TESTIMONI

Mohammad Ahsan: Tertidur di Bus dan Mimpi Juara Dunia

Mohammad Ahsan | CNN Indonesia
Senin, 16 Sep 2019 19:25 WIB
Melalui Testimoni CNNIndonesia.com, Mohammad Ahsan menceritakan perjuangan meninggalkan Palembang hingga menjadi salah satu atlet badminton terbaik Indoneisa.
Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan ingin menikmati setiap pertandingan agar maksimal. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak)
Bisa jadi juara dunia, tentu saya puas sekali, salah satu cita-cita dari kecil tercapai. Pasti saat masih anak-anak, ketika main bulutangkis tentu saat ditanya cita-citanya pasti mau jadi juara dunia.

Saya seperti berada di mimpi, tidak menyangka. Saya puas karena salah satu keinginan sudah tercapai. Meski masih banyak kejuaraan penting lain, dari situ sepertinya sudah terlepas satu keinginan.

Di 2014, kami berhasil jadi juara All England. Satu lagi target saya tercapai, lega.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di final melawan Hiroyuki Endo/Kenichi Hayakawa. Ada keinginan besar, namun kami harus bisa meredam. Dalam momen ini, untung ada Koh Hendra yang punya pengalaman. Ketika saya main menggebu-gebu, dia bisa mengontrol.

Pada tahun 2014, kami tidak bisa mempertahankan gelar di Kejuaraan Dunia. Cedera pinggang saya kambuh. Cedera ini terasa parah pertama kalinya pada 2013, meski saat junior kadang-kadang sudah terasa.

Ahsan/Hendra gagal merebut medali di Olimpiade 2016.Ahsan/Hendra gagal merebut medali di Olimpiade 2016. (REUTERS/Marcelo del Pozo)
Saat itu saya sempat absen dari Piala Sudirman. Cedera ini memang tidak bisa sembuh total.

Menghadapi cedera itu, dokter bilang harus memilih salah satu turnamen, Kejuaraan Dunia atau Asian Games karena jaraknya berdekatan. Jika main di dua turnamen itu, saya tidak akan bisa maksimal.

Dokter dan tim pelatih berdiskusi dan akhirnya diputuskan kami tidak ikut Kejuaraan Dunia. Tentu sedih, tetapi mau bagaimana lagi. Kejuaraan Dunia ini penting tetapi memang harus salah satu yang dipilih.

Tidak tampil di Kejuaraan Dunia bukan berarti persiapan di Asian Games bisa berjalan bagus. Persiapan terganggu karena saya belum pulih. Persiapan kami juga mepet, hanya beberapa minggu karena fokus utama menyembuhkan cedera dulu.

Saat akhirnya berangkat ke Korea, kondisi saya belum 100 persen meskipun sudah mulai membaik. Saya akhirnya menilai memang standar kondisi pinggang saya seperti ini, saya hanya berharap rasa sakit tidak terlalu parah. Karena kalau dalam kondisi parah, berdiri susah dan pakai celana saja susah.

Sepanjang Asian Games sakit di pinggang itu terus terasa dan bisa saya tahan, termasuk ketika main di babak final lawan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong.

Menghadapi ganda Korea Selatan, saya hanya berpikir untuk 'fight'. Pikiran saya hanya berusaha semaksimal agar seluruh pola permainan saya keluar. Begitu melihat kesempatan, kami maksimalkan untuk menang.

Mohammad Ahsan: Tertidur di Bus dan Mimpi Juara Dunia
Berhasil jadi juara Asian Games berarti satu mimpi dan target kembali diselesaikan. Alhamdulillah.

Masuk ke 2015, saya tak menyangka bisa kembali jadi juara dunia. Karena kami sering kalah lawan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong. Di awal Kejuaraan Dunia pun kami kewalahan sebelum akhirnya mulai bisa menemukan ritme sejak perempat final. Dari babak itu, permainan kami mulai membaik hingga akhirnya juara.

Pada 2015, penampilan kami sebenarnya belum terlalu menurun karena kami juga masih bisa menjadi juara di Masters Final.

Namun saya merasa bahwa penampilan kami mulai menurun sejak 2016 dimulai. Kami merasa semuanya berjalan normal tetapi musuh lebih sulit dikalahkan. Saya yakin permainan kami pasti dipelajari, mungkin juga lawan sudah hafal permainan kita.

Setelah juara di Thailand, kami keteteran di turnamen selanjutnya. Kalah di babak kedua, babak perempat final. Setelah itu kami sempat tampil bagus di Thomas Cup dan kembali punya kepercayaan diri.

Berangkat ke Olimpiade, sejujurnya saya tidak merasa ada tekanan berlebihan sama sekali. Saat itu pola pikir kami sama seperti di turnamen besar sebelum-sebelumnya. Meski ingin mendapat prestasi setinggi-tingginya, kami fokus pada tiap pertandingan yang ada di depan mata.

Tetapi saat kami menghadapi Endo/Hayakawa, kami tidak bisa bermain lepas. Setelah itu kami coba lagi di partai terakhir melawan Chao Biao/Hong Wei, dan kembali tidak bisa bermain lepas.

Kalah di Olimpiade tentu kecewa karena cita-cita semua pebulutangkis tentu ingin menang di Olimpiade.

Setelah kalah di Olimpiade, saya berkomunikasi untuk bahas kelanjutan pasangan. Koh Hendra masih bimbang karena waktu itu ada yang mengajak main di luar.

Ahsan/Hendra masih berambisi merebut medali emas Olimpiade 2020.Ahsan/Hendra masih berambisi merebut medali emas Olimpiade 2020. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Sebelum pisah itu pun kami beberapa kali sudah dipecah. Kami main dengan pasangan berbeda di beberapa turnamen.

