TESTIMONI

Candra Wijaya: Soeharto, Tragedi Mei 1998, dan Emas Olimpiade

Candra Wijaya | CNN Indonesia
Selasa, 28 Mei 2019 20:08 WIB
Legenda bulutangkis Indonesia, Candra Wijaya, bercerita soal perjalanan karier serta peristiwa Mei 1998 yang bertepatan dengan ajang Piala Thomas di Hong Kong.
(CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
Soal peristiwa Mei 1998, ketika itu saya berada di Hongkong bersama tim Piala Thomas Indonesia. Kami tentu ingat betul, bahkan sampai sekarang masih ada trauma, apalagi bila melihat kembali foto atau berita di televisi, melihat situasi kondisi di Tanah Air yang rusuh dan kacau balau.

Kami bingung dan gelisah, karena walaupun rumah atau keluarga kami dijaga, namun tetap saja perasaan ini was-was. Jantung dan ulu hati rasanya nyut-nyutan mau copot karena memikirkan keluarga di rumah. Di samping itu pada waktu yang sama kami harus konsentrasi dan siap untuk bertanding. Secara psikologis ini sangat mempengaruhi mental kami.

Sempat ciut dan berfikir negatif, namun saya bertekad tak akan mundur dari tugas dan tanggung jawab sebagai atlet profesional. Sekaligus ingin membuktikan kecintaan, loyalitas dan dedikasi saya kepada bangsa dan negara. Bukan takut, apalagi berkhianat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika di final Piala Thomas kami melawan Malaysia. Kondisinya kami unggul 2-1. Saya dan Sigit (partai keempat) menjadi penentu kemenangan. Kesempatan menang terbuka setelah Hendrawan (partai ketiga, tunggal putra) menang rubber set melawan Yong Hok Kin.

Hasil Hendrawan meyakinkan saya dan Sigit untuk menutup kemenangan menjadi 3-1 sekaligus mempertahankan Piala Thomas di tahun 1998.

Candra berkaca-kaca saat bercerita tentang peristiwa Mei 1998.Candra berkaca-kaca saat bercerita tentang peristiwa Mei 1998. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni)
Saya merasakan emosi yang luar biasa ketika itu, campur aduk, kacau balau bersama tim. Namun di situ pula kami rasakan ada hasrat menggebu, ada keinginan, kebersamaan, kekompakan, dan kekuatan dalam tim, sekaligus menjadi motivasi kami untuk dapat mempersembahkan gelar juara. Mudah-mudahan harapan kami dan kita semua, kiranya peristiwa buruk 1998 jangan sampai terulang kembali.

Selepas meraih Piala Thomas kami sempat menunggu beberapa hari dahulu di Hong Kong dan melihat situasi serta kondisi di Tanah Air. Sejarah mencatat, mungkin itu sebagai peristiwa yang langka. Ketika kami berangkat dilepas oleh Presiden Soeharto, kembali ke Indonesia di terima oleh Presiden Habibie.

Sudah menjadi tradisi bila ada yang menjadi juara ajang seperti Piala Thomas, maka kami bersama tim diarak keliling Jakarta. Misinya agar kondisi segera kondusif dan memberi dukungan moril atau semangat kepada saudara-saudari kita yang terkena kerusuhan atau musibah.

Piala Thomas 1998 jadi pembuktian tim bulutangkis Indonesia di tengah kerusuhan massal.Piala Thomas 1998 jadi pembuktian tim bulutangkis Indonesia di tengah kerusuhan massal. (Dokumentasi istimewa dari Candra Wijaya)
Saat diarak saya melihat kondisinya masih sangat tegang, sungguh amat memprihatinkan. Itu tampak dari respons masyarakat atau orang-orang di jalan. Mereka masih terlihat panik seperti seolah ada kerusuhan lagi ketika kami lewat karena menggunakan sirene. Ruko-ruko, gedung-gedung di pinggir jalan banyak yang pecah kacanya dan terbakar, taman serta pagar-pagar banyak yang rusak.

Selama karier saya, prestasi yang paling berkesan tentu di Olimpiade, karena itu adalah ajang tertinggi di dunia olahraga sekaligus momennya hanya empat tahun sekali. Lalu Piala Thomas, saya bersyukur bisa turut mempertahankan Piala Thomas sebanyak 3 kali, All England 4 kali masuk ke final namun hanya 2 kali juara tahun 1999 dan 2003, serta Kejuaraan Dunia masuk final 3 kali, namun hanya 1 kali juara tahun 1997.

