Jakarta, CNN Indonesia --
Persib Bandung adalah rumah saya, harga diri saya. Buat orang Sunda seperti saya, Persib ini budaya. Persib juga pernah jadi cita-cita saya.
Kedatangan Persib ke kampung sebelah, di Cikidang, membuat saya jadi mengetahui muka Asep Dayat, penyerang Persib, lewat poster yang ditempel. Saya yang lebih sering mendengarkan pertandingan Persib lewat radio, jadi lebih semangat untuk berangkat ke Bandung.
Berkat informasi dari seorang teman, saya pun menuju SSB UNI di Bandung dengan diantar keluarga besar. Ya, keberangkatan saya ke Bandung sudah seperti orang naik haji.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masuk SSB, saya minder. Kepercayaan diri saya runtuh ketika saya melihat para pemain yang bermain dengan sepatu. Saya yang terbiasa bermain bola tanpa sepatu, tak bisa berbuat banyak. Ketika pakai sepatu dengan pul, saya tidak bisa mengeluarkan permainan terbaik. Menendang bola pun sulit rasanya. Tetapi saya bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik salah satunya Eka Ramdani.
Eka yang saya lihat waktu itu badannya kecil, gempal, tapi tendangannya keras, dan akurasinya bagus. Saya lihat dia pagi di lapangan, siang di lapangan, sore di lapangan. Saya bertanya dalam hati, "Ini orang enggak ada istirahatnya apa ya?"
 Membela Persib Bandung selalu menjadi impian Atep. (ANTARA/Fahrul Jayadiputra) |
Alhamdulillah perjuangan saya membuahkan hasil. Saya terpilih masuk tim Haornas, Piala Soeratin, dan Timnas Indonesia U-18 serta U-20.
Menjadi anggota Timnas Indonesia menjadi kebanggaan bagi saya, ibarat buah manis dari hasil kerja keras. Tetapi masih ada satu hal yang mengganjal, tawaran Persib tidak kunjung datang. Hidup harus terus berjalan meski cita-cita tampaknya masih jauh dari raihan tangan. Saya berpikir, mungkin belum cukup baik untuk dilirik Persib, Maung Bandung yang saya cintai.
Seiring waktu berjalan, pelatnas Timnas Indonesia U-20 ternyata mewajibkan para pemain bergabung dalam satu klub bernama Persiba Bantul yang berkompetisi di divisi satu atau sama dengan Liga 2 untuk saat ini.
Saya dan pemain-pemain lain merasa tidak sreg dengan kewajiban membela Persiba. Beberapa teman tiba-tiba memilih hengkang dan angkat kaki dari Timnas Indonesia dan bergabung dengan klub lain karena merasa Persiba bukan tujuan.
Di tengah kegusaran itu saya mendapat tawaran untuk memperkuat kesebelasan ibu kota, Persija Jakarta. Sebelumnya saya memang sempat diperkenalkan dengan Persija oleh Ronny Patinasarani dan Bambang Sucipto ketika masih menjalani pelatnas.
Jiwa muda saya mengatakan tantangan dari Persija yang bermain di kasta tertinggi sepak bola Indonesia pasti akan lebih tinggi dibanding bermain di divisi dua. Saya pun memilih bergabung dengan Macan Kemayoran dan menandatangani kontrak sehari sebelum Timnas Indonesia U-20 berangkat ke Bantul.
Anak muda memang tanpa perhitungan. Saya lupa kalau semua barang masih ada di mess Timnas Indonesia di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Alhasil sekitar pukul 10 malam, dengan sembunyi-sembunyi, saya menggunakan taksi untuk mengambil barang-barang dari Rawamangun untuk saya boyong ke mess Persija di Ragunan.
Deg-degan di malam hari berlanjut pada keesokan hari. Saya dicari oleh pengurus Timnas, telepon yang saya terima dari manajemen tim menyebut saya wajib ikut ke Bantul. Mereka menyebut saya adalah pemain yang dibutuhkan tim sehingga saya harus kembali.
Sementara IGK Manila yang waktu itu menjadi Manajer Persija menegaskan saya harus tetap di Persija, dan beliau juga memastikan akan menjamin keberadaan saya di klub kebanggaan Jakmania.
Pihak PSSI dan Persija pun bertemu untuk menyelesaikan perebutan diri saya, tetapi tidak ada titik temu. Hingga suatu hari pengurus PSSI mengeluarkan surat yang berisi pelarangan bagi Persija untuk menurunkan saya di dalam kompetisi Liga Indonesia yang akan berlangsung.
Menghadapi situasi demikian saya pun bingung. Ketika itu IGK Manila lagi-lagi menenangkan saya. Setelah menghubungi orang tua dan menceritakan masalah, saya memutuskan tetap bermain di Persija meski tidak dapat berlaga selama satu musim kompetisi.
