Jakarta, CNN Indonesia --
Pada 2007, gadis-gadis muda Afghanistan pergi ke stadion di Kabul dengan perlengkapan sepak bola baru. Momen itu jadi pertandingan pertama mereka setelah berlatih selama berbulan-bulan.
Salah satu pemain tim itu adalah Hajar Abulfazl. Pada momen tersebut, tim wanita muda Afghanistan melawan tim wanita Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF).
Dikutip dari Bustle, Hajar Abulfazl yang ketika itu berusia 13 termasuk generasi pertama pesepakbola wanita sejak jatuhnya rezim Taliban pada 2001.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami memenangi pertandingan melawan tim wanita ISAF 5-0. Tetapi, yang lebih penting, kami memulai sesuatu yang baru di Afghanistan," kata Hajar Abulfazl.
Meskipun Taliban tidak lagi berkuasa, wanita-wanita di Afghanistan tetap kesulitan menunjukkan ekspresinya lewat olahraga.
Norma budaya dan agama di negara tersebut mendorong wanita untuk tidak keluar dari peran tradisional, yaitu menjadi ibu rumah tangga dibanding sebagai pesepakbola.
Akan tetapi, Hajar Abufzal jadi salah satu gadis yang mencoba mendobrak budaya konservatif di Afghanistan. Dia bersikeras mendalami keinginannya bermain sepak bola.
"Saya berusia 14 tahun ketika pertama kali mendaftar ke tim wanita di sekolah saya, dengan sedikit dorongan dari guru yang melihat minat saya pada olahraga," ucap Hajar.
[Gambas:Video CNN]
"Saya membutuhkan banyak keberanian untuk mendekati ayah saya terkait permintaan ini. Tetapi ketika saya akhirnya mengatakan kepadanya bahwa saya ingin bermain sepak bola, dia sangat gembira," tutur Hajar menambahkan.
Hajar bersyukur memiliki orang-orang terdekat yang mendukung keinginan dan kegiatan terhadap sepak bola yang masih dianggap pantangan di Afghanistan.
Wanita 27 tahun itu berasal dari keluarga besar. Hajar anak ketiga dari 12 bersaudara yang terdiri dari delapan perempuan dan empat laki-laki. Akan tetapi, keluarga inti Hajar sangat mendukung mimpinya menjadi pesepakbola.
"Saya beruntung memiliki saudara kandung dan orang tua yang mendukung, mendorong, dan melindungi saya, termasuk aktivitas sepak bola saya," ujar Hajar.
Hajar menuturkan, di tengah budaya tabu di Afghanistan, ayah dan ibunya mengizinkannya bermain dan berbicara dengan media. Tujuannya, agar Hajar menjadi teladan bagi gadis-gadis lain dan orang tua mereka.
"Dia [ayah] memegang tangan saya dan kami pergi ke toko olahraga membeli perlengkapan sepak bola. Di toko, dia mengatakan kepada manajer toko untuk memberikan yang terbaik dari semua yang mungkin dibutuhkan seorang pemain sepak bola. Itu adalah hari terindah dalam hidup saya," kenang Hajar.
Ketika keluarga dekat memberikan dukungan penuh, lain cerita dengan keluarga besar Hajar Abdulfazl. Ketika Hajar mulai bermain di liga, pamannya justru menentang langkahnya terjun di sepak bola.
Bukan sekadar dianggap tabu, sepak bola di mata paman Hajar merupakan kegiatan yang hina dan mendatangkan malu bagi keluarga besar mereka.
"Paman saya sangat menentang kegiatan olahraga saya. Dia mengatakan saya telah membawa aib bagi keluarga, dan bahkan dia merasa malu setiap kali dia mendengar nama saya di radio atau selama pertandingan nasional," ujar Hajar.
"Dia sering meminta saya tidak bermain. Dan pada suatu kali, ketika dia mengunjungi rumah kami, saya harus menyelinap keluar jendela untuk melakoni pertandingan agar terhindar dari kritiknya," ucap Hajar menambahkan.
Tekanan dari keluarga besar karena aliran kuno itu tidak menghalangi keteguhan Hajar terhadap sepak bola. Kariernya di lapangan hijau terus dijalaninya, sehingga membawanya tampil di level internasional.
Hajar bermain di timnas putri Afghanistan hampir satu dekade, sejak 2009 hingga 2017. Pada 2010 dan 21012, Hajar tampil bersama timnas putri Afghanistan di kejuaraan Federasi Sepak Bola Asia Selatan (SAFF).
Di turnamen SAFF timnas Afghanistan menorehkan beragam hasil. Setelah terpuruk pada 2010, Afganistan menang 4-0 atas Pakistan lalu imbang 1-1 dengan Maladewa.
Dalam pertandingan persahabatan, Hajar Abulfazl membawa Afghanistan menang 2-0 atas Qatar. Hajar juga ikut andil dalam laga persahabatan Afghanistan lain di Norwegia, Jerman, Sri Lanka, India, Qatar, Yordania, dan lainnya.
"Kami menelan beberapa kekalahan, tetapi juga meraih sejumlah kemenangan," kata Hajar yang semasa bermain mengisi posisi gelandang.
Di mata Hajar Abulfazl, paradigma kolot di Afghanistan soal keterlibatan wanita dalam olahraga menjadi salah satu tugas berat di dalam hidupnya yang mesti dituntaskan.
Wanita di Afghanistan tidak saja dilarang bermain sepak bola atau berolahraga. Ketika wanita mencoba keluar dari lingkungan norma dan budaya tersebut, tekanan sosial berlaku dan serta berdampak cemoohan bagi yang berani meninggalkan batasan-batasan itu.
Masalah tersebut yang menguatkan Hajar Abulfazl memperjuangkan hak-hak wanita di Afghanistan. Hajar ingin seluruh wanita memiliki kesetaraan dengan pria dan bisa menekuni olahraga dengan tenang tanpa rasa was-was atau ketakutan.
Salah satu upaya Hajar menuntut kesetaraan hak wanita Afghanistan di olahraga khususnya sepak bola, dia merangkap sebagai pemain timnas sekaligus Kepala Komite Sepak Bola Wanita di Federasi Sepak Bola Afghanistan sejak 2012 hingga 2014.
Akan tetapi, upaya tersebut belum cukup. Ketika sebagian wanita di Afghanistan mulai turun ke lapangan, masalah-masalah lain muncul. Di antaranya pesepakbola wanita di Afghanistan berhenti bermain setelah menikah, karena tidak mendapatkan dukungan dari mertua.
"Saya kenal beberapa rekan pemain yang berhenti bermain bola setelah terus menerus dikritik dan dihina secara sosial. Tapi banyak orang lain yang saya kenal, yang terus bermain diam-diam, bahkan setelah mengalami penyiksaan fisik, semuanya demi kecintaan pada permainan," Hajar menjelaskan.
Tidak semua wanita di Afghanistan seperti Hajar Abulfazl yang mendapat dukungan dari keluarga. Di saat sebagian orang tua lain menjauhkan anak-anak perempuan mereka dari lapangan dengan alasan memberikan perlindungan atau mempertahankan pandangan konservatif, dia mendapatkan dorongan dari keluarganya.
Guna mengurangi atau menghilangkan hambatan dan diskriminasi yang bisa membunuh impian perempuan serta anak perempuan di seluruh dunia, Hajar berharap dukungan dari masing-masing keluarga.
"Kesetaraan bagi saya berarti perempuan dan laki-laki memiliki kebebasan yang sama untuk berpikir, membuat keputusan, memilih jalan hidup kita sendiri, dan mencari pencapaian kita sendiri. Kesetaraan berarti wanita diizinkan menjadi juara dan superstar dalam kehidupan mereka sendiri," tutur mantan pelatih timnas putri Afghanistan U-17 itu.
Menurut Hajar yang kini seorang dokter, dia ingin menunjukkan olahraga itu positif bagi individu, keluarga, dan masyarakat. Dengan olahraga, perempuan lebih kuat dan produktif.
Hajar mengakui sepak bola yang digemarinya mengajarinya hidup disiplin dan berkomitmen, kesuksesan serta kegagalan.
[Gambas:Video CNN]
Karena sepak bola juga, lanjut Hajar, dia bisa berkeliling dunia serta berpartisipasi dalam ajang lintas budaya. Lewat si kulit bundar, Hajar bisa berkontribusi dalam perdamaian melalui olahraga.
"Saya tahu manfaat olahraga dan orang tidak bisa menyembunyikan pandangan mereka tentang itu. Anda belajar bagaimana menjadi pekerja keras dan bagaimana ketika Anda kalah, Anda belajar bekerja lebih keras untuk sukses di lain waktu. Itu membuat Anda merasa seperti, Anda bisa melakukan apa saja. Saya tidak mungkin mempelajarinya tanpa olahraga," ucap Hajar.
Selain bicara soal pandangan tabu soal sepak bola dan olahraga bagi wanita di Afghanistan, Hajar juga buka suara tentang hijab yang dinilai sebagai salah satu kendala bagi wanita dalam berolahraga.
Di Afghanistan, seragam sepak bola pada umumnya dianggap tidak sopan, meskipun untuk wanita telah menggunakan lengan panjang dan juga bahan guna menutup kaki mereka.
"Bagi kami, berdandan untuk sebuah pertandingan sedikit [lebih] sulit daripada bagi sebagian besar pemain wanita dari negara-negara Barat. Pakaian kami harus peka secara budaya, dan selama bertahun-tahun kami menjadi terbiasa bermain dengan jilbab," kata Hajar.
Bagi Hajar Abulfazl, hijab tidak menghalangi wanita dalam berolahraga, termasuk berkompetisi. Keyakinan itu juga yang ditunjukkan Hajar dengan tetap mengenakan hijab saat bersepakbola. Dia menuturkan, sejauh ini banyak desain jilbab yang bisa digunakan untuk berolahraga.
"Sebagai panutan pemberdayaan olahraga wanita, saya memakainya untuk menunjukkan kepada generasi berikutnya dan orang tua mereka bagaimana wanita dan anak perempuan Afghanistan dapat mempertahankan rasa hormat terhadap agama dan budaya sambil mengejar prestasi olahraga dan manfaat dalam mengembangkan kemandirian serta kesetaraan dalam masyarakat," ujar Hajar.