Bagi saya dalam mengikuti ajang multievent seperti Olimpiade, Piala Thomas, Kejuaraan Dunia itu terasa lebih antusias. Kami memang lebih mendapat tekanan, tapi sekaligus lebih siap dan menantang.

Selain itu terpilihnya kami ke dalam tim merupakan satu kehormatan dan kesempatan dapat mengabdi kepada bangsa serta negara. Lebih terhormat dan bangga, karena dapat turut pula mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Meski dipisahkan dari Sigit Budiarto, Candra Wijaya tetap bisa sukses bersama Tony Gunawan.Meski dipisahkan dari Sigit Budiarto, Candra Wijaya tetap bisa sukses bersama Tony Gunawan. (AFP PHOTO/Robyn BECK)
Proses atau jalan meraih medali emas Olimpiade 2000 itu berawal seminggu setelah saya menjuarai Singapura Terbuka bersama Sigit, November 1998. Namun setelah itu mendadak dan sontak kami semua terkejut karena ada masalah non teknis yang dialami Sigit Budiarto.

Pastinya kami dan khususnya para pelatih berkumpul. Akhirnya Christian Hadinata dan Herry IP memanggil kami, memutuskan memasangkan saya dengan Tony Gunawan yang ketika itu dinilai siap dan cocok untuk mendampingi saya.

Bersama Tony saya berangkat ke Copenhagen Masters, itu akhir tahun 1998 dan kami langsung menjadi juara di sana. Kami sadar bahwa tak lama lagi waktu itu sudah akan masuk perhitungan poin ke Olimpiade, sehingga kami terus bersiap diri.

Juara di Olimpiade jadi salah satu yang paling berkesan bagi Candra.Juara di Olimpiade jadi salah satu yang paling berkesan bagi Candra. (AFP PHOTO/Robyn BECK)
Mungkin karena sifat dan karakter kami tidak jauh beda, sehingga untuk masalah non teknis tidak banyak menemui kendala. Sedangkan mengenai masalah teknis semua bisa didiskusikan dengan baik. Apalagi semenjak masuk Pelatnas kami sudah tinggal sekamar bersama, sehingga hubungan kami sangat baik bahkan sudah seperti saudara sendiri.

Singkat cerita kami berhasil meraih beberapa gelar juara, sampai bertengger kembali di peringkat atas BWF, dan di Olimpiade Sydney 2000 kami menjadi unggulan pertama.

Bukan berarti mudah, pastinya beban dan tekanan cukup besar, apalagi kami sangat diharapkan atau ditargetkan meraih medali emas. Bersyukur dengan niat baik, usaha dan kerja keras, kami diberkahi dan menang, mengalahkan pasangan Korea Selatan di final Lee Dong Soo/Yoo Yong Sung dengan skor 15-10, 9-15, 15-7.

Menjadi juara Olimpiade buat saya merupakan jawaban dan tanda akan penyertaan dan kuasa Allah. Bagi saya Dia benar-benar ajaib dan hidup, karena sebelum berangkat, ada bisikan yang begitu kuat dalam hati bahkan di telinga saya, "Kamu akan melihat Kebesaran dan Kemuliaan-Ku di sana", maksudnya di Sydney. Dan saya memang begitu dikuatkan, seolah juara atau medali emas itu adalah milik saya.

Candra Wijaya: Soeharto, Tragedi Mei 1998 dan Emas Olimpiade
Kasih karunia dan berkat dari Tuhan sungguh luar biasa, jika Ia berkenan sekalipun itu sulit, Ia akan membukakan jalan untuk kita. Ini menjadi kesaksian dalam hidup saya, agar saya terus bersemangat dan bersuka cita. Agar saya berusaha melakukan yang terbaik, sesuai talenta dan kemampuan yang Tuhan berikan pada saya untuk terus berkontribusi positif bagi lingkungan, sesama, bangsa dan negara.

Saya juga hormat dan berterima kasih kepada seluruh pendukung, pecinta bulutangkis, kolega, sponsor, pelatih, pembina, klub saya, PBSI, Menpora atau pemerintah. Khusus kepada orang tua, istri anak, keluarga besar yang begitu mengasih dan mencintai saya hingga saya bisa menjadi seperti sekarang.

Tak lupa my best partner Tony Gunawan dan Sigit Budiarto, mereka berdua adalah inspirasi dan semangat buat saya, pribadi yang unik dan tetap menyenangkan dalam suka dan duka. Mereka memiliki teknik yang lebih luar biasa dibanding saya. Saya adalah orang yang sangat beruntung dapat berjodoh berpasangan dengan mereka.
(sry/jun)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER