Jakarta, CNN Indonesia --
Saya lahir dan di besar di Medan. Kami tinggal di kompleks Pardedetex, dan kebetulan di kompleks itu ada klub sepak bola profesional Pardedetex pada 1960 sampai 1970an.
Orang tua saya kerja di sana. Kebetulan juga dekat rumah ada lapangan bola yang setiap latihan itu pemain-pemain nasional. SMP kelas 2 atau 3 saya masuk Remtar (Remaja Taruna) Pardedetex, kalau sekarang mungkin namanya SSB. Cuma dulu belum ada SSB dan namanya masih remtar.
Waktu itu pelatih di Remtar Pardedetex sudah cukup bagus, karena di klub itu ada pelatih Frans van Balkom dan juga pelatih dari Belanda. Dulu di Pardedetex itu ada tiga jenjang: remtar, amatir, dan senior.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya sempat juga dikirim ke klub Warna Agung di Jakarta oleh bos Pardedetex, Jhonny Pardede. Latihannya hanya satu bulan, dari tiga bulan yang direncanakan. Pelatih Warna Agung saat itu Wiel Coerver.
Dari tim amatir Pardedetex itu saya dipanggil ke tim junior PSMS pada 1982. Saya tes pertama di junior PSMS gagal, baru bisa masuk di sana usai tes kedua. Setelah di tim Suratin PSMS, saya terpilih ke tim junior PSSI. Tim junior PSSI ini cikal bakal Garuda I.Karena Wiel Coerver ditarik ke PSSI, akhirnya saya hanya latihan satu bulan di sana. Dalam satu bulan itu saya hanya dapat latihan dasar saja.
Sehari latihan tiga kali, materinya hanya keeping bola di dalam ruangan. Latihan dua lawan dua, tiga lawan tiga. Itu saja. Lalu balik lagi ke Pardedetex amatir sekitar tahun 1981.
Sewaktu di tim junior PSSI saya mau ditarik ke tim profesional Pardedetex. Akan tetapi abang saya tidak setuju. Abang saya Tonggo Tambunan kan ada di tim Pardedetex itu juga. Jadi, kalau saya ikut latihan di tim profesional Pardedetex, abang saya enggak mau latihan. Enggak tahu kenapa alasannya.
Ketika saya libur latihan bersama PSSI Garuda, saya suka diminta ikut latihan dengan tim senior Pardedetex sama bosnya. Tetapi abang saya enggak mau saya ikut latihan.
 Patar Tambunan pernah bermain untuk Persija Jakarta. (Dok. Istimewa) |
Biasanya di PSSI Garuda itu suka dikasih pulang dua kali dalam setahun. Tapi karena abang saya enggak mau, akhirnya saya yang mengalah enggak latihan dengan Pardedetex.
Di PSSI Garuda saya dari 1982 sampai 1986, karena di 1985 saya masuk Timnas Indonesia senior di SEA Games 1985.
Begitu selesai dari Timnas Indonesia pada 1986, hampir semua dari kami ditawarkan ke klub Galatama. Saya ditawari ke Arseto, ke Pelita Jaya juga. Tapi 95 persen dari kami tidak mau karena memilih kerja.
Tahun 1985 saya sudah bekerja di Bank Bumi Daya, sudah karyawan. Jadi waktu umur 20 itu saya sudah kerja, dan memilih untuk kerja. Di tahun 1986 saya pilih gabung Persija Jakarta di Perserikatan.
[Gambas:Video CNN]
Dahulu pertimbangannya, di Galatama itu kan klub profesional, sedangkan saya statusnya karyawan. Di klub profesional zaman dahulu gajinya tidak sebesar sekarang.
Waktu di Timnas Indonesia zaman dahulu tahun 1985 saja bayarannya cuma Rp300 ribu, ada Rp150 ribu, bahkan Rp50 ribu. Sedangkan kami menjadi karyawan gajinya Rp200 ribu.
Kalau di Persija gajinya harian, sehari Rp10 ribu dibayarnya tiap minggu. Kalau tidak latihan ya tidak dibayar. Pertimbangan tidak memilih ke klub Galatama karena bayaran di perusahaan, lalu waktu yang fleksibel di klub Perserikatan.
Kita ambil contoh teman-teman kami, senior-senior kami yang terlalu asyik main bola ternyata 'di belakangnya' kurang bagus. Jadi saya ambil amannya saja.
