Kisah saya menembus panggung catur internasional penuh perjuangan. Tak semudah membalikkan telapak tangan atau mendapat berkah karena mendadak viral.
Saya terlahir di sebuah desa di Indramayu, Jawa Barat, yang gemar bermain catur. Di kampung kami, pos ronda, warung-warung kopi, atau teras rumah kerap jadi arena tanding catur.
Ketika masih anak-anak, ayah sering membawa saya ke tempat dia dan tetangga bermain catur. Semula saya tidak mengerti apalagi tertarik menekuni catur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, saya baru tertarik belajar catur ketika 7 tahun. Saat itu saya malu melihat anak yang usianya lebih muda tapi sudah bisa bermain catur.
Sejak itu pula, saya minta ayah mengajari teknik dasar catur. Gayung bersambut, ayah saya begitu bersemangat menulari hobi catur kepada anak lelakinya di usia 7 tahun.
Tanpa sadar, ternyata saya jatuh cinta kepada catur. Ayah saya makin bersemangat ketika skill saya terus meningkat secara alami. Terlebih ketika mampu mengalahkan orang-orang dewasa.
Melihat bakat saya yang berbeda dari anak seumuran, ayah mulai menyusun rencana. Dia mengajak saya berkeliling kampung untuk sekadar mencari lawan tanding.
Setelah berhasil mengalahkan semua pecatur dewasa di daerah kami, ayah tak segan pergi ke kampung-kampung sebelah hanya untuk mendapat lawan tanding setimpal.
Tak jarang, duel keliling kampung disisipi taruhan. Beruntung, saya sukses mengalahkan pecatur dewasa di beberapa tempat. Lumayan, bisa tambah uang jajan.
Baru di usia 7,5 tahun saya mendapat kesempatan tampil di Kejuaraan Daerah (Kejurda) Kelompok Umur (KU) 12 tahun pada 1995 di Cianjur, Jawa Barat.
Di turnamen itu saya terbilang mengejutkan lantaran berhasil meraih peringkat kedua melawan pemain yang usianya lebih tua dari saya. Saat itu, Taufik Halay, juaranya.
Saat itu lumrah Taufik juara, karena dia sudah lebih dulu sekolah catur. Sementara saya adalah pemain alami yang belajar secara otodidak atau lebih banyak bermain dengan feeling.
Kemudian saya ikut Kejurnas catur di tahun yang sama. Seharusnya hanya juara Kejurda Jawa Barat yang dikirim ke Kejurnas, tapi ayah saya minta tolong ke kantor Bupati supaya saya juga diberangkatkan sebagai wakil Jawa Barat.
Bupati akhirnya setuju membiayai dua wakil ke Kejurnas di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada 1995. Saya berhasil meraih peringkat ketiga, sementara Taufik tidak mendapat peringkat.
![]() |
Dua tahun kemudian saya berhasil menjuarai Kejurda Jawa Barat 1997, sementara Taufik runner-up. Saya ingat betul, Husein Nawawi, wasit di Kejurda itu mengirim surat bahwa saya dipanggil sekolah catur Enerpac ke Jakarta.
Tanpa pikir panjang ayah saya menerima tawaran tersebut. Motor miliknya dijual sebagai bekal pergi ke Jakarta. Ayah bahkan sempat berniat menggadaikan sawah milik keluarga kami. Apapun dilakukan ayah untuk mendukung karier saya di dunia catur yang memang sudah jadi hobinya sejak kecil.
Beruntung rencana menggadaikan sawah tidak jadi, karena banyak uluran tangan yang membantu kami. Pemilik sekolah catur mengizinkan ayah dan ibu ikut mendampingi saya ke Jakarta.
Maklum saya masih kecil saat itu dan masih harus didampingi orang tua. Apalagi kala itu saya hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Cirebon. Hahaha...
Sampai di Enerpac, saya ingat dulu lokasinya di kawasan Roxy, Jakarta Barat, saya diminta tanding lawan Taufik. Soalnya mereka heran, kok bisa bocah kampung bisa mengalahkan Taufik yang lebih dulu dapat beasiswa di Enerpac.
Hasilnya imbang 2-2 dan mereka yakin saya punya bakat. Pemilik Enerpac, Eka Putra Wirya, kemudian membiayai tempat tinggal saya bersama orangtua.
Tak lama kemudian kami berangkat ke Prancis untuk mengikuti Kejuaraan Dunia Junior 1997. Saya berhasil meraih peringkat ke-11 dari sekitar 200 peserta.
Setahun di Jakarta, Enerpac pindah ke Bekasi dan berganti nama jadi Sekolah Catur Utut Adianto. Saya tidak tahu persisnya apakah itu dampak dari kerusuhan tragedi Mei 1998, karena saya masih kecil.
Saya bersyukur di sekolah catur yang baru di kawasan Bekasi, saya dibiayai orang tua asuh, Hermansyah. Sekolah formal saya juga ditanggung dan disewakan tempat tinggal.
Tapi setahun berselang, Pak Herman pindah ke Padang dan kami akhirnya menumpang di asrama. Kami tinggal di di lantai empat, karena tiga lantai di bawahnya ruang kelas belajar catur.
Sehari-hari ayah saya bantu bersih-bersih di sana. Saya salut dengan usaha dan perjuangan ayah mendukung karier saya jadi pecatur profesional.
Waktu terus berjalan dan saya makin sering ikut kejuaraan bergengsi. Saya berhasil meraih gelar Master Percasi pada 1997, lalu Master Nasional pada 1999, dan Norma Master Internasional pada 2002.
Kemudian saya berhasil raih gelar Master Internasional/Norma Grand Master pada 2003 dan akhirnya mendapatkan Grandmaster di usia 17 tahun pada 2004. Saya tercatat sebagai GM termuda Indonesia melewati pencapaian idola saya, Utut Adianto, yang meraih gelar GM pada usia 21 tahun.
![]() |
Di level nasional saya mengoleksi empat gelar Kejuaraan Catur Indonesia yaitu pada 2006, 2007, 2009, dan 2010. Kemudian berhasil mempersembahkan tiga medali emas SEA Games yakni pada 2011, 2013, serta 2019.
Saya sudah tiga kali ikut Piala Dunia catur, namun belum bisa meraih hasil terbaik. Prestasi saya terakhir sukses menyabet gelar juara pada turnamen catur Zona 3.3 Asia 2019 di Ulaanbaatar, Mongolia.
Kini target terdekat saya adalah mempertahankan emas di SEA Games 2021 di Vietnam mendatang. Persaingan makin berat karena Vietnam punya pecatur kelas dunia, GM Super Lee Quan Liem. Tapi, kami sudah bertemu beberapa kali dan peluang menang tetap terbuka.
(jun/har)