Tidak boleh berlaga di kompetisi bukan berarti saya tak bisa bermain di turnamen pramusim. Piala Emas Bang Yos menjadi perkenalan Atep muda pada Persija. Pada pertandingan ketiga di fase grup, Persija tertinggal dari PSM Makassar dan saya masuk menjadi pemain pengganti.
Hasil akhir seri, Persija tidak lolos ke fase gugur. Tetapi saya menjadi
man of the match dan mendapat sambutan meriah. Lebih dari itu saya merasa mendapat kepercayaan dari manajemen, juga suporter. Ternyata tidak ada yang mempermasalahkan saya berasal dari Jawa Barat.
Setelah melewati masa hukuman, saya pun menjadi pemain langganan pengisi tim inti Persija. Musim demi musim saya lalui, tapi saya belum berjodoh dengan gelar juara.
Baca sambungan tulisan ini dengan mengklik tautan berikut:
Jebakan 'Betmen' Eka Ramdani dan Gelar ISL
Setelah musim 2007 selesai dan musim selanjutnya belum dimulai, saya mengisi dengan kegiatan di luar lapangan. Salah satunya bermain ke Bandung bersama Ronggo (Airlangga Sucipto). Rencana ini pun disambut Eka Ramdani yang mempersilakan saya menginap di hotel yang telah ia pesan.
Ternyata rencana Eka adalah 'jebakan betmen'. Di hotel tersebut sudah ada manajer Persib Umuh Muchtar yang langsung menanyakan harga yang saya inginkan agar menanggalkan kostum Persija dan bergabung ke Persib.
Bukan sebuah keputusan mudah bagi saya untuk berpindah klub. Saya butuh pikiran tenang dan saya menghubungi orang tua untuk melewati situasi sulit. Tetapi saya sadar kostum Pangeran Biru adalah cita-cita dan Maung Bandung adalah alasan saya serius menekuni sepak bola sebagai mata pencaharian.
Kontrak diteken dan drama kembali terjadi dalam kehidupan saya. Rekan dan pengurus di Persija tak henti-hentinya menelepon. Saya tak bisa mengangkat karena saya belum punya kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan mereka. Beruntung waktu itu belum zaman media sosial seperti sekarang, kalau sudah pasti saya habis hahaha.
Hingga akhirnya saya memberi keterangan resmi, saya pun pamit dari Persija. Tetapi cerita lama terulang kembali, saya lupa membawa barang-barang saya dari mess Persija. Persis ketika saya pindah dari Timnas ke Persija. Beruntung ada tim ofisial Persija yang bisa saya hubungi dan bertemu dengan saya di Bogor.
Setelah berada di Persib ternyata tidak seindah seperti yang saya bayangkan. Bobotoh tidak gegap gempita menyambut saya. Label mantan pemain Persija yang melekat membuat mereka menyimpan keraguan. Bahkan lebih dari itu, saya juga mendapat hujatan dari beberapa suporter. Poster bergambar muka saya yang dicoret pun pernah saya temukan.
Ketika saya masuk Timnas lagi, ada agenda uji tanding dengan Persib di Stadion Siliwangi. Saya yang membela Timnas menghadapi atmosfer yang cukup tidak bersahabat. Senior-senior di Timnas berpesan agar saya fokus. Dalam pertandingan itu saya berhasil mencetak gol dan emosi saya meluap, saya buka baju dan merayakan gol.
Ketika itu saya merasakan gol tersebut membuat Bobotoh terdiam. Saya berpikir ini adalah pembuktian saya dan mereka sepertinya memiliki keinginan melihat saya bermain dengan baik ketika membela Persib kelak.
Selain Bobotoh, ujian lain bagi saya yang sempat saya hadapi adalah seleksi pemain di Persib. Awalnya saya pikir akan mendapat tempat seperti di Persija. Tetapi jangankan tampil sejak menit pertama, saya bahkan sulit dapat tempat untuk sekadar duduk di bangku cadangan.
Galau mungkin bisa jadi kata yang tepat menggambarkan keadaan waktu itu. Jujur, saya sempat menangis. Kemudian saya berpikir mungkin memang begitulah situasi di klub yang besar seperti Persib. Mental kuat, latihan, semangat, dan keberanian mengemban tanggung jawab menjadi kunci melewati situasi sulit.
Meski awalnya ditempatkan sebagai wing back, posisi yang asing buat saya, tetapi saya menjalani permintaan pelatih dengan segenap kekuatan. Perlahan saya mendapat tempat. Selangkah demi selangkah posisi pemain inti pun mulai akrab. Cuma gelar juara yang masih jauh dari langkah kaki yang semakin menua.
Tahun 2013 saya dan Persib bertemu dengan sosok Djadjang Nurdjaman di tim utama Persib. Pak Djajang bukan orang asing bagi kami. Di tangannya, saya mendapat kehormatan menjadi kapten dan Persib diubah menjadi lebih mengutamakan rasa kebersamaan.
Satu hal yang saya begitu ingat adalah pada awal musim pak Djajang memastikan para pemain memiliki komitmen untuk menjaga kekompakan. Berangkat latihan kami harus bersama-sama dari mess, tidak ada kata tidak. Begitu juga ketika makan dan hal-hal lain yang memang melibatkan tim.
Di ruang ganti juga suasana menyenangkan, santai, tidak tegang, itu benar-benar membantu. Terkesan sepele, tapi itu menjadi kebiasaan yang turut membangun sebuah tim.
Tahun kedua bersama mantan pemain dan mantan asisten pelatih Persib itu, kami menjalani musim yang bagus. Pada awal musim saya merasa skuat ini komplet. Ada Firman Utina, Makan Konate, Supardi, M Ridwan, Ferdinand Sinaga. Saya memang optimistis dengan tim ini waktu 2014.
 Atep membawa Persib juara Piala Presiden usai merebut gelar ISL 2014. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay) |
Dengan menempati peringkat kedua wilayah barat musim regular, membuat tiket ke babak delapan besar ada di tangan. Satu grup bersama Mitra Kukar, Pelita Bandung Raya (PBR), dan Persebaya memang tidak mudah. Adangan terberat justru datang dari PBR. Mereka benar-benar main tanpa beban dan begitu menyulitkan. Satu-satunya kekalahan kami di babak delapan besar dialami ketika menghadapi PBR.
Dua tim Bandung masuk ke semifinal. Persib menghadapi Arema Cronus dan PBR bertemu Persipura Jayapura. Menghadapi Arema, kami tidak bisa berkembang dan kebobolan lebih dulu. Setelah memperhatikan tim pada babak pertama, saya dimasukkan pada pertengahan babak kedua. Alhamdulillah ada perubahan permainan dan Vlado cetak gol. Saya pun bisa main enjoy dan mencetak gol untuk membawa Persib ke final
Waktu lawan Persipura enggak ada doa khusus, kami juga bermain seperti biasa tetap tenang, mendengarkan musik di ruang ganti, sama seperti biasa. Kami berhasil menjaga optimisme dan saya tahu ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk jadi pemenang. Kepada teman-teman saya katakan ini adalah peluang yang tidak mungkin terulang pada musim depan.
Di final saya juga tidak masuk jadi starting eleven dan baru masuk pada pertengahan babak kedua. Saya hanya berpikir positif saja di partai final, tetap fokus. Ibaratnya satu kaki sudah ada di podium juara dan hanya butuh selangkah lagi untuk jadi juara.
Tidak pernah meraih juara pun tidak saya rasakan sebagai beban. Saya bisa menghandle tekanan dan mengubahnya menjadi dorongan untuk tampil baik. Ketika adu penalti saya sebenarnya bersyukur karena jadi penendang ketujuh. Syukurlah penalti waktu itu cuma sampai penendang kelima dan saya enggak perlu nendang hahaha.
Ya inilah tim terbaik Persib, kesebelasan yang menjuarai ISL 2014 dan Piala Presiden 2015.
Baca sambungan tulisan ini dengan mengklik tautan berikut:
Telepon Pemutus Hubungan Minggu (13/1) sekitar pukul 10 saya ditelepon manajemen Persib. Ini adalah komunikasi pertama dengan manajemen karena setelah pertandingan terakhir melawan Barito Putera hampir tidak ada kejelasan mengenai nasib saya, apakah berlanjut atau tidak.
Tiba-tiba telepon itu berisi pesan, saya tidak masuk skema tim 2019. Bagi saya ini risiko pekerjaan. Tapi saya masih mempertanyakan mengapa caranya harus lewat telepon. Saya bukan pemain baru. Saya sudah merasakan pahit dan manis bersama Maung Bandung.
Saya bukannya ingin diperlakukan spesial, tapi semoga manajemen tidak memperlakukan pemain seperti itu lagi pada masa depan. Sebagai pemain saya ingin keluar baik-baik dan pamit. Saya sendiri memutuskan ke mess Persib pada Senin (14/1) dan pamit ke teman-teman.
Saya menerima keputusan manajemen walau sedih juga karena harus berpisah dengan orang-orang yang anggap seperti keluarga besar. Mungkin ini keputusan yang terbaik untuk kebaikan tim.
Selepas telepon itu, rutinitas saya pun berubah. Yang biasanya berlatih bersama tim setelah mengantar anak-anak ke sekolah, kini kebiasaan itu berubah. Tidak belok ke stadion lagi, tapi langsung ke rumah.
Suasana hati saya masih belum menentu untuk memastikan masa depan, entah itu bermain, melatih, atau membuka bisnis. Saya juga berdiskusi dengan istri yang juga masih merasa sedih. Memang ada tawaran dari klub lain tapi saya belum memutuskan karena saya masih identik dengan Bandung.
Walau sudah tidak berseragam Persib, saya akan terus mengikuti perkembangan Persib. Bobotoh juga ingin juara, dan manajemen sudah mengikuti apa yang diinginkan pelatih. Mudah-mudahan bisa juara lagi.