Jakarta, CNN Indonesia -- Saya sedang bermain di rumah Bona Septano, di Bekasi, ketika saya mengetahui kabar saya masuk pelatnas
PBSI. Kami tahu dari berita di koran dan kemudian baru ditelepon, lalu resminya setelah menerima surat dari klub.
Kabar itu tentu membuat saya senang, cita-cita seorang pemain bulutangkis awalnya tentu masuk pelatnas dulu karena jenjang kariernya memang begitu. Salah satu cita-cita saya sudah tercapai. Saya sangat senang sekali. Saya ingat langsung melakukan tos dengan Bona ketika itu.
Saya jadi terkenang masa-masa saya mengenal bulutangkis. Saya mulai bermain bulutangkis di usia enam tahun karena bapak juga sempat jadi pemain bulutangkis. Awalnya, saya diajari oleh Bapak kemudian dimasukkan ke klub. Saya ada di Palembang hingga tamat SMP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Palembang, banyak kenangan tentang perjuangan-perjuangan yang saya lakukan, latihan setiap hari hingga pulang malam. Dulu setelah sekolah di pagi hari, saya makan siang dan langsung berangkat latihan naik bus.
Sering naik bus tiap hari. Saya ingat sering ketiduran di bus karena kelelahan, hingga akhirnya kebablasan dari lokasi tempat latihan. Selesai latihan Magrib dan kembali ke rumah. Begitu seterusnya setiap hari.
Meski berusaha keras untuk berlatih bulutangkis, saya sempat merasa bimbang dalam karier bulutangkis. Soalnya klub saya vakum saat umur 13 tahun. Saya sempat berpikir untuk berhenti atau ganti cabang olahraga.
 Mohammad Ahsan meninggalkan Palembang usai SMP. (CNN Indonesia/Putra Permata Tegar Idaman) |
Soalnya saat itu saya sudah latihan sendiri, tidak ada klub yang sudah vakum. Akhirnya saya tertolong ada Popnas, ada pertandingan, ada seleksi untuk masuk SMA Ragunan dan akhirnya lolos.
Di Palembang saya sudah sering juara di nomor tunggal, tetapi begitu lawan pemain asal Pulau Jawa ya memble. Orang daerah bertemu pemain yang berasal dari kiblat bulutangkis kan minder duluan.
Saat di Ragunan, saat saya sparring dengan pemain-pemain asal Jawa dan kemampuannya memang jauh.
Ketika akhirnya masuk Ragunan tahun 2001, saya punya tekad, saya jauh dari orang tua, merantau, saya ingin ada hasil, jadi tidak mau sia-sia. Tetapi itu tidak mudah, hari pertama saya sudah menangis sampai senior saya coba menenangkan saya.
Pada masa itu, saya tidak punya banyak uang. Nunggu uang saku, paling dapat Rp75 ribu sebulan tahun 2001. Jadi kehidupan saya seadanya saja. Kalau tidak punya uang, tidak jajan karena waktu itu makan sudah dapat dari Ragunan.
Bila dipikir saat ini, hal-hal seperti itu bagus untuk pengalaman karena saya jadi tahu soal kerja keras.
Semasa di Ragunan, tiba-tiba ada perubahan program. Untuk bulutangkis, mereka hanya fokus di sektor putri. Siswa yang lain tetap bisa sekolah di sana tetapi hanya sekadar untuk menamatkan sekolah, tidak lagi fokus untuk prestasi bulutangkis.
Menghadapi kondisi itu, saya kembali teringat tekad awal. Saya sudah jauh-jauh merantau, saya ingin jadi sesuatu. Akhirnya saya memilih pindah dari asrama. Saya pindah ke PB Bina Bangsa lalu bergabung dengan PB Djarum beberapa tahun kemudian.
Saat pindah dari Ragunan, saya lapor ke orang tua. Bapak bilang 'Terserah, pokoknya keputusan ada di tangan saya'. Saya berpikir harus pindah, karena percuma merantau kalau hanya menamatkan sekolah biasa.
Bagi saya masa-masa terberat memang ada di Ragunan. Saat itu saya belum jadi apa-apa, belum tahu masa depan bagaimana. Dari segi materi saya juga tak punya pemasukan. Saya rasa rata-rata pemain mengalami hal seperti itu. Kalau mau berubah, harus diubah sendiri dengan prestasi.
Setelah pindah saya dipasangkan dengan Bona Septano yang juga sedang tidak punya pasangan dan akhirnya bisa terpilih masuk pelatnas.
Masa-masa awal di pelatnas Cipayung, saya kadang berpikir apakah saya layak atau tidak berada di sini. Namun di sisi lain hal tersebut juga memacu motivasi. Saya tak mau ada di pelatnas tetapi tidak bisa apa-apa, hanya asal masuk. Saya ingin buktikan bahwa saya layak masuk pelatnas.