Karena perbedaan gaji di klub Galatama dengan menjadi karyawan tidak jauh. Masalah gaji itu nomor satu, pertimbangan lainnya di keluarga kami belum ada yang menjadi pegawai BUMN.
Itu juga berkaca dari pengalaman kami. Orang tua saya kerja di Pardedetex selama 25 tahun ya begitu-begitu saja, tidak ada yang bisa dibanggakan.
Kebetulan juga waktu itu lapangan Persija di Menteng dengan kantor saya di BBD Plaza dekat, hanya tinggal jalan kaki.Seandainya saya waktu itu pilih klub Galatama, maka saya harus keluar dari status karyawan. Kalau di Persija saya tidak harus keluar perusahaan, karena masih di Jakarta dan membawa nama daerah. Jadi mendapat dispensasi dari perusahaan.
Karier terakhir saya di Timnas Indonesia itu waktu Pra Piala Dunia 1990 zona Asia, ketika Indonesia satu grup dengan Korea Utara. Sedangkan di klub saya main terakhir tahun 1997 di Persija. Pokoknya Liga Dunhill I dan II saya masih main.
Prestasi terbaik saya dalam sepak bola ya medali emas SEA Games 1987 dengan semifinal atau empat besar Asian Games 1986.
Sebenarnya cabang olahraga sepak bola Indonesia itu tidak ingin kirim tim ke Asian Games 1986. Cuma, kalau Indonesia tidak kirim lagi tim sepak bola ke Asian Games 1986, maka akan dicoret dari IOC (International Olympic Committee). Jadi harus disertakan supaya enggak dicoret.
Tapi dari terpaksa itu malah bisa membuat prestasi dengan mencapai empat besar di Asian Games 1986 di Korea Selatan. Padahal di babak penyisihan itu lawan-lawan Timnas Indonesia lumayan berat, ada Qatar, Arab Saudi, Malaysia. Kami lolos dari grup bersama Arab Saudi.
Awalnya kami juga tidak berpikir lolos dari grup. Karena ketika Qatar dengan Arab Saudi bertanding, kami kira mereka akan 'bermain mata' dengan hasil imbang. Ternyata mereka 'bunuh-bunuhan', Qatar kalah, sehingga kami yang lolos.
Lalu di SEA Games 1987. Waktu SEA Games 1987 saya tidak main di final, di penyisihan masih main. Di penyisihan bermain dengan kondisi cedera, tetapi tetap dipaksakan main. Saat di semifinal dan final sudah tidak bisa main lagi. Saya cedera lutut kanan.Di perempat final kami bertemu tim Arab lagi, Uni Emirat Arab. Kami bermain imbang 2-2, lalu menang adu penalti 3-2. Masuk ke semifinal kami melawan Korea Selatan kalah 0-4. Di perebutan tempat ketiga dan empat juga kalah 0-5 dari Kuwait.
Timnas Indonesia itu bisa bangkit di SEA Games 1987 setelah terpuruk di SEA Games 1985 karena beda pelatih salah satunya. Beda pelatih berarti beda peraturan.
Yang saya rasa waktu 1985, kami tahu disiplinnya pelatih Harry Tjong cukup ketat. Jadi pemain senior ada juga yang kurang setuju dengan aturan itu, tapi kurang berani bilang.
Tetapi kekalahan 0-7 Timnas Indonesia dari Thailand di semifinal SEA Games 1985 itu sebenarnya bukan karena apa-apa, karena kami tidak siap untuk bertanding. Sebab, sejak awal kami berpikir tidak akan masuk semifinal lawan Thailand.
 Prestasi terbaik Patar Tambunan adalah emas SEA Games 1987 dan semifinal Asian Games 1986. (Dok. Istimewa) |
Di pertandingan terakhir babak penyisihan itu ada Singapura lawan Brunei Darussalam. Kami pikir mereka akan bermain imbang. Kalau mereka imbang, Indonesia enggak lolos ke semifinal.
Ternyata salah satu dari Singapura dan Brunei menang, sedangkan kami sudah tidak latihan sekitar dua-tiga hari. Begitu di semifinal dibantai Thailand. Jadi kami memang sudah tidak siap secara fisik dan mental. Ya karena sejak awal sudah pesimistis saja.
Sekitar 70 persen dari skuat Garuda waktu itu diganti. Pelatihnya juga ganti jadi Coach Bertje Matulapelwa. Coach Bertje sih lebih santai. Mau pemain berbuat seperti apa, dengan Coach Bertje tidak apa-apa, yang penting pemain tanggung jawab saat di lapangan.
