Sejarah Panjang Suara Lantang Atlet di Luar Lapangan

CNN Indonesia
Selasa, 02 Jun 2020 20:15 WIB
US boxer Muhammad Ali, born Cassius Marcellus Clay Jr. on January 17, 1942, three-time World Heavyweight Champion and winner of an Olympic Light-heavyweight gold medal, shouts at a Japanese wrester during an exhibition fight in Tokyo, 01 July 1976. AFP PHOTO (Photo by AFP)
Muhammad Ali dengan tegas menolak keikutsertaan dalam Perang Vietnam. (AFP PHOTO)
Jakarta, CNN Indonesia -- Atlet bukan hanya bintang di lapangan dan arena pertandingan. Sejarah panjang telah membuktikan bahwa atlet punya peran besar dalam menentukan pandangan banyak orang terhadap suatu masalah atau peristiwa yang terjadi.

Muhammad Ali, Diego Maradona, George Weah, Didier Drogba, hingga Enes Kanter adalah sosok yang tak hanya lantang berbicara tentang kemampuan mereka di lapangan hijau.


Muhammad Ali punya segalanya di dunia tinju di tahun 1967. Ia juara dunia dan jadi sosok yang terkenal. Namun ia menolak panggilan untuk Perang Vietnam. Bagi Muhammad Ali, kepercayaan sebagai muslim membuat dirinya menentang Perang Vietnam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Muhammad Ali akhirnya diasingkan, gelarnya dicabut dan lisensi bertinjunya dibekukan. Namun ia dikenal sebagai sosok yang punya ketegasan mengambil sikap dalam urusan politik. Muhammad Ali rela menerima risiko berat namun akhirnya ia dikenal sebagai sosok yang tegas dan punya pendirian kuat sebagai manusia, bukan hanya sekadar petinju yang memuja kekayaan dan popularitas.

Penolakan Muhammad Ali terhadap Perang Vietnam, menurut Bleacher Report, merupakan kasus paling terkenal ketika atlet membuat pernyataan tentang hal yang berhubungan dengan politik.

Seiring tahun berjalan, sikap Muhammad Ali akhirnya didukung oleh banyak warga Amerika Serikat yang menganggap Perang Vietnam sebagai sebuah hal yang tak semestinya dilakukan.

Sebagai orang dengan pengaruh besar dan memiliki banyak penggemar, atlet memang jadi salah satu tokoh yang punya kemungkinan mempengaruhi banyak orang dalam cara memandang sebuah masalah.

Sebelum era protes terhadap kematian George Floyd, situasi Amerika Serikat di tahun 60-an juga masih kental dengan perilaku rasial warga kulit hitam.

Hal itu yang mendorong Tommie Smith dan John Carlos melakukan gesture 'Black Power Salute' saat ada di podium lari 200 meter pada Olimpiade 1968 di Mexico City. Smith yang meraih medali emas dan Carlos yang meraih perunggu mengangkat tangan ke atas dengan posisi tergenggam dan menundukkan kepala saat lagu kebangsaan Amerika Serikat diputar.

Argentinian forward Diego Armando Maradona runs past English defenders Terry Butcher (L) and Terry Fenwick (2nd L) on his way to scoring his second goal during the World Cup quarterfinal soccer match between Argentina and England 22 June 1986 in Mexico City.  Argentina advanced to the semifinals with a 2-1 victory.  AFP PHOTO / AFP PHOTO / STAFFDiego Maradona tanpa ragu menyebut gol tangan tuhan sebagai balasan pada Inggris atas Perang Falklands. (AFP PHOTO / STAFF)
Sikap atlet dalam hal politik tidak melulu soal menentang pemerintahan dari negara asalnya sendiri. Ada pula sikap-sikap pemain yang menggambarkan kebanggaan dan nasionalisme yang ada dalam dirinya.

Salah satu contoh kasusnya adalah Diego Maradona yang menyebut gol tangan tuhan miliknya sebagai balasan atas Perang Falklands antara Argentina dan Inggris di tahun 1982.

"Kami sebagai orang Argentina, tidak tahu tentang militer. Mereka mengatakan pada kami bahwa kami memenangkan perang. Namun dalam kenyataannya, Inggris yang menang 20-0. Hal itu sungguh sulit."

"Saya tahu bahwa itu tangan saya [yang mencetak gol]. Itu bukan rencana namun kejadian berlangsung cepat sehingga hakim garis tidak melihat saya meletakkan tangan saya. Wasit melihat saya dan berkata bahwa itu gol. Sungguh sebuah perasaan yang indah memiliki simbol pembalasan menghadapi Inggris," ujar Maradona, dikutip dari Talksport.

Atlet-atlet juga bisa jadi gambaran identitas bangsa. Kroasia yang baru merdeka bisa langsung dikenal dunia berkat kehebatan tim sepak bola mereka yang mampu menembus semifinal Piala Dunia 1998 dan duduk di peringkat ketiga.

"Sebelum Piala Dunia 1998, hanya 3-4 persen dari populasi dunia yang tahu keberadaan Kroasia. Setelah turnamen, 70 persen penduduk dunia tahu negara kami. Tim sepak bola saat itu adalah duta terbaik dari Kroasia."