 Ahsan/Hendra merebut gelar juara dunia ketiga pada 2019. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak) |
Bisa berlatih bersama senior-senior, itu merupakan sebuah kebanggaan. Biasanya saya hanya bisa melihat di TV, sekarang bisa latihan bersama-sama.
Namun di sisi lain, tentu ada rasa sungkan berada di tempat yang sama. Ada Koh Chandra [Wijaya], Mas Sigit [Budiarto], Taufik Hidayat, banyaklah senior-senior di sini. Kalau saya melihat mereka, mau makan saja jadi sungkan. Kalau mau makan di ruang makan, tunggu kosong dulu.
Sebagai pasangan muda dan tengah mengejar prestasi, kami sadar kami belum bisa mengejar dengan cepat dan tampil konsisten. Di saat seperti itu, senior-senior justru keluar dari pelatnas.
Kondisi latihan ganda putra di pelatnas sempat tidak nyaman karena seolah nomor ganda putra terbagi dua, satu di tangan Koh Herry, satu lagi di tangan Mas Sigit. Mungkin untuk pemain senior tidak terlalu terasa, tetapi bagi pemain muda itu terasa.
Dengan kondisi itu, kami jadi seperti tidak ada yang bisa 'menarik'. Bagi saya, peran senior penting. Kalau sering sparring lawan Kido/Hendra, pasti bisa ikut keluar kemampuannya.
[Gambas:Video CNN]Padahal pada tahun 2008 kami sudah mulai punya keyakinan bisa bersaing di level atas setelah tembus ke babak final Japan Super Series.
Saya dan Bona jadi ganda putra nomor satu pelatnas setelah Kido/Hendra keluar. Secara mental, kami belum terlalu siap karena kami belum matang, masih butuh waktu, butuh jam terbang.
Di tahun 2011, kami bisa juara SEA Games dan meraih medali perunggu di Kejuaraan Dunia. Menghadapi Olimpiade kami sudah tidak lagi berpikir kami masih ragu-ragu atau tidak. Kami sudah harus bisa bersaing dan menerima tanggung jawab meski kadang masih naik-turun.
Kami pergi ke Olimpiade dengan tekad harus yakin, kami berpikir di Olimpiade apapun bisa terjadi. Kami berusaha keras dari latihan, kami berdua juga sudah digeber habis-habisan, tetapi ya begitu hasilnya, sampai di delapan besar.
Akhirnya setelah Olimpiade, saya dan Bona berpisah. Saya bilang ke Bona mohon maaf bila ada kesalahan atau hal-hal lain selama berpasangan dan dia menerima.
Koh Herry akhirnya memasangkan saya dengan Koh Hendra. Dalam pandangan saya, tentu Koh Hendra adalah sosok berpengalaman dan punya tekad untuk kembali ke level elite. Saya butuh pengalaman, butuh ada yang membimbing, Koh Hendra kan sudah memiliki semuanya. Saya yakin dia pasti bakal kembali tampil bagus.
Setahun berpasangan, kami bisa jadi juara dunia. Sebelum juara dunia, kami bisa juara Indonesia Open, terus Singapura Open. Kami mendapat kepercayaan diri dari sana dan terus berusaha.
Malam sebelum final, saya lebih banyak berdoa. Tidak banyak yang diobrolkan dengan Koh Hendra karena dia juga pasti coba fokus juga. Saya coba untuk tidur, tegang, jadi tidur tidak nyenyak.
Bisa jadi juara dunia, tentu saya puas sekali, salah satu cita-cita dari kecil tercapai. Pasti saat masih anak-anak, ketika main bulutangkis tentu saat ditanya cita-citanya pasti mau jadi juara dunia.
Saya seperti berada di mimpi, tidak menyangka. Saya puas karena salah satu keinginan sudah tercapai. Meski masih banyak kejuaraan penting lain, dari situ sepertinya sudah terlepas satu keinginan.
Di 2014, kami berhasil jadi juara
All England. Satu lagi target saya tercapai, lega.
Di final melawan Hiroyuki Endo/Kenichi Hayakawa. Ada keinginan besar, namun kami harus bisa meredam. Dalam momen ini, untung ada Koh Hendra yang punya pengalaman. Ketika saya main menggebu-gebu, dia bisa mengontrol.
Pada tahun 2014, kami tidak bisa mempertahankan gelar di Kejuaraan Dunia. Cedera pinggang saya kambuh. Cedera ini terasa parah pertama kalinya pada 2013, meski saat junior kadang-kadang sudah terasa.
 Ahsan/Hendra gagal merebut medali di Olimpiade 2016. (REUTERS/Marcelo del Pozo) |
Saat itu saya sempat absen dari Piala Sudirman. Cedera ini memang tidak bisa sembuh total.