Secara umum latihannya hampir sama antara Harry Tjong dengan Bertje. Kalau formasi dengan Harry Tjong pakai 4-4-2, dengan Coach Bertje 4-2-3-1 atau 4-3-3.
Coach Bertje juga orangnya lebih ngemong. Kalau ada pemain yang sakit, sama dia diperhatikan. Persiapan juga lebih panjang, kami juga main di Asian Games.
[Gambas:Video CNN]
Sedangkan Coach Harry Tjong tegas banget. Kalau dibilang harus masuk kamar jam 10 malam, ya harus masuk. Meskipun akhirnya ada yang curi-curi juga. Hukumannya juga berat, bisa sampai dicoret dari tim.
Setelah juara SEA Games 1987 kami dikumpulkan, padahal semua pemain sudah pada pulang. Bahas soal bonus juara. Masalahnya, sejak sepak bola ikut SEA Games pada 1977, baru kali itu tahun 1987 juara.
Kemudian, sebelum kami juara SEA Games, PSIS Semarang itu juara Perserikatan. Dengan juara itu, para pemain PSIS mendapat rumah satu-satu dari Pemda. Karena itu pemain Timnas Indonesia berpikir, yang di klub juara saja dapat rumah, masa di timnas tidak dapat.
Memang sempat ramai, hampir semua pemain termasuk saya juga mengharapkan itu. Waktu juara itu kami cuma dapat bonus Rp1 juta dari KONI dengan gaji Rp150 ribu. Jadi wajar kami mengharap hadiah rumah itu. Karena kan levelnya Asia Tenggara dan baru pertama kali juara.
Selain itu, kan Persib Bandung waktu juara Perserikatan 1986, para pemainnya juga dapat rumah satu-satu. Makanya ada kompleks Persib di Bandung, termasuk Djadjang Nurdjaman juga dapat rumah itu.
Tapi akhirnya kami di Timnas Indonesia juga tidak dapat rumah yang diharapkan tersebut. Bubar jalan begitu saja. Tetap semangat saja. Dipanggil Timnas Indonesia, ya main lagi.
Akan tetapi, ketika tahun 1988 Timnas Indonesia dipegang Pak Nirwan Bakrie, ada perubahan. Uang saku naik Rp1 juta, lalu ada bonus bertanding dapat sekian dolar.
Sedangkan momen paling buruk sebagai pemain itu sekitar tahun 1990, saya patah kaki waktu di Galakarya. Galakarya itu kompetisi untuk karyawan. Main di Jawa Timur di Jombang. Waktu itu turnamen Galakarya juga banyak pemain-pemain nasionalnya, seperti Robby Darwis di tim BNI 46.
Di Jombang lawannya Petrokimia Gresik. Sebelum main saya dapat telegram dari Pak Nugraha Besoes diminta untuk gabung dengan PSSI. Yang dipanggil itu saya, lalu Azhari Rangkuti dari Bank Indonesia, Marzuki Nyak Mad, dan banyak lagi, termasuk Robby dari BNI 46.
Setelah dapat telegram itu kami main BBD lawan Petrokimia sore hari. Manajer bilang sudah nanti saja pulangnya setelah pertandingan.
Lawan tekel kaki kiri saya pakai dua kaki, tekel gunting. Tapi saat itu bola masih nempel di kaki kanan. Saya naik, namun kaki kiri dijepit lawan. Terasa itu patahnya di tendon. Benar saja, setelah pertandingan itu saya pulang, tapi kaki sudah patah. Kaki saya itu patah karena sedang dribel bola, lalu ditekel lawan dari belakang.
Untungnya tulang kecil yang patah. Karena saat itu saya masih bisa jalan sendiri ke pinggir lapangan. Waktu itu bukan cuma masalah tulang patah saja, tetapi pergelangan kakinya cedera parah juga.
Total satu tahun saya baru bisa pulih. Enam bulan sembuh dari patah tulang, lalu enam bulan berikutnya pemulihan. Karena waktu di bulan ketujuh itu saya masih sakit untuk jogging.
Kini, meski sudah pensiun, saya masih aktif bermain sepak bola. Terkadang dalam beberapa acara kami mantan pemain Timnas Indonesia masih suka berkumpul untuk bermain bersama. Hidup saya tdak bisa jauh dari sepak bola.