Kesuksesan cabor angkat besi Indonesia mempersembahkan satu perak dan dua perunggu di Olimpiade Tokyo 2020 ini membuat tradisi medali Olimpiade dari cabor angkat besi tidak pernah putus sejak Olimpiade Sydney 2000.
Cabor angkat besi Indonesia memang belum pernah meraih medali emas di pentas Olimpiade. Namun demikian, cabor angkat besi selalu punya tradisi yang membanggakan dengan selalu meraih medali di ajang multievent empat tahunan tersebut.
Angkat besi Indonesia kali pertama panen medali di Olimpiade Sydney 2000 lewat Lisa Rumbewas (perak), Sri Indriyani (perunggu), dan Winarni Binti Slamet (perunggu).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, di Olimpiade Athena 2004, angkat besi Indonesia kembali sukses menyumbangkan medali perak lewat Lisa Rumbewas. Empat tahun kemudian di Olimpiade Beijing 2008 angkat besi Indonesia kembali panen tiga medali lewat Eko Yuli Irawan (perunggu), Triyatno (perunggu), dan Lisa Rumbewas (perunggu).
Saat berlaga di Olimpiade London 2012 angkat besi Indonesia kembali menyumbangkan tiga medali lewat Triyatno (perak), Citra Febrianti (perak), dan Eko Yuli Irawan (perunggu). Dan, pada Olimpiade Rio 2016 cabor angkat besi sukses meraih dua medali perak lewat Eko Yuli dan Sri Wahyuni Agustiani.
Ini menandakan cabor angkat besi sudah jaminan mutu untuk mendulang medali di Olimpiade. Namun, pengurus cabor angkat besi dan pemerintah Indonesia dalam hal ini tentu tidak boleh puas dan bereuforia setelah hasil yang diraih di Olimpiade Tokyo.
Pasalnya, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan oleh Kemenpora dan Pengurus Besar Persatuan Angkat Besi, Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia (PBPABBSI) demi menjaga tradisi medali dari cabor angkat besi dan mematahkan catatan tak pernah meraih medali emas Olimpiade..
Untuk pola pembinaan PABBSI sejauh ini sudah memiliki sistem yang cukup baik. Hal itu terbukti dengan medali yang selalu mereka sumbangkan untuk Indonesia di Olimpiade. Pola pembinaan untuk mencetak Eko Yuli-Eko Yuli yang baru itu harus terus dipertahankan dan ditingkatkan.
![]() |
Namun, di samping itu untuk meraih medali emas bukan sekadar membutuhkan keringat dan air mata, tetapi juga membutuhkan dana. Pemerintah setidaknya harus berani mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk cabor angkat besi yang sudah jelas-jelas potensial meraih medali.
Seperti diketahui, sejauh ini anggaran negara untuk cabor angkat besi masih kalah dibandingkan sepak bola atau badminton. Bahkan, anggaran cabor angkat besi Indonesia saat ini hanya seperlima dari anggaran untuk sepak bola yang ditaksir mencapai Rp50 miliar per tahun.
Untuk persiapan menuju Olimpiade Tokyo saja cabor angkat besi hanya mendapatkan anggaran Rp10 miliar, meskipun dari PABBSI sendiri memang hanya mengajukan anggaran sebesar Rp12 miliar per tahun untuk pelatnas Olimpiade.
Namun, jika PABBSI memiliki dana yang lebih besar tentu mereka akan lebih leluasa untuk meningkatkan fasilitas latihan, memperbaiki sistem pembinaan atlet dengan membuat kompetisi yang teratur di usia dini, meningkatkan kualitas pelatih, dan biaya try out.
Menpora pun menyadari menyadari angkat besi adalah andalan Indonesia di berbagai ajang bergengsi di dunia. Dalam Grand Design Olahraga Nasional, Menpora juga telah memasukkan angkat besi menjadi salah satu cabor unggulan dengan berencana menyiapkan sentra pembinaan.
Bahkan, Menpora berupaya untuk mempopulerkan olahraga angkat besi dengan menciptakan publik figur dari cabor angkat besi. Upaya ini sangat baik untuk membangun olahraga angkat besi agar bisa mengukir prestasi lebih baik di masa depan. Tapi, rencana Menpora yang tertuang dalam Grand Design diharapkan bukan sekadar teori, tetapi harus dibuktikan secara nyata.
(rhr/rhr/sry)