Jakarta, CNN Indonesia --
Nama Daud 'Cino' Yordan saat ini mungkin cukup populer di arena tinju Indonesia. Tapi, perjuangan saya menuju ke sana penuh darah, keringat, dan juga air mata.
Saya terlahir dari keluarga petani miskin di Desa Simpang Dua, Kalimantan Barat. Listrik terlambat masuk dan maaf saja, rata-rata penduduk di sana kala itu tak punya cita-cita tinggi.
Di pikiran keluarga kami saat itu, tinju adalah jalan keluar dari kehidupan ekonomi pas-pasan. Tapi, tentu saja ada harga yang harus dibayar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak usia delapan tahun saya harus merantau meninggalkan kedua orangtua dan tinggal bersama abang kandung saya, Damianus Yordan.
Semula, orangtua tentu saja keberatan. Namun, orang tua akhirnya merelakan saya karena mungkin mereka juga melihat saya punya tekad besar.
Bagi saya, Damianus adalah panutan. Setiap pulang ke rumah bisa membawa makanan enak dan hadiah. Maka, saya mantapkan hati ingin menjadi seorang petinju seperti dirinya.
 Daud Yordan merantau sejak usia delapan tahun. (ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang) |
Saat itu, perjalanan dari kampung kelahiran saya ke ibu kota Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, memakan waktu sehari.
Saya baru tahu bahwa Damianus juga hidup menumpang dengan orang lain. Sempat berpikir untuk pulang ke rumah orangtua, tapi Damianus selalu berhasil meyakinkan diri saya untuk mengejar mimpi. Ya, menjadi petinju profesional!
Saya tidak mau menceritakan secara detail bagaimana duka kami berdua tinggal menumpang di rumah orang. Silakan Anda membayangkan sendiri bagaimana sulitnya hidup menumpang.
Tapi satu hal yang pasti, setiap keringat dan air mata yang keluar saat itu sudah terbayar. Latihan fisik yang keras dan tak punya waktu bermain dengan anak-anak sebaya jadi jalan hidup yang harus saya jalani.
Sambil melanjutkan sekolah dasar, hari-hari saya dipenuhi dengan latihan tinju mulai pagi, siang, dan sore. Hidup saya fokus mengejar cita-cita menjadi petinju profesional.
Setelah lulus sekolah dasar tahun 2001, saya mendapat undangan dari Pertina Pusat di Jakarta. Kepercayaan diri mengejar mimpi semakin besar.
Waktu terus bergulir dan banyak gelar junior dan nasional yang saya dapat sambil sekolah. Saat masih SMA, saya mendapat kesempatan mewakili Indonesia di Kualifikasi Olimpaide 2004. Tapi, saya kalah dan gagal!
 Daud Yordan berjuang mewujudkan mimpi jadi petinju level dunia sejak kecil. (Dok Mahkota Promotion) |
Kegagalan itu tetap jadi pelajaran berharga dalam hidup saya. "Suatu saat saya akan kembali melawan petinju-petinju dari luar negeri," gumam saya dalam hati.
Pada 2005 saya lulus SMA dan memutuskan pulang kampung untuk mempersiapkan diri terjun ke tinju profesional pada 2006. Saya sering memenangkan pertarungan gelar tinju profesional yang waktu itu masih rutin disiarkan di televisi.
Debut Manis di Amerika Serikat
Tuhan sungguh baik. Mimpi saya tidak hanya sampai di level nasional. Saya juga dipertemukan dengan orang-orang yang peduli tinju hingga membawa saya ke level internasional.
Kehadiran promotor Mahkota Promotions yang dipimpin Raja Sapta Oktohari, dan orang-orang di dalamnya seperti Gustiantira Alandy (Presiden Direktur), Urgyen Rinchen Sim (Direktur Manajer) sangat membantu karier saya dari bawah hingga terus naik ke atas. Mereka telah bekerja secara luar biasa mulai 2008 hingga saat ini.
Prestasi saya di gelar tinju profesional juga pernah dilirik promotor kaliber dunia, Golden Boy Promotions, milik Oscar De La Hoya di tahun 2008.
Sebelum dilirik Golden Boy Promotions saya memang sudah bertarung di level Asia Tenggara dan menang di Thailand dan Singapura. Tapi, karier dan popularitas saya langsung melesat setelah bertarung dan menang di Las Vegas.
 Petinju Indonesia, Daud Yordan berhasil mempertahankan gelar WBO Asia Pasifik dan Afrika, setelah mengalahkan Yoshitaka Kato dengan technical unanimous decision pada ronde kesembilan pada pertandingan yang berlangsung di Balai Sarbini, Jakarta, Jumat, 5 Februari 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Lawan saya saat itu adalah petinju asal Meksiko, Antonio Meza. Kualitasnya bukan kaleng-kaleng. Ada momen ketika saya merasa sudah memukulnya dengan keras, tapi dia seperti enggak berasa.
Wah, saya enggak mau down dan terus fight sampai akhirnya memenangkan pertandingan. Itu salah satu momen yang tak akan terlupakan dalam karier saya.
Saya merasa bangga karena mampu meraih kemenangan di AS. Selain itu bisa membawa nama bangsa Indonesia dikenal karena prestasi. Saya juga tercatat sebagai petinju Indonesia pertama yang bisa menang di AS.
Perjuangan saya untuk menjadi juara di level internasional bukan perkara mudah. Ada darah, keringat dan juga air mata yang mengalir untuk setiap gelar yang saya raih.
Saya pernah kalah dari juara kelas bulu interim WBA, Celestino Caballero, di Florida, AS, pada 2010. Saya tidak mau beralasan, tapi faktor utama yang membuat saya kalah adalah persoalan non-teknis.
Kami tiba di Florida terlalu mepet dengan jadwal pertandingan karena lama mendapat visa. Tidur tidak berkualitas karena jetlag sehingga fisik dan mental tak siap saat bertarung.
Caballero sempat menjatuhkan saya di ronde kedua tapi saya coba bangkit dan bertahan hingga 12 ronde. Saya dinyatakan kalah angka secara mutlak di laga tersebut.
Ini menjadi pelajaran buat saya dan tim. Tak boleh ada kesalahan teknis dan persiapan mepet jelang menghadapi pertarungan di negeri orang.
Setahun kemudian, saya juga mendapat pelajaran berharga untuk kedua kali. Kali ini, saya kalah dari senior saya Chris John.
Saya akui saat itu banyak mendapat pelajaran berharga dari Chris John. Semula saya sangat yakin bisa menumbangkannya. Tapi dia ternyata petinju pintar. Terang saja, dia juga lebih dulu punya pengalaman bertanding di level internasional.
 Chris John (kanan) lebih dulu mentas di tinju internasional. (ANTARA FOTO/Regina Safri/Rei) |
Dia bisa mengatur ritme sehingga saya kehabisan tenaga. Boleh dibilang, saya bertarung seperti banteng dan Chris John adalah matadornya kala itu. Hehehe...
Setelah merasakan kekalahan melawan Chris John, saya mulai belajar jadi petinju yang lebih dewasa. Tidak harus mengumbar kekuatan di awal ronde dan lebih mengutamakan strategi.
Lawan Chris John adalah kekalahan kedua saya di ajang internasional tapi tidak membuat saya putus asa. Pada tahun yang sama saya mengalahkan petinju AS, Frankie Archuleta di Australia dengan kemenangan KO di ronde keempat.
Kemudian saya berhasil mempertahankan kelas bulu versi IBO melawan Lorenzo Villanueva dan Choi Tseveenpurev hingga 2012. Tapi, gelar tersebut hilang setelah kalah dari petinju Afrika Selatan Simpiwe Vetyeka pada 2013.
 Daud Yordan didukung Mahkota Promotions. (Mahkota Boxing Series) |
Pada 2018 saya mampu merebut gelar juara dunia kelas ringan WBO pada 2018 dengan menumbangkan petinju Rusia, Pavel Malikov.
Pada 2019, gelar saya bertambah usai menang TKO lawan Michael Mokoena dalam perebutan gelar juara dunia versi Indonesian Boxing Association (IBA) di Malang. Itu menjadi pertarungan terakhir saya sebelum pandemi virus corona meluas.
Pandemi Virus Corona
Saat ini, karier saya mandek hampir setahun di masa pandemi virus corona. Rencana saya dan promotor Mahkota Promotions jadi berantakan.
Tetapi saya tetap bersyukur kepada Tuhan masih diberikan kecukupan. Tugas saya sebagai atlet adalah tetap berlatih dan mempersiapkan diri untuk kemungkinan bertanding lagi.
Sekarang saya menginjak usia 33 tahun. Meski tak bisa dibilang muda lagi, saya masih yakin bisa eksis bertanding hingga 6-8 tahun ke depan.
Ada target yang masih belum kesampaian, yaitu melawan juara bertahan kelas ringan versi WBO dan WBC, Jose Ramirez. Jalan menuju ke sana tak mudah karena dia juara dunia, tapi semoga pertarungan itu bisa terwujud.
Virus corona memang jadi bencana internasional yang membuat seluruh agenda berantakan. Tapi, kita harus bertahan dengan keadaan. Jangan lengah, tetap menjaga diri dari kemungkinan penyebaran Covid-19.
 Daud Yordan vs Michael Mokoena. (Dok Mahkota Boxing Series) |
Di sisi lain, ada hikmah yang bisa saya ambil di masa pandemi ini. Ternyata pandemi bisa membuat saya lebih dekat dengan keluarga dan bisa rutin mengurus boxing gym saya pribadi di Kayong Utara.
Oh ya, saya juga mau cerita soal boxing gym milik saya bernama Daud Boxing Club. Mungkin saya satu-satunya atlet tinju yang punya boxing gym sendiri saat masih aktif.
Saya anggap boxing gym ini sebagai investasi. Artinya, mungkin saja saya tidak bisa mendapat untung secara materi tapi saya berharap bisa melahirkan 'Daud Yordan' lainnya.
Saya berusaha menerapkan standar internasional di boxing gym ini. Contohnya, ada mes menginap untuk petinju, dapur, kantor, serta perlengkapan berstandar internasional.
Sekarang mungkin belum bisa menghasilkan secara materi. Syukur-syukur bisa balik atau menguntungkan nantinya. Tapi, yang terpenting adalah mencetak generasi petinju yang punya mimpi berprestasi di level internasional.
 Daud Yordan kanvaskan lawannya Aekkawee Kaewmanee dari Thailand. (Dok Mahkota Promotion) |
Sejauh ini, sasana tinju milik saya hanya menampung bakat-bakat dari wilayah Kalimantan Barat. Yang penting punya komitmen besar untuk jadi petinju profesional.
Saya ingin membagikan lagi pengalaman yang sudah saya dapat selama ini kepada anak-anak. Jadi, mereka juga harus punya mimpi yang besar sejak kecil.
Mungkin tak ada mantan petinju di Indonesia yang mau mendirikan sasana tinju sendiri karena memang modalnya lumayan besar. Sementara pemasukan dari tinju nasional belum mendapat banyak uang.
Bisa dibilang, jadi petinju Indonesia hanya nama saja yang besar tapi uangnya kecil. Hal itu juga saya alami kok. Hehehehe...
Tapi, saya bersyukur kepada Tuhan bisa dibawa ke posisi sekarang. Bisa bertarung di luar negeri dan mencoba mencapai prestasi internasional lebih bergengsi lagi.
Oleh karena itu, saya ingin membagi pengalaman serta menularkan mimpi jadi petinju internasional. Kalau bisa harus lebih hebat dari prestasi Daud 'Cino' Yordan!