Jakarta, CNN Indonesia --
Saya kenal dengan
atletik sejak usia 10. Saya orang yang kurang suka berlari. Saat ke Stadion Ngurah Rai di Bali, saya melihat orang melompat. Saya melihat I Ketut Pageh yang jadi pelatih saya saat ini melatih anak asuhnya.
Karena sering bertemu, I Ketut Pageh membujuk saya menekuni dunia atletik. Awalnya saya tidak begitu tertarik, tapi I Ketut Pageh tidak menyerah dan terus merayu sampai akhirnya saya luluh.
Saya sering dipaksa pelatih untuk jadi pelari, tapi tidak mau. Bahkan untuk menghindari paksaan pelatih, saya suka mengajak pelatih berlari, biar dia tahu kalau lari itu melelahkan. Saya lebih suka tidur dibanding disuruh lari.
Setelah itu saya masuk Pusat Pelatihan Pelajar (PPLP) dan menjadi atlet di Bali. Sudah mulai ikut kejuaraan juga. Waktu latihan di Bali masih lapangan tanah yang ada kerikilnya. Belum ada lapangan sintetis. Lapangan standar nasional seperti sintetis baru dibuat pada 2016 lewat bantuan pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu motivasi terbesar saya di lompat jauh adalah karena senior saya di Bali dapat perunggu di PON. Saya berpikir kakak itu saja bisa jadi juara di lompat jauh, masa saya tidak bisa.
 Maria Londa sudah menjadi penghuni pelatnas atletik sejak 2005. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Karier saya berlanjut ke Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) saat 13 tahun, dapat peringkat empat. Berlanjut ke kejuaraan ASEAN School Games lalu masuk pelatnas pada 2005 hingga sekarang. Setelah masuk pelatnas, saya sudah mulai rajin naik podium.
Medali emas baru saya dapat di SEA Games 2013 di Myanmar. Saat itu saya sudah yakin. Sejak berangkat ke Myanmar yakin mendapat emas. Puji Tuhan, akhirnya benar-benar dapat emas di dua nomor, lompat jauh dan triple jump. Di SEA Games 2015 Singapura juga dapat dua emas di nomor yang sama.
Untuk pencapaian terbesar dalam karier saya tentu saja medali emas Asian Games 2014 di Incheon. Karena saat itu saya memang tidak masuk proyeksi peraih medali.
Emas di Incheon itu sangat mengesankan. Bukan saja karena level turnamennya, tetapi juga karena prosesnya. Sebelum meraih emas di Asian Games 2014 itu saya beberapa kali didiskualifikasi. Baru pada lompatan terakhir saya bisa melompat sejauh 6,55 meter dan menjadi rekor di Indonesia. Itu juga jadi catatan terbaik dalam karier saya.
 Maria Londa tampil di ajang Asian Games 2018. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Tapi sayangnya, setelah SEA Games 2015 saya harus berjuang dengan cedera. Dalam kualifikasi Olimpiade di Singapura saya cedera saat mengikuti lompat jangkit, padahal sebelumnya di lompat jauh saya berhasil lolos ke Olimpiade 2016 setelah mencapai limit.
Saat itu saya paksa ikut di triple jump. Padahal untuk waktu pemulihan dari dokter tidak masuk akal. Di lompat jauh saya sudah dapat emas. Dokter bilang saya tidak usah turun karena waktu pemulihannya terlalu pendek untuk ikut lompat jangkit, tapi saya memaksa. Di 2015 saya cedera ligamen lutut kanan dan kiri. Meski akhirnya saya tetap bisa tampil di Olimpiade 2016.
Di Olimpiade 2016 masih di masalah yang sama, di ligamen. Itu Olimpiade pertama saya. Tapi itu bukan keterpaksaan. Tampil di Olimpiade itu mimpi semua atlet, apalagi dengan saya lolos kualifikasi murni.
Saya benar-benar tidak mau menyerah dengan kondisi saya saat itu. Apapun yang terjadi saat saya perang, saya akan lakukan yang terbaik. Tapi hasilnya jauh dari yang diprediksi. Punya pengalaman bertarung dengan orang-orang yang juara dunia itu membuat saya bersyukur.
Di SEA Games 2017 saya gagal dapat emas, hanya dapat perak di dua nomor. Kegagalan di 2017 itu karena cedera yang saya dapat pada 2015.
Begitu juga dengan di Asian Games 2018. Sebenarnya, orang-orang terdekat tahu saya memaksakan diri. Seperti kemarin Asian Games 2018, sudah tidak dikasih turun cuma saya paksakan. Saya cuma ingin menyelesaikan apa yang saya mulai.
 Cedera menjadi salah satu problem dalam karier Maria Londa. (CNNIndonesia.com/M Arby Rahmat Putratama H) |
Mungkin juga waktu di SEA Games 2017 dan di Asian Games 2018 saya tidak dapat hasil terbaik karena lawan-lawan saya berlatih lebih keras lagi, jadi itu yang saya jadikan motivasi. Agar saya bisa melewati mereka, maka saya harus berlatih lebih keras dari mereka.
Kehilangan emas di 2017 jadi cambuk untuk saya ingin balik di 2019 ingin mengulang masa-masa terbaik saya. Itu yang jadi motivasi lebih sebenarnya.
