Barcagate, Dosa Penutup Kejayaan Barcelona
Tak ada berita yang lebih menghebohkan di Barcelona akhir pekan kemarin selain eks Presiden Josep Maria Bartomeu ditangkap polisi karena skandal Barcagate. Skandal yang menjadi dosa penutup di akhir kejayaan Barcelona dan Lionel Messi dalam lebih sedekade terakhir.
Bartomeu jadi presiden ketika menggantikan Sandro Rossel pada 2014. Dia wakil presiden Rossel yang mengundurkan diri karena kasus penggelapan dana transfer Neymar Jr. dari Santos pada 2013.
Bartomeu kemudian terpilih sebagai presiden pada pemilihan 2015. Dia mengalahkan eks presiden Joan Laporta dan berhak memimpin manajemen Blaugrana hingga 2021.
Di masa kepemimpinan Bartomeu, Barcelona seperti berjalan menuju kehancuran. Masa-masa kejayaan klub asal Catalunya itu juga perlahan mundur teratur.
Sejak memenangi treble pada 2014/2015 bersama Luis Enrique, sinar Barcelona mulai meredup. Ernesto Valverde yang menjadi suksesor Enrique hanya bisa membawa Azulgrana jago kandang alias juara di kancah domestik.
Bersama Valverde, Lionel Messi cs tak mampu bertakhta di Liga Champions yang jadi supremasi tertinggi klub-klub Eropa. Jangankan juara, tembus semifinal saja tak bisa. Sementara rival abadi, Real Madrid makin mengukuhkan diri sebagai Raja Eropa.
Valverde sejatinya tak bisa disalahkan sepenuhnya, karena sejumlah kebijakan Bartomeu juga menjadi awal kejatuhan raksasa Catalunya. Dimulai dari melepas Neymar ke Paris Saint-Germain, hingga banyak transfer 'mubazir' dilakukan Bartomeu.
Melepas Neymar ke PSG pada 2017 jelas sebuah kerugian terbesar Barcelona. Sebab uang 222 juta euro hasil transfer Neymar justru menguap tanpa bisa menghadirkan pemain-pemain yang bisa membuat Barcelona berprestasi.
Bartomeu melakukan pembelian panik. Sebut saja Malcom Oliveira, Ousmane Dembele, hingga Phillipe Coutinho. Mereka pemain-pemain bagus di klub terdahulu. Tapi faktanya tak bisa mengangkat Barcelona ke singgasana juara. Los Cules tetap saja ketergantungan pada Messi dan juga Luis Suarez sebagai tumpuan.
Selain transfer mubazir, Bartomeu juga melakukan prekrutan yang sia-sia. Dalam beberapa bursa transfer, Bartomeu justru mendatangkan pemain-pemain nonpopulis atau yang sudah 'renta'. Misalnya, Kevin Prince Boateng, Junior Firpo, Jean-Clair Todibo, hingga Martin Braithwaite.
Pemain-pemain itu dibeli tanpa melihat kepentingan tim atau bahkan kebutuhan taktik sang pelatih. Ujung-ujungnya mereka kembali dijual atau dipinjamkan ke klub lain. Hanya Braithwaite, striker 'hantu' dari Leganes yang masih bertahan. Sementara pemain sekelas Antoine Griezmann juga tak jauh berbeda, tak segereget saat berseragam Atletico Madrid.
Gagal berprestasi, Bartomeu justru memecat Valverde yang memberi dua trofi Liga Spanyol. Parahnya lagi, Bartomeu memecat Valverde mendadak di pertengahan musim 2019/2020 dan tanpa menyiapkan dengan matang penggantinya.
Lagi-lagi, Bartomeu melakukan pembelian panik. Dia memilih Quique Setien, pelatih semenjana, dari Real Betis ketimbang merayu Xavi Hernandez pulang ke rumah. Alhasil, alih-alih bisa menyamai torehan Valverde, Barcelona di tangan Setien justru ambruk sepenuhnya pada musim 2019/2020.
Bersama Setien, Barcelona gagal di Copa Del Rey, disalip Madrid di ajang Liga Spanyol, lalu dipermak Bayern Munchen 2-8 di Liga Champions menjadi bukti sahih bahwa Blaugrana telah habis. Setien benar-benar membawa Barcelona bak tim medioker musim itu.
Lihat juga:Match Fee Piala Menpora 2021 Rp250 Juta |
Di akhir musim itu, masalah Barcelona bertambah rumit. Sang dewa, Messi menyatakan keinginannya untuk angkat kaki. Tapi Bartomeu menjadi penghalangnya. Sempat terjadi perselisihan, meski pada akhirnya Messi tetap bertahan. Bukan karena Bartomeu, melainkan karena tak mau melawan Barcelona sebagai klub yang paling ia cintai.