Jakarta, CNN Indonesia --
Kisah hidup saya, Elie Aiboy, penuh kejutan tak terduga. Pemain kampung yang tiba-tiba dipanggil Popnas Papua karena kurang pemain, tapi malah terpilih masuk skuad Baretti II menuju Italia.
Semula saya hanya bocah penggemar sepak bola seperti anak-anak lain di Papua. Tiap hari bermain bola untuk bersenang-senang, tapi bakat yang terpendam terus terasah hingga mencapai puncaknya.
Talenta sepak bola saya menurun dari ayah saya bernama Hendrik Aiboy. Saya baru tahu dari ibu kalau ayah jagoan sepak bola di kampung halamannya, Serui.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, ayah tak sempat mengecap tim profesional karena memilih jadi guru dan tinggal di Kota Jayapura. Mimpinya sebagai pesepakbola terjawab melalui saya.
Terbiasa main bola di pantai dan pegunungan mungkin yang membuat saya lincah. Punya kecepatan dan selalu ngotot di lapangan.
Selalu terpilih jadi pemain inti di sekolah hingga sukses juara SMP se-Jayapura. Entah dari mana jalannya, saya terpilih masuk tim Papua untuk Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas), kira-kira tahun 1994.
Awalnya saya agak minder. Sebab, tim Popnas Papua sebagian besar dihuni pemain Diklat Papua seperti Ortisan Solossa dan Erol FX Iba. Namun, perlahan saya adaptasi dan menikmati permainan sesuai dengan instruksi pelatih: Jadi pelayan untuk penyerang. Saya kasih maksimal!
 Bejo Sugiantoro. (CNN Indonesia/Titi Fajriyah) |
Tim pelajar Papua akhirnya menembus final Popnas, tapi kami kalah telak dari Jawa Timur yang kala itu diperkuat Bejo Sugiantoro dan Uston Nawawi. Dua pemain ini cukup menonjol sejak usia remaja.
Setelah pulang ke Papua saya kembali mendapat kabar mengejutkan lagi, terpilih sebagai satu di antara empat pelajar Papua untuk seleksi Timnas Indonesia U-19.
Selain saya, tiga pemain yang terpilih adalah Ortisan Solossa, David Abisay, dan Emmanuel Korey. Saya tidak tahu kendalanya apa, tapi Ortis memutuskan tidak ikut.
Tentu saya sempat takut, cemas, dan terheran-heran. Pemain kampung 15 tahun yang tak pernah ikut SSB, tapi bisa terpilih seleksi di Jakarta. "Semoga ini jalan Tuhan," kata saya dalam hati.
 Danurwindo pencari talenta muda Indonesia di era Primavera dan Baretti. (CNN Indonesia/Surya Sumirat) |
Singkat cerita kami sampai di Jakarta malam hari dan dihadapkan suasana gelap, banyak pepohonan seperti hutan. Saya bingung: katanya Ibu Kota dipenuhi gedung-gedung, tapi kami tinggal di hutan begini.
"Di mana bedanya dengan tempat kita di Papua?" gurau saya kepada David Abisay dan Emmanuel Korey.
Suasana Diklat Ragunan kala itu memang masih asri dan banyak pepohonan. Letaknya di samping Kebun Binatang Ragunan pula. Jelas saja mirip dengan hutan.
Setelah sepekan berlatih adaptasi bersama Diklat Ragunan. Om Danurwindo minta saya seleksi ke Sawangan. "Kamu ikut seleksi Timnas Indonesia U-19 ke Sawangan. Kalau tidak lolos balik ke sini, sekolah di Diklat Ragunan," kata Om Danur.
Ternyata saya lolos seleksi dan masuk Tim Baretti II yang digembleng di Italia selama setahun. Belum juga merasakan jalan-jalan di Jakarta, eh saya malah ke Italia. Satu lagi kejutan istimewa dalam hidup saya.
Digembleng di Italia
Banyak pengalaman hebat yang saya dapat dari Italia. Pertama, naik pesawat besar sekali. Saya tidak tahu boeing berapa itu. Kami naik dari Singapura tapi dalam pesawat seperti rumah.
Akhirnya kami tiba di Roma malam hari. Di situ baru saya merasakan cuaca yang dingin sekali. "Ih, dinginnya seperti di Eropa saja ya? Lho, memang di Eropa ya kita," kata saya bercanda kepada teman-teman karena kami semua memang tak pernah merasakan cuaca Eropa.
Dari Roma, kami transit pesawat ke Genoa dan naik bus lagi ke camp pelatihan di Tafarone. Kegiatan kami selama setahun di sana hanya latihan, makan, dan tidur. Itu saja dilakukan berulang-ulang seperti minum obat.
Pelatih kami saat itu asisten pelatih Sampdoria asal Swedia, Tord Grip. Sosok yang luar biasa buat saya. Berkat Grip saya termotivasi tambah porsi latihan crossing secara rutin. Masing-masing 50 lewat kaki kanan dan kiri. Hampir setiap hari saya lakukan.