Menghadapi cedera itu, dokter bilang harus memilih salah satu turnamen, Kejuaraan Dunia atau Asian Games karena jaraknya berdekatan. Jika main di dua turnamen itu, saya tidak akan bisa maksimal.
Dokter dan tim pelatih berdiskusi dan akhirnya diputuskan kami tidak ikut Kejuaraan Dunia. Tentu sedih, tetapi mau bagaimana lagi. Kejuaraan Dunia ini penting tetapi memang harus salah satu yang dipilih.
Tidak tampil di Kejuaraan Dunia bukan berarti persiapan di Asian Games bisa berjalan bagus. Persiapan terganggu karena saya belum pulih. Persiapan kami juga mepet, hanya beberapa minggu karena fokus utama menyembuhkan cedera dulu.
Saat akhirnya berangkat ke Korea, kondisi saya belum 100 persen meskipun sudah mulai membaik. Saya akhirnya menilai memang standar kondisi pinggang saya seperti ini, saya hanya berharap rasa sakit tidak terlalu parah. Karena kalau dalam kondisi parah, berdiri susah dan pakai celana saja susah.
Sepanjang Asian Games sakit di pinggang itu terus terasa dan bisa saya tahan, termasuk ketika main di babak final lawan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong.
Menghadapi ganda Korea Selatan, saya hanya berpikir untuk 'fight'. Pikiran saya hanya berusaha semaksimal agar seluruh pola permainan saya keluar. Begitu melihat kesempatan, kami maksimalkan untuk menang.
Berhasil jadi juara Asian Games berarti satu mimpi dan target kembali diselesaikan. Alhamdulillah.
Masuk ke 2015, saya tak menyangka bisa kembali jadi juara dunia. Karena kami sering kalah lawan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong. Di awal Kejuaraan Dunia pun kami kewalahan sebelum akhirnya mulai bisa menemukan ritme sejak perempat final. Dari babak itu, permainan kami mulai membaik hingga akhirnya juara.
Pada 2015, penampilan kami sebenarnya belum terlalu menurun karena kami juga masih bisa menjadi juara di Masters Final.
Namun saya merasa bahwa penampilan kami mulai menurun sejak 2016 dimulai. Kami merasa semuanya berjalan normal tetapi musuh lebih sulit dikalahkan. Saya yakin permainan kami pasti dipelajari, mungkin juga lawan sudah hafal permainan kita.
Setelah juara di Thailand, kami keteteran di turnamen selanjutnya. Kalah di babak kedua, babak perempat final. Setelah itu kami sempat tampil bagus di Thomas Cup dan kembali punya kepercayaan diri.
Berangkat ke Olimpiade, sejujurnya saya tidak merasa ada tekanan berlebihan sama sekali. Saat itu pola pikir kami sama seperti di turnamen besar sebelum-sebelumnya. Meski ingin mendapat prestasi setinggi-tingginya, kami fokus pada tiap pertandingan yang ada di depan mata.
Tetapi saat kami menghadapi Endo/Hayakawa, kami tidak bisa bermain lepas. Setelah itu kami coba lagi di partai terakhir melawan Chao Biao/Hong Wei, dan kembali tidak bisa bermain lepas.
Kalah di Olimpiade tentu kecewa karena cita-cita semua pebulutangkis tentu ingin menang di Olimpiade.
Setelah kalah di Olimpiade, saya berkomunikasi untuk bahas kelanjutan pasangan. Koh Hendra masih bimbang karena waktu itu ada yang mengajak main di luar.
 Ahsan/Hendra masih berambisi merebut medali emas Olimpiade 2020. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sebelum pisah itu pun kami beberapa kali sudah dipecah. Kami main dengan pasangan berbeda di beberapa turnamen.
Koh Hendra akhirnya bilang mau keluar pelatnas ke saya di sini, di pelatnas Cipayung. Saat pisah, tentu ada perasaan sedih karena kami sudah lama berpasangan. Namun saya berpikir itulah yang harus dijalani karena cepat atau lambat pasti bakal pisah.
Usai berpisah dengan Koh Hendra, saya ingin mencoba bangkit lagi, tetapi tidak gampang karena saya harus mulai dari nol lagi. Dari segi permainan, saya juga melihat permainan saya menurun.
Saya merasa drop banget. Saya lihat dari pola permainan, tidak seperti dulu. Saya merasa seperti sudah kesulitan mengimbangi ganda-ganda top.
Namun bersama Rian Agung, saya berusaha untuk bersama-sama saing bantu. Pokoknya saya bilang, saya harus kerja keras lagi. Mungkin bila hasilnya tidak terlihat tahun ini, mungkin ada di tahun berikutnya. Itu yang saya yakini.