Koh Hendra akhirnya bilang mau keluar pelatnas ke saya di sini, di pelatnas Cipayung. Saat pisah, tentu ada perasaan sedih karena kami sudah lama berpasangan. Namun saya berpikir itulah yang harus dijalani karena cepat atau lambat pasti bakal pisah.

Usai berpisah dengan Koh Hendra, saya ingin mencoba bangkit lagi, tetapi tidak gampang karena saya harus mulai dari nol lagi. Dari segi permainan, saya juga melihat permainan saya menurun.

Saya merasa drop banget. Saya lihat dari pola permainan, tidak seperti dulu. Saya merasa seperti sudah kesulitan mengimbangi ganda-ganda top.

Namun bersama Rian Agung, saya berusaha untuk bersama-sama saing bantu. Pokoknya saya bilang, saya harus kerja keras lagi. Mungkin bila hasilnya tidak terlihat tahun ini, mungkin ada di tahun berikutnya. Itu yang saya yakini.

Berangkat ke Kejuaraan Dunia 2017, kami datang ke sana dengan status underdog. Kami tak berpikir apapun dan hanya coba tampil maksimal. Setelah lewat babak pertama, kami mulai punya keyakinan untuk bisa terus melaju ke babak berikutnya.

Setelah bisa lolos ke babak final, kami merasa tenaga kami sudah habis. Karena di turnamen biasa, main lima kali sudah juara, sedangkan ini masih ada satu partai lagi. Sangat disayangkan sebenarnya gagal juara, tetapi mau bagaimana lagi.

Pada 2018, Koh Hendra kembali masuk pelatnas. Lalu ada diskusi kembali, apakah mau berpasangan lagi. Koh Hendra juga masih mau berjuang, jadi tidak ada salahnya untuk mencoba lagi.

Saya senang bisa berpasangan lagi karena walaupun sudah lama, kami masih punya keyakinan yang kuat. Harapan juga kami susun agar tidak terlalu berlebihan . Setelah terus berusaha dan latihan, kami bisa juara di Singapore Open.

Di akhir 2018, kami memutuskan untuk keluar pelatnas. Kami berpikir suatu saat, cepat atau lambat, kami juga pasti akan keluar dari sini. Dengan kami keluar dari pelatnas, juga bakal ada kesempatan untuk yang muda.


Koh Herry masih meminta kami untuk setahun lagi di pelatnas, tetapi kami berpikir sudah waktunya. Untuk mengambil keputusan itu tidak mudah, saya bimbang, keluar atau tidak, keluar atau tidak. Akhirnya saya yakin untuk keluar dan menerima apapun yang terjadi nanti, meskipun itu tidak sesuai dengan ekspektasi. Karena jalan ini sudah jadi jalan yang kami pilih.

Kami sudah berpikir untuk mengatur tempat latihan, mungkin di PB Jaya Raya atau di PB Djarum. Tetapi untungnya PBSI masih mengizinkan latihan di Cipayung. Saya bersyukur dengan hal itu karena tanpa latihan di sini, belum tentu bisa tampil kompetitif seperti saat ini.

Untuk pengaturan keberangkatan ke turnamen, Koh Hendra yang lebih banyak ambil alih baik soal pendaftaran, urus visa, dan lain-lain dia yang lebih aktif.

Saya sudah membayangkan keluar pelatnas pasti akan butuh biaya yang tidak sedikit, terlebih bila turnamen yang jauh seperti turnamen di Eropa. Namun saya sudah siap, siap biaya dan siap mental.

Main dengan biaya pribadi, tentu jadi motivasi tersendiri. Namun kami tidak sampai menghitung detail untung-rugi. Misal kami harus babak apa agar tak rugi, tidak seperti itu.

Dari segi latihan, tidak terlalu banyak yang beda. Namun Koh Herry memang menekankan penempatan bola agar kami tidak kehabisan tenaga. Tetapi tentunya kami juga harus punya tenaga yang cukup untuk bisa menjalankan strategi penempatan bola dengan baik.

Sejujurnya, saya tidak menyangka bisa jadi juara All England. Kami juga tak menyangka bisa masuk final di tujuh turnamen di tahun ini.

Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan memutuskan keluar dari Pelatnas pada 2018.Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan memutuskan keluar dari Pelatnas pada 2018. ( CNN Indonesia/Putra Permata Tegar)
Saat berangkat menuju Kejuaraan Dunia, kami hanya pasang target medali. Kami juga tak mau berpikir macam-macam. Kami hanya fokus pada lawang yang ada di depan mata.

Dalam perjalanan di Kejuaraan Dunia, lawan paling berat di semifinal, yaitu Fajar/Rian. Kami sudah latihan bersama dan terakhir kami kalah.

Laga final juga tak kalah berat. Setelah menang di gim pertama, kami lebih sering tertekan. Mereka sukses karena lebih sering menekan.

Kami kemudian bisa tampil lebih baik di gim ketiga. Pada saat permainan terakhir, pukulan pengembalian lawan keluar. Tetapi saya ragu, karena itu tipis sekali, bisa masuk atau keluar bila dilihat dari challenge.

Pada akhirnya yang penting shuttlecock itu out. Saya tidak berpikir akhir pertandingan harus dengan perayaan menang yang bagus atau tidak karena laga sempat terhenti karena challenge. Karena bila itu belum selesai, apapun masih bisa terjadi, bisa saja mereka menyusul.

Setelah jadi juara dunia, fokus kami adalah berusaha menikmati pertandingan agar bisa tampil maksimal. Kami tentu mau tampil di Olimpiade namun perjalanan masih jauh. Masih banyak turnamen sampai tahun depan, jadi saya cukup menjalani saja. (ptr)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER