Klub-klub lain di Liga Inggris tak akan dengan sukarela melihat Liverpool kembali menari-nari tanpa gangguan saat memenangkan trofi Liga Inggris musim lalu.
Terlebih kompetisi Liga Inggris saat di era ini terbilang makin ketat. Jangankan untuk bertarung merebut titel juara, persaingan menuju tiket kompetisi Eropa terendah alias Liga Europa juga sudah sulit.
Liverpool harus menghadapi tantangan dari Manchester United, Manchester City, Chelsea, Leicester City, Tottenham Hotspur, Everton, dan Arsenal sejak awal musim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di awal musim, Liverpool yang tak banyak mengubah komposisi tim bisa melejit ke papan atas. Satu kekalahan mengejutkan 2-7 dari Aston Villa bisa dianggap sebagai sebuah kecelakaan semata.
![]() |
Ketika Virgil van Dijk cedera, disusul Joe Gomez, Klopp masih bisa menjaga Liverpool dalam tren kemenangan.
Liverpool hanya satu kali kalah dalam 11 laga terakhir sejak Van Dijk cedera dengan rincian delapan kemenangan, dua hasil imbang, dan satu kekalahan dari Atalanta di Liga Champions. Saat itu Joel Matip masih bisa bermain di lini belakang.
Sejak pertengahan Desember, Liverpool mulai tersendat. Di Liga Inggris, mereka tiga kali imbang lawan Fulham, West Bromwich Albion, dan Newcastle yang di atas kertas seharusnya bisa mereka taklukkan. Namun The Reds masih bisa meraih kemenangan atas Tottenham Hotspur dan Crystal Palace.
Di bulan Januari, kondisi Liverpool memburuk seiring kekalahan di markas Southampton dan runtuhnya keangkeran Anfield di tangan Burnley.
Meski yang keropos adalah lini belakang, lini depan Liverpool justru ikut terpengaruh dan kehilangan ketajaman. Liverpool juga tersingkir dari Piala FA dan kemudian menelan tiga kekalahan beruntun di Anfield.
Lihat juga:Tyson Diprediksi Menang KO Lawan Holyfield |
Dalam proses mengatasi krisis lini belakang, Klopp sering menarik Fabinho dan Jordan Henderson sebagai bek tengah. Solusi ini tentu sejatinya solusi sementara dan tidak bisa diandalkan hingga akhir musim.
Selain lantaran bek tengah bukan posisi asli Fabinho dan Henderson, ditariknya dua gelandang itu membuat opsi Klopp di lini tengah menjadi menipis. Ketika sejatinya Klopp butuh Henderson dan Fabinho menjaga keseimbangan di lini tengah, ia tak bisa melakukannya karena kedua pemain tersebut terpaksa ditarik untuk menutup krisis lini belakang.
Minimnya opsi di lini tengah karena ketiadaan Henderson dan Fabinho pada akhirnya juga turut mempengaruhi kreativitas serangan. Pasokan ke lini depan pun menjadi tersendat.
![]() |
Hal ini diperparah oleh kondisi dua full back, Alexander-Arnold dan Robertson yang juga ikut menurun. Mungkin lantaran tidak adanya rasa nyaman yang mereka miliki seperti sebelumnya ketika Van Dijk siap menambal lubang yang mereka tinggalkan.
Bursa transfer Januari pun tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Liverpool. Manajemen hanya memberi lampu hijau untuk kehadiran Ozan Kabak dan Ben Davies, bukan bek papan atas yang punya kualitas sejajar dengan Van Dijk.
Sejumlah statistik saat ini sedang menyudutkan Liverpool era Klopp. Namun tentunya hal itu tak bisa jadi metode penghakiman bagi Klopp.
Klopp jelas kalah karena Liverpool sedang dalam kondisi tak sehat dari segi materi pemain. Skala suara-suara pemecatan Klopp memang masih dalam kategori minor, namun seharusnya suara tersebut sama sekali tak terdengar mengingat segala hal yang telah diberikan Klopp.
Klopp masih jadi sosok yang paling ideal mempersatukan Liverpool. Klopp juga masih disegani banyak pemain, lantaran mayoritas dari mereka memang besar karena naungan Klopp.
Liverpool, dalam hal ini manajemen, jelas melakukan langkah gila bila terbersit sedikit pun pemikiran untuk menendang Klopp. Klopp adalah pelatih terbaik Liverpool di era Premier League, sosok pelatih yang telah sukses membentuk tim menjadi solid dan ditakuti lawan.
Sulit dipercaya bila manajemen langsung memberikan vonis mematikan hanya lantaran kegagalan satu musim yang sejatinya belum bisa dipastikan gagal karena belum berakhir.
(nva)