu kuat tetapi lembut mengeksekusi pukulan, kemampuan membaca permainan lawan di atas rata-rata, dan stamina luar biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti ada yang tertinggal, ia tiba-tiba menambahkan: "Satu lagi, ia Susi Susanti."
Pernyataan itu menyelesaikan semua argumen mengapa Susi begitu hebat. Di luar berbagai atribusi teknis dan psikologis yang hebat, ada sesuatu yang lain dari pemain yang berjaya di era 90an tersebut. Sesuatu yang sulit dijelaskan yang membuatnya superior dibanding rekan-rekan pemain top dunia seangkatannya.
Aura magis yang membuat lawan-lawannya putus asa sebelum bertanding.
Sudah sejak awal sekali Susi terlihat menonjol dan menjanjikan sesuatu yang besar. Saya tak ingat persis tahunnya, tetapi kalau tidak salah di kejuaraan Indonesia yunior, ia tampil di tiga nomor. Kalau tak salah, tiga-tiganya menjadi juara, salah satunya berpasangan dengan Ardy B. Wiranata di ganda campuran.
Ada satu kelebatan kejadian yang selalu saya ingat, ketika dalam sebuah pertandingan di kejuaraan itu, kemungkinan di ganda campuran, ia gagal mengembalikan bola sulit yang mampu ia jangkau. Berbeda dengan pemain lain yang cenderung tidak ekspresif, Susi memukul lantai dengan tangannya karena kecewa.
Saya tak pernah lagi melihat Susi mengekspresikan diri seperti itu (mungkin karena saya tidak selalu menonton pertandingan-pertandingan Susi). Tetapi Susi senior menjadi tembok beku yang jarang memuncratkan emosinya ketika bertanding. Ia dingin dan memilih memperlihatkan ekspresi tubuhnya dengan daya juang yang luar biasa dan (kepastian) kemenangan demi kemenangan.
Sebagai ganti dari ekspresi yang menggebu-gebu muncul aura magis seolah ia tak bisa kalah. Ketika orang terpaksa hanya bisa mengatakan, "apa boleh buat ia Susi Susanti."
Bagi saya aura magis itu lahir di tahun 1989 di perebutan Piala Sudirman. Piala beregu campuran yang untuk pertama kalinya digelar dan Indonesia bertindak sebagai tuan rumah.
Indonesia sudah ketinggalan 0-2 di final dari Korea Selatan. Eddy Hartono dan Rudi Gunawan kalah dari pasangan Park Joo Bong dan Kim Moon Soo di partai pertama. Begitupun Verawaty Vajrin dan Yanti Kusmiati juga kalah dari Hwang Hye Young dan Chung Soo Young di partai kedua.
Susi bintang yang mulai menonjol. Harapan Indonesia bahwa akhirnya lahir pemain putri dari negeri ini yang akan mampu mendominasi dunia perbulutangkisan dunia. Hanya saja ia baru 18 tahun dan beban psikologis yang harus ditanggung terlalu berat saat itu.
Tetapi bukankah narasi atau skenario heroik kelahiran seorang bintang selalu pada situasi-situasi gawat? Lebih-lebih lagi harus dramatis?
Susi kalah di set pertama melawan Lee Young Suk 10-12. Di set kedua ia tertinggal 2-10, satu angka lagi Piala Sudirman akan diboyong ke Korea Selatan.
Susi seperti menggoda penggemar bulutangkis di Indonesia. Memainkan emosi penonton yang sudah luruh. Tiba-tiba saja sabetan raketnya lebih bertenaga dan akurat. Kakinya meloncat-loncat seringan kapas. Matanya tajam dan berbinar. Nafasnya yang kembang kempis ia sembunyikan. Seorang pendekar yang kemayu-gemulai hadir di lapangan.
3-10, 4-10, 5-10, 6-10, 7-10, 8-10, 9-10, penonton Istora terpesona. Penonton di layar TV tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ajakan berdoa dari Sambas yang menjadi komentator, ia selalu mengajak berdoa kapanpun Indonesia bermain di cabang olahraga apapun, untuk kemenangan Susi seperti masuk akal.
Entah karena doa yang terkabul atau Susi memang sudah di atas angin, yang jelas Susi betul-betul mengunci lawan di angka 10. Ia menang 12-10.
Di jeda pertandingan sebelum set ketiga, salah satu yang juga tak terlupa juga dari pertandingan itu, penonton dibuat ternganga, Young Suk menangis beberapa kali ditampar pelatihnya. Susi juga sempat melihat dan saya yakin di hati kecilnya ia tahu akan memenangkan pertandingan. Seperti terbukti di set ketiga ketika ia menang mudah 11-0.
Kemenangan Susi yang paling junior dari anggota tim Piala Sudirman menggugah senior-seniornya. Dua partai berikutnya, Eddy Kurniawan mengalahkan Sung Han Kok dan Eddy Hartono berpasangan dengan Verawaty Vajrin mengalahkan Park Joo Bong dan Chung Soo Young.
Indonesia memenangkan Piala Sudirman. Dan seorang bintang benar-benar telah lahir. Susi Susanti namanya.
Semenjak itu menurut saya, kepastian kehebatan Susi tinggallah prosesi. Menyongsong sebuah keniscayaan. Dari berbagai kejuaraan internasional, Kejuaraan Dunia, Grand Prix, All England, Piala Uber, emas Olimpiade Barcelona 1992 adalah gelimang yang seperti tertakdirkan.
Apa boleh buat, ia Susi Susanti.