 Elie Aiboy di skuad Baretti II, cikal bakal skuad Timnas Indonesia yang ditempa selama setahun di Italia. (Dok. Pribadi Elie Aiboy) |
Saya tidak akan pernah lupa pengalaman kali pertama bermain bersama Baretti pada turnamen yang diikuti tim-tim junior Italia. Saat itu, saya bingung harus berbuat apa ketika menghadapi press ketat dari dua pemain lawan. Saya tertekan dan pilih buang bola keluar lapangan!
Kalau diingat-ingat momen itu sangat memalukan sekaligus lucu. Tapi, saya justru banyak belajar dari insiden itu. Berani pegang bola dan mengontrol situasi untuk keluar dari tekanan dan membuat keputusan cepat.
Kemudian saya belajar on time di Italia. Kita harus tahu jadwal bus, dan tidak boleh telat. Kalau telat, kita tidak tahu mau ke mana di negeri orang. Saat itu tidak punya handphone. Luar biasa disiplin dengan waktu.
Selain itu pengalaman lain yang tak terlupakan adalah menyaksikan langsung pertandingan home Sampdoria. Saya pernah tonton langsung Fiorentina, AC Milan, Inter Milan, Juventus dan tim-tim besar lainnya.
Karena PSSI kerja sama dengan Sampdoria, kami jadi punya akses duduk di tribune yang dekat dengan pemain beraksi. Saya jelas sekali melihat striker Fiorentina Gabriel Batistuta. Ganteng sekali. Mirip sosok Tuhan Yesus. Waktu itu saya masih Kristen, ya. Tapi, sekarang mualaf.
 Elie Aiboy kagum dengan ketajaman Gabriel Batistuta. (ADRIAN DENNIS/AFP) |
Maka, ada tiga anak saya yang namanya terinspirasi pemain Liga Italia, mulai Gabriel Batistuta, Rui Costa, dan Enrico Chiesa.
Yang pasti kami banyak dapat hal di Italia. Pengalaman bertanding dengan tim-tim junior di Italia dan membuat tim Baretti solid.
Sayang kami gagal lolos Kualifikasi Piala Asia U-19 setelah hanya jadi runner up di fase grup. Hanya juara grup, China, yang berhak melaju ke putaran final.
Sejak saat itu saya rutin memperkuat Timnas U-19 dan U-23. Saya juga ikut andil mengantar Indonesia raih gelar Kejuaraan Pelajar Asia 1996 di Malaysia.
Pada 1997 saya memulai karier profesional bersama PSB Bogor. Setahun kemudian saya membela tim idola sejak kecil, Persipura Jayapura.
Sayang, karier saya di Persipura hanya berlangsung satu musim dan harus bertualang lagi keluar Papua. Puji Tuhan karier saya meningkat bersama klub-klub elite di Indonesia seperti Semen Padang, Persija Jakarta, Arema Malang, dan PSMS Medan.
Tapi, momen terbaik saya di level klub terjadi ketika menjadi pemain asing di Selangor FA. Jujur, saya tertarik gabung Selangor karena ajakan Bambang Pamungkas.
Semula pada 2005 pelatih dan manajemen Selangor datang ke Jakarta untuk menggelar pertemuan dengan Bambang. Nah, sebelum bertemu di hotel mereka tonton pertandingan dan lihat saya bermain klop dengan Bambang.
Saya kirim dua umpan silang yang berhasil dituntaskan heading Bambang. Ternyata mereka jadi tertarik merekrut saya.
Bambang telepon saya bahwa awalnya orang Selangor mengira saya pemain asing asal Afrika. Bambang tertawa dan menjelaskan bahwa saya orang Indonesia asal Papua.
 Winger legendaris Timnas Indonesia, Elie Aiboy. (AFP/ADEK BERRY) |
Bepe bilang bahwa orang Selangor juga tertarik rekrut saya. "Kalau kamu bersedia, saya juga mau. Saya tidak mau sendiri karena kamu yang pertama dilirik," kata saya saat itu.
Jadilah kami berangkat berdua atas persetujuan Bang Yos (Sutiyoso) yang saat itu jadi Ketua Umum Persija.
Di Selangor, saya dan Bepe makin klop. Kami berhasil membawa Selangor meraih treble dengan menjuarai Liga Perdana Malaysia, Piala Malaysia, dan Piala FA Malaysia 2005/2006.
Pada saat itu Bambang menjadi top skor di Liga Perdana Malaysia, saya pemain terbaik Piala FA Malaysia. Selangor FC pun promosi ke Liga Super Malaysia 2006.
Pada 2007 kami berdua kembali ke Indonesia karena Liga Malaysia membuat regulasi tanpa pemain asing. Setahun kemudian mereka meminta kami kembali ke Malaysia setelah terjadi perubahan regulasi.
Bambang memutuskan tetap di Persija, sementara saya sendiri kembali ke Selangor pada 2008. Saya dan Bambang sudah dianggap sebagai legenda Selangor FC.
[Gambas:Instagram]
Tak hanya berkontribusi lewat prestasi, kehadiran saya dan Bambang saat itu ikut mengangkat finansial klub. Tiket pertandingan hampir selalu ludes dan jersey Elie Aiboy dan Bambang Pamungkas paling laris diburu suporter.
Tapi, momen paling mengharukan adalah selalu ada bendera Indonesia di tribune ketika Selangor FC bertanding. Mereka sebagian besar para pekerja Indonesia di Malaysia yang tetap setia mendukung kami. Itu sangat berarti buat saya.
Dualisme Timnas Indonesia
Banyak kenangan manis bersama Timnas Indonesia yang sulit disebut satu persatu. Salah satu yang tak terlupakan adalah masa bakti terakhir saya di Piala AFF 2012. Saat itu PSSI konflik hingga terjadi dualisme Timnas.
Akibat konflik pengurus PSSI pemain yang jadi korban. Banyak yang sebut Timnas yang kami bela abal-abal. Sedih sekali rasanya.
Saya tak peduli konflik PSSI. Yang saya tahu saya dipanggil Timnas Indonesia yang diakui AFC. Saya tak bisa tolak bela negara.
 Bambang Pamungkas bersama Elie Aiboy bela Timnas Indonesia di era dualisme PSSI. (AFP PHOTO/ADEK BERRY) |
Yang mau ikut bela negara silakan, yang menolak ya sah saja. Mungkin klub mereka larang karena konflik PSSI itulah. Tapi, seorang Bambang Pamungkas datang bantu kami. Saya senang sekali.
Bambang sebenarnya bermain di Persija ISL, tapi dia punya prinsip yang sama dengan saya: Pantang menolak panggilan negara. Persetan dengan konflik kepengurusan PSSI!
Saya tidak pernah merasa pemain yang hadir saat itu adalah kelas kedua. Pertama, mereka adalah pemain terbaik yang bermain di kompetisi PSSI. Kedua dan terpenting, mereka punya jiwa dan semangat bela Timnas Indonesia.
Saya yakin semua pemain yang dipanggil saat itu mau datang. Tapi terbentur dengan larangan klub. Kami pemain tidak ada masalah, buktinya saya komunikasi terus dengan Ponaryo Astaman, kapten Timnas bentukan KPSI.
Saya ingat betul bagaimana saya dan Bambang, selalu berusaha membangkitkan kepercayaan diri adik-adik di Timnas. Kami berdua selalu bikin suasana cair, enjoy agar mereka tidak khawatir, dan harus membuktikan diri kalau tim ini bisa.
Saya ajak adik-adik fokus all out di Timnas dan jangan pedulikan komentar di luar lapangan. Kalaupun saat itu ada pemain lain yang merasa jago dan bilang kami adalah Timnas abal-abal, saya ingin bilang, "Sini datang dan bantu kami. Tolong jangan hina perjuangan kami!"
Bagaimanapun kami sudah berusaha memberikan yang terbaik. Dengan situasi konflik PSSI, kami gagal tembus semifinal karena kalah dari tuan rumah Malaysia di laga terakhir fase grup. Kalau menang kita lolos semifinal.
 Taufiq pernah jadi bagian Timnas Indonesia di era dualisme PSSI. (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF) |
Bagi saya pribadi tidak masalah. Yang penting kami sudah berjuang maksimal. Saya bilang ke adik-adik, kita sudah berjuang dan hasil akhir bukan manusia yang tentukan. Sekarang biarkan PSSI yang tanggung jawab.
Tanggung jawab saya di Timnas Indonesia selesai dengan baik. Tentu saja bukan soal prestasi tapi bagaimana perjuangan yang saya berikan di usia 34 tahun. Apalagi harus merasakan tekanan dari publik bahwa kami bukan Timnas yang ideal.
Saya pernah tergabung dengan Timnas Indonesia yang dihuni pemain top Tanah Air dan dilatih pelatih luar negeri. Hasilnya sama saja, belum pernah juara juga. Apa yang harus disombongkan?
Kalau sepak bola Indonesia mau sukses, ya harus bersatu. Cukup sudah dualisme PSSI dan dua Timnas, tolong jangan pernah ada lagi. Cukup kami-kami saja yang jadi saksi sejarah kelam itu.
Jika mau sukses kita harus sejalan, searah, satu kapal, satu tujuan, dan saling dukung. Mulai tataran pengurus PSSI, manajer klub, sampai ke pemain. Kalau kalian (PSSI) ribut-ribut terus, pemain yang bakal jadi korban lagi.
Semoga sepenggal cerita saya bisa jadi inspirasi sekaligus motivasi bagi para pemain muda. Jangan pernah mudah puas dan tetap semangat!