Berangkat ke Kejuaraan Dunia 2017, kami datang ke sana dengan status underdog. Kami tak berpikir apapun dan hanya coba tampil maksimal. Setelah lewat babak pertama, kami mulai punya keyakinan untuk bisa terus melaju ke babak berikutnya.
Setelah bisa lolos ke babak final, kami merasa tenaga kami sudah habis. Karena di turnamen biasa, main lima kali sudah juara, sedangkan ini masih ada satu partai lagi. Sangat disayangkan sebenarnya gagal juara, tetapi mau bagaimana lagi.
Pada 2018, Koh Hendra kembali masuk pelatnas. Lalu ada diskusi kembali, apakah mau berpasangan lagi. Koh Hendra juga masih mau berjuang, jadi tidak ada salahnya untuk mencoba lagi.
Saya senang bisa berpasangan lagi karena walaupun sudah lama, kami masih punya keyakinan yang kuat. Harapan juga kami susun agar tidak terlalu berlebihan . Setelah terus berusaha dan latihan, kami bisa juara di Singapore Open.
Di akhir 2018, kami memutuskan untuk keluar pelatnas. Kami berpikir suatu saat, cepat atau lambat, kami juga pasti akan keluar dari sini. Dengan kami keluar dari pelatnas, juga bakal ada kesempatan untuk yang muda.
[Gambas:Video CNN]Koh Herry masih meminta kami untuk setahun lagi di pelatnas, tetapi kami berpikir sudah waktunya. Untuk mengambil keputusan itu tidak mudah, saya bimbang, keluar atau tidak, keluar atau tidak. Akhirnya saya yakin untuk keluar dan menerima apapun yang terjadi nanti, meskipun itu tidak sesuai dengan ekspektasi. Karena jalan ini sudah jadi jalan yang kami pilih.
Kami sudah berpikir untuk mengatur tempat latihan, mungkin di PB Jaya Raya atau di PB Djarum. Tetapi untungnya PBSI masih mengizinkan latihan di Cipayung. Saya bersyukur dengan hal itu karena tanpa latihan di sini, belum tentu bisa tampil kompetitif seperti saat ini.
Untuk pengaturan keberangkatan ke turnamen, Koh Hendra yang lebih banyak ambil alih baik soal pendaftaran, urus visa, dan lain-lain dia yang lebih aktif.
Saya sudah membayangkan keluar pelatnas pasti akan butuh biaya yang tidak sedikit, terlebih bila turnamen yang jauh seperti turnamen di Eropa. Namun saya sudah siap, siap biaya dan siap mental.
Main dengan biaya pribadi, tentu jadi motivasi tersendiri. Namun kami tidak sampai menghitung detail untung-rugi. Misal kami harus babak apa agar tak rugi, tidak seperti itu.
Dari segi latihan, tidak terlalu banyak yang beda. Namun Koh Herry memang menekankan penempatan bola agar kami tidak kehabisan tenaga. Tetapi tentunya kami juga harus punya tenaga yang cukup untuk bisa menjalankan strategi penempatan bola dengan baik.
Sejujurnya, saya tidak menyangka bisa jadi juara All England. Kami juga tak menyangka bisa masuk final di tujuh turnamen di tahun ini.
 Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan memutuskan keluar dari Pelatnas pada 2018. ( CNN Indonesia/Putra Permata Tegar) |
Saat berangkat menuju Kejuaraan Dunia, kami hanya pasang target medali. Kami juga tak mau berpikir macam-macam. Kami hanya fokus pada lawang yang ada di depan mata.
Dalam perjalanan di Kejuaraan Dunia, lawan paling berat di semifinal, yaitu Fajar/Rian. Kami sudah latihan bersama dan terakhir kami kalah.
Laga final juga tak kalah berat. Setelah menang di gim pertama, kami lebih sering tertekan. Mereka sukses karena lebih sering menekan.
Kami kemudian bisa tampil lebih baik di gim ketiga. Pada saat permainan terakhir, pukulan pengembalian lawan keluar. Tetapi saya ragu, karena itu tipis sekali, bisa masuk atau keluar bila dilihat dari challenge.
Pada akhirnya yang penting
shuttlecock itu out. Saya tidak berpikir akhir pertandingan harus dengan perayaan menang yang bagus atau tidak karena laga sempat terhenti karena challenge. Karena bila itu belum selesai, apapun masih bisa terjadi, bisa saja mereka menyusul.
Setelah jadi juara dunia, fokus kami adalah berusaha menikmati pertandingan agar bisa tampil maksimal. Kami tentu mau tampil di Olimpiade namun perjalanan masih jauh. Masih banyak turnamen sampai tahun depan, jadi saya cukup menjalani saja.