Saya baru merasa latihan tanpa rasa sakit itu pada 2019. Di SEA Games 2019 sebenarnya karena diyakinkan orang-orang terdekat.
Pengalaman paling menarik dalam karier saya ya di Incheon 2014 dan kemarin emas SEA Games 2019. Itu karena dengan proses panjang dari cedera sampai saya bisa lompat saya bisa mengembalikan percaya diri lagi dan membuahkan hasil terbaik benar-benar terbayarkan semuanya.
Harus saya akui saat awal-awal karier saya di atletik itu memang melelahkan. Merasa lelah, karena saya dari keluarga yang jauh di bawah rata-rata juga.
Ibu saya PNS di Bali. Bapak saya waktu itu punya usaha interior. Cuma bisa membuat bangga keluarga dengan olahraga menjadi atlet. Jadi itu desakan orang tua yang saya terima.
Desakan itu berbuah manis, karena dari keterpaksaan lalu senang dan jadi benar-benar kecanduan di atletik. Karena kalau dengan materi saja, saya rasa orang tua saya berpikir tidak akan bisa mengangkat nama keluarga. Tapi dengan berprestasi bisa mengangkat nama keluarga.
Bapak adalah orang yang paling berperan besar dalam karier saya di atletik. Beliau yang memberikan dukungan paling besar kepada saya. Karena bapak saya hobi ke lapangan, hobi olahraga.
Jadi saat meraih emas itu dia seperti bilang, “Wah anak saya benar-benar jadi atlet”. Jadi yang dukung penuh yang besar secara asupan makanan itu bapak saya, dia yang mengantar saya, waktu ke kejuaraan di usia dini di Ragunan juga diantar bapak.
Karena itu ketika bapak meninggal pada 2011 dua bulan sebelum SEA Games di Indonesia, kepergian bapak jadi kehilangan terbesar saya.
Itu momen terberat. Karena dia satu-satunya orang yang buat saya ada di atletik, yang benar-benar tahu kondisi saya yang menjaga saya dari segi makan, istirahat, latihan itu dia. Sudah seperti satpam pribadi saya saja.
Setelah bapak meninggal, saya menggantikan peran beliau menjadi tulang punggung, membesarkan kedua adik saya. Sebelum dan setelah perlombaan saya pasti ke rumah bapak, ke makam bapak untuk minta restu. Sudah rutin itu.
Selain kepergian bapak, cedera di 2015 itu juga jadi momen yang tidak mengenakkan. Sejak 2015 saya selalu berjuang dengan rasa sakit. Saya juga bertanding dengan kepercayaan diri yang tidak sepenuhnya, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2019 sebelum SEA Games saya masih terapi. Tanpa terapi rasa percaya diri saya tidak penuh. Karena memang di lutut itu benar-benar jadi senjata saya.
Kalau dalam beberapa bulan latihan saya merasa tidak enak di lutut, saya akan kembali fisioterapi, mengecek segala macam kondisi kaki saya. Biar lebih meyakinkan diri saja sebenarnya.
Selama saya berlatih saya akan tetap melakukan cek kondisi. Untuk aktivitas sehari-hari tetap butuh fisioterapi. Karena setiap melakukan latihan suka ada hal-hal kecil yang membuat kaki mengalami perubahan seperti di pergelangan kaki, tumit dan segala macam. Jadi perlu medical check-up untuk kaki.
Karena cedera itu sampai sekarang pun untuk insole di sepatu mesti custom, itu mesti sepasang. Ada usaha lain dari cedera ini. Custom insole itu saran dari dokter. Karena panjang telapak kaki saya di kanan dan kiri berbeda. Setelah itu faktor cedera di lutut juga mempengaruhi. Jadi ya sudah kami custom dan masih bertahan sampai saat ini.
Dulu belum cedera lutut, saya sering cedera pergelangan kaki, setelah itu baru ke lutut ke pinggang, saya sudah merasakan semua cedera. Cuma rambut saja yang belum cedera.
Saya jenuh itu pasti. Jenuh saya lebih ke bosan dengan sakit, melihat yang lain latihan tapi saya enggak bisa latihan. Lihat orang kok mereka dikasih sehat malah malas latihan. Saya yang ingin latihan dikasih sakit. Itu yang bikin saya sakit hati.
Tapi saking cintanya dengan atletik itu semua dilupakan. Saya berusaha terapi berusaha buat badan saya sehat dan meyakinkan diri untuk berlatih lagi.
Setelah SEA Games 2019 saya masih menimbang-nimbang soal rencana pensiun. Ada rencana ingin pensiun, melihat usia yang segini tapi regenerasi juga masih jauh. Saya hanya bisa bersyukur kemarin dikasih rezeki sama Tuhan dapat medali.
Mau bilang pensiun tapi ragu, karena jarak yang jauh dan masih belum banyak regenerasi di nomor lompat. Jadi paling aktivitas saya ditambah dengan mendampingi adik-adik junior berlatih biar setidaknya mendekati prestasi saya, tidak langsung putus.
Selain itu, saya juga sedang dalam program hamil. Jadi lebih mengutamakan program anak lebih dahulu.