Indonesia pernah punya peran penting dalam menyelamatkan kondisi krisis yang dialami organisasi badminton dunia, BWF (Badminton World Federation) yang saat itu masih bernama IBF (International Badminton Federation).
IBF berubah nama menjadi BWF pada 2006. Di era 1970-an, organisasi badminton dunia sempat berada dalam krisis seiring berdirinya dua kekuatan yaitu IBF dan World Badminton Federation (WBF).
Dikutip dari Buku Sejarah Bulutangkis Indonesia, permasalahan di badan organisasi badminton dunia bermula ketika China ingin masuk jadi anggota IBF. China masuk dengan syarat Taiwan harus dikeluarkan dari IBF. Usul itu tidak diterima banyak anggota sehingga China gagal masuk jadi anggota IBF.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun di kawasan Asia, China berhasil mengeluarkan Taiwan saat menjadi anggota Konfederasi Bulutangkis Asia pada tahun 1974.
Pada tahun 1977, China berhasil menghimpun 49 suara yang setuju untuk mengeluarkan Taiwan dari IBF berbanding 32 suara yang menolak. Namun Taiwan kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi tempat kantor IBF berada. Banding diterima dan Taiwan batal keluar dari IBF.
Tak lama berselang, deklarasi WBF berdiri diumumkan. Ada 19 negara yang bergabung termasuk China, Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Thailand.
![]() |
Indonesia berada dalam posisi di tengah permasalahan ini. Indonesia tak mau dikucilkan oleh negara-negara Asia karena WBF sebagian besar terdiri dari negara Asia, namun juga tak ingin keluar dari IBF karena kejuaraan seperti All England dan Piala Thomas-Uber ada di bawah kendali IBF.
Posisi Indonesia dan lobi yang bagus membuat Indonesia bisa bersikap di tengah. Salah satu contohnya, Indonesia disetujui mengikuti dua turnamen yang berlangsung bersamaan yaitu All England 1976 dan Kejuaraan Invitasi Asia 1976. Padahal All England di tahun itu tidak diikuti oleh wakil-wakil Asia.
Di tahun 1976, Rudy Hartono berhasil juara All England sedangkan Iie Sumirat dan Christian Hadinata/Ade Chandra berhasil jadi juara di Kejuaraan Invitasi Asia.
Indonesia Bergerak
Saat Sidang Tahunan IBF digelar di Jakarta pada 1979, agenda penting digagas Indonesia yaitu menghentikan pertikaian di antara dua badan organisasi.
Indonesia mengundang 11 tokoh penting dari IBF dan WBF. Inisiatif undangan ini berasal dari Indonesia, bukan atas inisiatif IBF atau WBF. Dalam pertemuan tersebut, tercapai kesepakatan dibentuknya study group untuk menyusun agenda penyatuan dua organisasi badminton dunia. Dari Indonesia, Suharso Suhandinata dan Dick Sudirman masuk dalam tim tersebut.
Rapat di Bandung pada 1979 itu punya peran vital untuk meredam kisruh dan konflik di antara kedua organisasi badminton dunia tersebut. Perwakilan WBF, Teh Gin Sooi dari Malaysia bahkan menyebut keberadaan Indonesia jadi faktor penting di balik pertemuan itu.
"Hanya karena Indonesia kami datang," kata Teh Gin Sooi.
Kelompok study group ini terus mengadakan sejumlah pertemuan dan membahas hal-hal penting terkait penyatuan kedua organisasi. Meski sempat alot pada beberapa poin, di Maret 1981, Sidang Umum Tahunan IBF menyetujui kesepakatan-kesepakatan tersebut. Salah satu kesepakatan yang ada adalah penggunaan nama IBF karena organisasi ini lebih dulu berdiri.
Dalam ajang Piala Uber 1981 di Jepang kemudian digelar upacara penggabungan kedua organisasi yaitu Celebration of Unification. Pada 26 Mei 1981, petinggi IBF dan WBF menandatangani penyatuan tersebut.
Salah satu dampak penyatuan dua badan organisasi tersebut adalah China bisa bermain di Piala Thomas 1982. Upaya mendorong badminton bisa masuk ke Olimpiade pun jadi lebih mudah lantaran tidak ada lagi perpecahan di organisasi badminton.
Alhasil beberapa tahun kemudian, badminton menjalani debut sebagai salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade Barcelona 1992.
Nama IBF terus bertahan sebelum akhirnya diputuskan berubah nama menjadi Badminton World Federation pada 2006.
(ptr/jal)