Sepak bola memang menjadi napas hidup buat saya. Sedari kecil olahraga itu memang kental dan lekat sekali dengan saya. Alhamdulillah pilihan hidup saya itu tidak salah dan sampai sekarang saya masih hidup di lapangan sepak bola.
Saya tahu sepak bola dari almarhum bapak. Waktu saya kecil di Kepanjen, Malang, ada klub lokal bernama (AMS) yang memang cukup bagus di kompetisi Galadesa. Hampir di mana pun AMS main, bapak mengajak saya untuk menonton.
Selain perkenalan langsung dari pinggir lapangan, saya juga mengetahui sepak bola dari layar kaca. Waktu itu di televisi hanya ada siaran langsung sepak bola Liga Jerman tiap hari Minggu. Saya tidak bisa lepas dari tayangan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari situ saya tahu nama-nama top pada zaman itu, tentunya yang berasal dari Jerman, seperti Felix Magath, Lothar Mattheaus, dan Andreas Brehme. Khusus untuk Brehme, dia punya pengaruh besar dalam hidup saya.
Lihat juga:McGregor Dianggap Hina Khabib Soal Alkohol |
Setelah saya masuk usia SMP saya mulai main di AMS, kemudian masuk Persema junior dan Gajayana.
Awal berlatih dan menekuni sepak bola itu saya main sebagai gelandang. Tetapi saya yang waktu itu main di lapangan daerah, yang ukurannya kecil, merasa kok sumpek sekali ya main di tengah ini.
Kemudian saya memutuskan untuk pindah menjadi bek kiri, seperti Brehme yang saya tonton di televisi itu. Saya bisa bermain baik, teman dan pelatih pun mempercayai saya berposisi di situ.
Jalan hidup memang enggak ada yang tahu, tetapi saya bersyukur karena punya kesempatan emas ketika main di Gajayana.
Waktu itu saya masih kelas 2 SMA. Gajayana yang berstatus sebagai tim amatir punya kesempatan uji coba melawan Arema. Klub kebanggaan yang didamba-dambakan sama orang Malang, termasuk saya.
Ada momen yang saya ingat sekali di pertandingan itu. Saya melakukan overlap, lari sampai depan masuk kotak penalti dan membuat assist. Saya senang sekali. Saya pikir itu adalah capaian tertinggi saya, bisa buat assist.
Ternyata itu bukan sekadar assist biasa, umpan itu menjadi assist dalam kehidupan saya selanjutnya. Setelah pertandingan saya pulang, sampai asrama ternyata kemudian ada yang mencari saya.
Beliau Lucky Acub Zaenal dan Ovan Tobing, pemilik dan tokoh Arema. Saya ditawari masuk bergabung ikut Arema dengan gaji Rp40 ribu per bulan. Tanpa pikir panjang saya mau, orang Malang mana yang tidak mau masuk Arema? Dan anak SMA mana yang tidak tergiur uang sebesar itu di tahun 1988?
Singo Edan adalah karier profesional pertama saya. Saya bersyukur sekali perjalanan saya di sepak bola Indonesia cukup dekat dengan piala. Bersama Arema saya juara Galatama, waktu membela Persebaya Surabaya saya juara Liga Indonesia, begitu pula pas saya di PSM Makassar.
Soal tim mana yang paling bagus atau mana yang paling berkesan, saya pikir semua punya kesan. Waktu juara bersama Arema itu saya senang karena membawa tim kebanggaan daerah meskipun dananya minim. Bersama Persebaya juga saya berhasil mewujudkan impian tim besar yang didukung finansial bagus yang mengincar juara. Di PSM pun saya juga berhasil membantu tim yang waktu itu punya ambisi besar jadi juara di bawah pimpinan pak Nurdin Halid yang kemudian jadi Ketua PSSI.
![]() |
Layaknya kehidupan, sebagai pemain sepak bola tidak melulu senang. Masa sulit pun saya alami. Kepindahan dari Arema ke Persebaya adalah drama besar dalam hidup.
Saya dapat berbagai macam ancaman enggak karuan, bahkan sampai kekerasan. Aremania ketika itu enggak rela saya sebagai pemain asli Malang dan sudah langganan Timnas pindah, apalagi pindahnya ke klub rival.
Yang kekerasan mungkin tidak usah saya ceritakan detail, tetapi ada penolakan lain yang juga saya ingat. Supir mikrolet se-Malang waktu itu mau patungan agar saya tetap di Arema. Selain itu di saat resepsi nikahan saya, di gedung nikah itu ada ratusan fan Arema yang bawa poster besar tulisannya 'Apapun yang Terjadi Aji Santoso Tidak Boleh Pergi dari Arema'.
Waktu itu saya tetap pindah karena memang ingin mengembangkan karier dan uang transfer yang besar, Rp50 juta, bisa membantu Arema yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Kalau hitungan saya, uang sebesar itu bisa menghidupi Arema selama enam bulan.
Karier saya yang bagus di klub juga turut mengantar masuk ke Timnas Indonesia. Pertama kali dipanggil oleh Danurwindo tahun 1989 ikut Kings Cup.
Saya juga jadi bagian emas sepak bola SEA Games 1991 yang dilatih Anatoly Polosin. Saya agak lupa, tapi kalau tidak salah di grup kami lawan Malaysia yang waktu itu memang selalu kesulitan lawan Indonesia. Terus menang lawan Vietnam [dan Filipina-red].
Di semifinal baru kami bertemu lawan tangguh. Singapura waktu itu ada Fandi Ahmad. Kami menang dan ke final. Saya dipasang terus sejak awal, tetapi cedera sampai akhirnya saya digantikan di tengah pertandingan. Sampai akhirnya menang adu penalti. Saya yang cedera juga ikut pesta hehehe.
Kenangan SEA Games yang berkesan dan masih saya ingat sampai sekarang justru di Jakarta, 1997. Saya waktu itu jadi pemain inti, dipercaya pelatih Henk Wullems. Dari fase grup sampai final saya main.
Di semifinal lawan Singapura saya mengalami cedera hamstring, saya dengar itu sampai ada bunyinya 'ceklek', pas kena. Secara medis saya harus menunggu dua minggu untuk sembuh. Tetapi melalui bantuan pak Azwar Anas (ketua PSSI) saya diberangkatkan naik helikopter ke daerah Tasikmalaya, Jawa Barat.
Di sana saya diurut. Kalau enggak salah, namanya Haji Sondang. Itu langganan pejabat-pejabat. Saya di sana hanya ditemani masseur dan asisten pak Azwar Anas. Bukan sulap, bukan sihir, saya sembuh. Jadi Jumat itu semifinal, Sabtu diterbangkan ke Tasikmalaya, dan Minggu final. Akhirnya di final main lagi lawan Thailand.
Sayang setelah seri 120 menit, kalah adu penalti. Waktu itu memang enggak ada yang berani ambil penalti sampai akhirnya saya inisiatif jadi penendang pertama. Deg-degannya ya luar biasa ya main di Senayan kita jadi tuan rumah. Saya pikir nervous itu wajar. Saya bersyukur penalti saya masuk.
Setelah saya buat gol, Fakhri Husaini juga, tetapi Uston Nawawi sama Ronny Wabia gagal, kita perak. Beberapa hari setelah pertandingan, Uston cerita ke saya soal kegagalan penalti, "Mas, aku waktu itu jalan dari tengah lapangan ke titik penalti buat ngambil bola itu rasanya ngawang-ngawang."
Ya memang tahun itu Uston masih pemain muda, dan dia junior saya di Persebaya, saya rasa wajar.
Saya aktif di Timnas Indonesia itu dari 1989 sampai 2000 dan merasakan SEA Games lima kali, 1991, 1993, 1995, 1997, dan 1999. Semua medali sudah saya rasakan, emas, perak, perunggu.
Kalau dibilang tim 1991 itu yang terbaik, ada dua faktor yang spesial. Yang pertama adalah pemain. Nama-nama yang waktu itu dipanggil ya benar-benar berkualitas. Edi Harto, Ferril Raymond Hattu, Sudirman, Bambang Nurdiansyah, dan Peri Sandria. Ya bisa dibilang dari lini per lini memang bagus. Selain itu ada faktor pelatih Polosin yang latihannya luar biasa.
Pola latihannya benar-benar berat. Jadi saya rasa wajar sekarang ini saya baca berita Shin Tae Yong meningkatkan fisik pemain dengan cara keras, itu proses yang bagus untuk jadi juara. Tetapi Shin Tae Yong kan masih latihan di lapangan, lha dulu kami latihan itu di gunung yang biasa Kopassus ambil baret merah. Sempat juga latihan lari di pinggir jalan tol. Fisik benar-benar ditempa.