Jakarta, CNN Indonesia -- Mayoritas negara-negara peserta festival olahraga rekreasi dunia atau TAFISA World Games 2016 (TWG2016) telah pulang ke negaranya masing-masing setelah menjajal ajang tersebut di Taman Impian Jaya Ancol sejak 6 Oktober lalu.
TWG2016 dirancang sebagai ajang bertaraf internasional untuk mencari kesenangan, kebugaran, sekaligus promosi wisata dan budaya. Demikian yang dinyatakan Hayono Isman, ketua panitia penyelenggara saat berkunjung ke redaksi
CNNIndonesia.com pada 15 April 2016 silam.
Akan tetapi esensi ajang tersebut untuk saling mengenalkan budaya masing-masing negara menjadi pertanyaan, ketika masyarakat menilai publikasi dan promosi tidak gencar. Selama tiga hari penyelenggaraan, nyaris tak ada penonton umum yang memadati masing-masing ajang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Panitia berdalih anggaran TAFISA sekitar Rp 401 miliar dirasa terbatas atau pas-pasan. Dana untuk pelaksanaan lomba tersebut berasal dari anggaran pendapatan belanja dan negara (APBN), BUMN, sponsor dan juga dana pengembangan perusahaan.
Kemudian pemilihan lokasi penyelenggaraan yang berada di tempat rekreasi pun menjadi persoalan lain. Menpora, Imam Nahrawi, mengakui bahwa salah satu sebab ajang TWG2016 minim pengunjung adalah karena lokasinya yang terletak di pinggir pantai.
"Saya kira itu juga menjadi kekhawatiran saya sejak awal. TAFISA ini digelar di tempat rekreasi. Maka semua orang ketika masuk tempat rekreasi, sudah punya tujuan lokasi mana yang mau didatangi," kata Imam saat berkunjung langsung ke lokasi (7/10).
Lantas, apakah TAFISA tahun ini betul-betul sukses dalam hal mempromosikan budaya? Ataukah hanya sekedar berpiknik di Pantai Ancol selama sepekan?
Nyatanya, beberapa peserta beranggapan TAFISA 2016 cukup sukses dalam hal mempromosikan budaya dari berbagai negara.
"Jelas bukan sebuah acara piknik bagi saya. Saya bahkan tidak sempat melihat pantai," kata Markus Koskivirta, wasit e-Sports dari Finlandia, kepada CNNIndonesia.com melalui pesan singkat (9/10).
"TAFISA ini menurut saya sudah cukup sempurna dalam mencapai esensi budaya tersebut. Dan di hari-hari terakhir, kami mendapatkan jumlah pengunjung di e-Sports yang cukup baik."
Nicola Riesen (23), pemain e-Sports asal Swiss, mendapat pengalaman yang spesial di Indonesia. Ia mengaku senang dapat berkompetisi dengan negara lain.
Menurutnya, penyelenggaraan turnamen tersebut cukup baik dan teratur, meski tetap menyayangkan kondisi minim penonton.
"Walaupun banyak promosi (budaya) di Indonesia dari yang kami lihat, sayangnya kami tidak melihat ada banyak pengunjung. Dan media yang bergabung dengan tim kami dalam perjalanan ini pun berpikiran yang sama. Bagi kami setidaknya, TAFISA 2016 sukses mencapai esensi untuk mempromosikan budaya negara-negara," ucap Riesen.
"Kami mendapatkan banyak teman dan saling bertukar nomor telepon. Kami pergi ke pesta bersama dan bahasa bukan menjadi batasan lagi. Saya yakin kami akan tetap berkontak dengan beberapa dari mereka."
Maryke Kennard (22), pemain e-Sports dari Afrika Selatan, punya pendapat berbeda. Ia menemukan beberapa masalah penyelenggaraan e-Sports.
"Saya sarankan agar di masa mendatang panitia dapat bekerja sesuai jadwal. Karena di TAFISA 2016, saya melihat banyak panitia menganggur tanpa menyaksikan pertandingan, ataupun membantu para pemain. Mengingat banyak barang yang hilang di e-Sports seperti 20 headsets yang bernilai sekitar masing-masing 100 dollar, juga laptop Asus yang harganya sangat mahal," ujar Kennard.
"Tapi ini merupakan kunjungan yang menyenangkan di Indonesia, orang-orangnya juga baik dan luar biasa," ujarnya melanjutkan.
Sementara itu pemain
street soccer dari Palestina, Reyad Seder, mengaku banyak mendapatkan pengalaman baru baik dalam hal promosi budaya maupun 'piknik bersama' negara-negara lain. Ia berharap Palestina dapat berpartisipasi kembali dengan lebih baik lagi di TAFISA berikutnya.
"Tentu saja TAFISA tahun ini sukses dalam hal mempromosikan berbagai macam budaya," tutur mahasiswa peraih beasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta jurusan teknik elektro tersebut.
Senada, ketua delegasi Rumania Nicolae Dobre memuji penyelenggaraan TAFISA di Indonesia. "Karena saya melihat budaya, tradisi, dan olahraga dalam satu ajang ini," katanya.
"Tapi ini hanya pendapat saya, acara ini tidak memiliki penonton. Yang ada hanya peserta. Menurut pendapat saya, acara ini butuh penonton."
(vws)