"Dalam era kami, luka akibat perang masih hidup dan gairah terhadap perjalanan kami menuju semifinal sungguh luar biasa. Emosi terjalin antara kami dengan perjuangan untuk kemerdekaan sungguh luar biasa. Seluruh pemain memiliki motivasi kuat dan punya kebanggaan mempertahankan warna negara kami," tutur Igor Stimac, dikutip dari Telegraph India.
Croatian striker Davor Suker celebrates after scoring his second goal against Denmark in their group D European Nations soccer championship match in Sheffield, 16 June 1996. Croatia defeated the defending champions, 3-0. / AFP PHOTO / VINCENT AMALVYDavor Suker dan kawan-kawan membuat nama Kroasia dikenal luas oleh dunia berkat performa apik di Piala Dunia 1998. (AFP PHOTO / VINCENT AMALVY)

Pesona atlet memang memungkinkan mereka melakukan hal-hal luar biasa, di luar kepiawaian mereka di arena olahraga. Bak cerita fantasi, Didier Drogba dan tim nasional Pantai Gading bisa menghentikan perang sipil yang sudah memakan korban ribuan jiwa.

"Laki-laki dan perempuan Pantai Gading, dari utara, selatan, tengah, dan barat, hari ini kami membuktikan bahwa kami bisa bermain bersama dan mewujudkan tujuan lolos ke Piala Dunia."

"Kami menjanjikan bahwa perayaan ini bakal menyatukan orang-orang. Hari ini, kami mohon pada kalian, tolong, maafkan. Maafkan, maafkan," tutur Drogba usai memastikan Pantai Gading lolos ke Piala Dunia 2006 dikutip dari CNN.

Drogba tak ingin menyaksikan perang sipil yang sudah berlangsung lama terus memakan korban jiwa.

"Satu negara kaya di Afrika seperti ini tidak layak untuk berperang. Mohon, turunkan seluruh senjata. Gelar dan atur pemilu. Semua bakal lebih baik. Kami akan bersenang-senang [di Piala Dunia] jadi hentikan tembakan senjata," ujar Drogba.
Chelsea's Ivorian forward Didier Drogba celebrates after scoring a goal during the UEFA Champions League final football match between FC Bayern Muenchen and Chelsea FC on May 19, 2012 at the Fussball Arena stadium in Munich.   AFP PHOTO / PATRIK STOLLARZ (Photo by PATRIK STOLLARZ / AFP)Didier Drogba dan tim nasional Pantai Gading bisa menghentikan perang sipil. (AFP/PATRIK STOLLARZ)

Perkataan Drogba dan tim nasional Pantai Gading itu akhirnya membuat pihak yang bertikai sepakat berdamai pada 2007, lima tahun setelah perang sipil dimulai.

Daya pikat atlet yang sangat besar juga membuat mereka bisa punya basis massa yang bertahan lama, bahkan ketika mereka sudah meninggalkan lapangan dan  terjun ke dunia lain.

George Weah, pesepakbola paling terkenal atau bahkan orang paling terkenal di Liberia di 90-an kini berhasil jadi Presiden Liberia berkat popularitasnya sejak jadi pemain sepak bola.


Suara vokal dari tokoh-tokoh olahraga bukan hanya melahirkan pergerakan dan kebanggaan, melainkan juga cap pemberontakan.

Hakan Sukur, legenda sepak bola Turki harus hidup dalam pengasingan di Amerika Serikat karena mengkritik Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.

"Tak ada lagi yang tersisa, Erdogan mengambil semuanya: kebebasan saya, kebebasan berekspresi, dan hak untuk bekerja."

"Saya merasa tidak melakukan hal yang melawan hukum. Saya bukan pengkhianat atau teroris. Mungkin saya musuh pemerintah, tapi bukan musuh negara Turki," ujar Hakan Sukur kepada Welt am Sonntag dikutip dari Football Italia.
NEW YORK, NY - DECEMBER 25: Enes Kanter #00 of the New York Knicks celebrates after hitting a three-point basket against the Milwaukee Bucks at Madison Square Garden on December 25, 2018 in New York City. NOTE TO USER: User expressly acknowledges and agrees that, by downloading and or using this photograph, User is consenting to the terms and conditions of the Getty Images License Agreement.   Mike Stobe/Getty Images/AFPEnes Kanter tak bisa kembali ke Turki karena mengkritik Erdogan. (Mike Stobe/Getty Images/AFP)

Enes Kanter, bintang NBA asal Turki juga tak bisa kembali ke negara asalnya karena dianggap bertentangan dengan Erdogan. Meski tak bisa masuk Turki saat ini, Kanter tidak pernah menyesali kritik yang pernah disuarakan olehnya.

"Saya tidak menyesali apapun. Bahkan sedikit pun saya tidak menyesal. Sama sekali tidak. Tentu saja saya rindu keluarga saya namun saya tidak menyesali apapun," ujar Kanter pada The Athletic, dikutip dari Bleacher Report.

Perjalanan atlet dari masa ke masa telah membuktikan bahwa mereka punya kekuatan untuk mempengaruhi dan pandangan banyak orang, terlepas dari hasilnya mereka bakal dilabeli sebagai pendobrak sebuah pergerakan, pahlawan, atau bahkan pemberontak usai aksi yang mereka lakukan. (ptr/nva)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER