Solo, CNN Indonesia -- Menjadi pelatih atlet
difabel bukan hal mudah untuk dilakoni. Butuh kesabaran ekstra dan ketulusan hati untuk mencetak atlet difabel berprestasi.
Tak sekadar teknik berlomba, pelatih juga harus tahu latar belakang dan cerita masa lalu sang atlet untuk mengetahui kondisi psikologisnya. Seperti yang dialami Kevin Fabiano, asisten pelatih nasional para atletik yang sudah bergelut dengan pekerjaannya sejak 2013 lalu.
Menurut Kevin, melatih atlet difabel merupakan hal yang kompleks. Ia melihat kondisi para atlet berasal dari latar belakang yang berbeda. Begitu juga cerita masa lalu yang membawanya bergabung dengan National Paralympic Committee (NPC) di Solo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada yang keluarganya awalnya malu karena memiliki anggota yang cacat, ada yang dikeluarkan dari keluarga. Dengan latar belakang yang berbeda itu saat mereka datang kita cari informasi dulu, tidak bisa langsung taruh di mes."
"Setelah di mes, kita dekati secara personal, kita tahu emosinya dia, karakternya dia. Kalau kita sudah tahu kondisinya, saat memberikan teknik dan program jadi lebih enak," urai Kevin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (6/9).
 Atlet-atlet Indonesia sedang mempersiapkan diri jelang Asian Para Games 2018. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Di NPC Indonesia ada tiga kategori disabilitas yang dijadikan atlet; tuna netra, tuna daksa dan tuna grahita. Menurut Kevin, tantangan paling sulit adalah membina atlet tuna grahita.
Sebagai pelatih, Kevin harus ikut tertawa ketika atlet penyandang tuna grahita yang dilatihnya sedang bahagia. Namun, ia juga harus ikut bersedih ketika anak asuhnya sedih.
"Kadang ada anak yang tuna grahita itu kalau lagi
down ya
down kalau lagi
fight ya
fight. Saat datang kadang malas, duduk, diam. Setelah itu dikasih program sama pelatih tidak jalan. Cara mengatasinya diamkan dulu, ajak ngobrol dengan yang lain dulu. Pulang ke mes ajak makan bareng, ajak jalan-jalan dulu baru sore kasih program lagi baru masuk," terangnya.
Kevin mengaku sering mendapatkan prilaku atlet yang cepat marah. Selain itu, ia juga bertugas menjaga atletnya ketika mendapat ejekan dari masyarakat sekitar yang menanggap remeh dan memandang sebelah mata para penyandang disabilitas.
"Kuncinya, harus berbicara dari hati ke hati dengan para atletnya. Selain itu, juga harus lebih sabar," ucapnya.
 Atlet Indonesia siap tampil menghadapi atlet luar negeri di Asian Para Games 2018. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Secara penampilan, para atlet disabilitas memang apa adanya. Tak jarang mereka memakai sendal jepit dan celana pendek saat keluar dari mes. Sekali waktu, cerita Kevin, pernah ada salah satu atletnya yang dicela. Sang atlet pun menceritakan kejadian tersebut kepada Kevin sambil menangis karena emosi.
"Besoknya saya ajak temen saya ketemu orang yang mencela itu. Saya kasih tahu kalau orang yang dicelanya itu adalah atlet nasional. Saya kasih lihat foto-fotonya. Langsung orang itu kaget. Kita harus edukasi karena banyak yang tidak tahu tentang disabilitas," ujar Kevin.
Meski pekerjaannya terasa begitu berat, Kevin mengaku tidak pernah letih untuk melatih para atletnya di lintasan atletik. Ia juga sempat mengeluh jika mendapatkan kesulitan, tapi keluh kesahnya kemudian hilang lantaran melihat perjuangan para atletnya yang begitu bersemangat untuk memberikan prestasi terbaik buat Indonesia.
"Saya senang karena ini sifatnya sosial dan saya meyakini pekerjaan ini panggilan dari Tuhan, jadi kita harus ikhlas dan saya membalikkan ke diri sendiri harus banyak bersyukur," ungkapnya.
(nva/har)