Jakarta, CNN Indonesia --
Memenangi medali emas di Paralimpiade Tokyo 2020 adalah momen paling spesial dan tak terlupakan sepanjang karier saya. Karena itu adalah ajang olahraga multievent tertinggi di dunia pertama yang saya ikuti.
Saya menilai kemenangan itu adalah puncak dari karier saya sebagai pebulutangkis. Kemenangan itu sangat bermakna, bukan hanya bagi saya, tapi juga untuk rakyat Indonesia. Saya mampu mengukir sejarah setelah 41 tahun Indonesia tidak pernah mendapatkan medali emas.
Makna kemenangan saya kemarin itu juga menjadi wujud terima kasih saya kepada bangsa dan negara, masyarakat, presiden, dan khususnya pemerintah. Pasalnya, saya senang dan bangga pemerintah sekarang sudah menyetarakan kami atlet para [difabel] dengan atlet non-para.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi kemenangan saya itu bukan semata untuk raihan saya sendiri, tapi lebih ke penyetaraan yang ada sekarang. Walaupun, sebenarnya kami sudah merasakan perhatian dari pemerintah kepada atlet difabel itu sejak 2016 dan semakin lebih baik hingga sekarang.
Sekarang dengan dukungan pemerintah dan media membuat olahraga difabel menjadi lebih dikenal dan didukung. Itu yang kami rasakan saat kemenangan di Paralimpiade Tokyo.
Meraih medali emas pertama di nomor ganda putri Paralimpiade Tokyo juga membuat saya plong. Karena target dari NPC [National Paralympic Committee) Indonesia adalah kita bisa meraih emas. Dan sewaktu saya main di final, kontingen Indonesia belum dapat medali emas.
 Leani Ratri meraih dua medali emas di Paralimpiade Tokyo. (REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA) |
Sementara saya bertanding di tiga nomor dan semuanya final. Final itu artinya peluangnya masih 50-50. Saya bisa dapat emas atau perak dan di final semua hal bisa terjadi.
Misal saya sudah mencapai poin 19 atau 20, walaupun keunggulan saya jauh dengan lawan, tapi untuk mendapatkan satu poin itu susah sekali.
Jadi berada di poin 19 atau 20, saya itu belum yakin menang. Saya berusaha untuk mengontrol diri saya agar tetap fokus, main aman, hati-hati, dan tidak seenaknya bermain. Barulah setelah menang saya bisa plong.
Itu rasanya melegakan sekali karena target NPC itu sudah tercapai. Kemenangan di Paralimpiade juga terasa sangat berbeda meskipun saya sudah sering menang di berbagai kejuaraan, baik Asia, dunia, maupun ASEAN.
Tetapi rasanya belum komplet kalau saya belum juara di Paralimpiade. Kalau sekarang sebagai seorang atlet saya benar-benar sudah menorehkan prestasi komplet. Meskipun saya tidak akan pernah puas.
Kalau kemarin saya bisa mendapatkan tiga medali emas mungkin saya bisa berkata 'Apa lagi yang mau saya kejar', tetapi berhubung saya kehilangan medali emas di nomor tunggal putri, artinya masih ada yang harus saya kejar ke depan.
Berbicara persiapan menjelang final ganda putri badminton di Paralimpiade Tokyo 2020, saya dan pasangan saya tidak melakukan persiapan yang aneh-aneh atau sedemikian rupa.
Saya pribadi karena tampil di tiga nomor, saya lebih banyak istirahat. Saya juga tidak terlalu memikirkan apa yang akan terjadi lapangan. Saya enjoy saja jelang pertandingan.
Ketika berada di lapangan juga saya hanya fokus ke pertandingan, tidak fokus pada penonton atau hal-hal lain di luar lapangan.
Saya dan pasangan saya itu [Khalimatus Sadiyah] orang yang santai sebelum masuk lapangan. Bahkan dari penyisihan hingga final, saya malah tidak pernah tahu lawan saya siapa. Yang saya tahu hanya jam main saya. Saya tidak pernah cari tahu lawan saya siapa.
Lagipula lawan-lawan saya juga sudah sering ketemu di berbagai kejuaraan. Saya juga pernah marah sama Khalimatus Sadiyah jika dia menanyakan tentang lawan.
Intinya ketika masuk lapangan saya fokus menyelesaikan di gim itu di nomor itu. Saya juga tidak pernah memikirkan partai berikutnya, karena kalau memikirkan pertandingan lain pikiran saya akan terbagi, dan itu adalah kerugian buat saya.
Saya juga tidak punya ritual khusus sebelum pertandingan. Dari hotel biasanya saya sudah memakai baju pertandingan, jadi tidak pernah ganti pakaian di ruang ganti.
Paling sebelum pertandingan saya biasanya beristirahat di ruang pemanasan. Saya juga biasanya gelar tikar lalu saya tidur. Atau video call dengan keluarga atau suami.
Jelang final juga tidak ada perasaan deg-degan karena memang saya sudah biasa menghadapi pertandingan besar seperti ini.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Tapi tidak ada yang tahu kalau kemarin itu sebenarnya saya sedang cedera. Jadi Mei [2021] saya divonis terkena cedera meniscus, jadi otot lutut kiri saya robek. NPC pun panik mendengar kabar tersebut, tanpa disadari air mata saya pun menetes ketika mendengar kabar itu dari dokter.
Saya langsung berpikir: 'Tuhan ini event sudah dekat, beberapa waktu yang lalu saat sejumlah event batal karena pandemi Covid-19, saya tidak cedera. Tapi kenapa event sudah dekat saya dinyatakan cedera'. Wah, saat itu saya langsung down.
Dokter dan tim fisioterapis sampai memegang pundak saya dan berkata 'kami tahu bebanmu berat, tampil di tiga nomor, kamu tumpuan, kamu baiknya didampingi psikolog saja'. Tetapi saya menolak karena menurut saya tidak perlu didampingi psikolog.
Namun, saya bilang saya tidak mau keluarga, suami, masyarakat, dan lawan tahu saya cedera. Saya bilang ke semuanya, saya tidak mau berita ini diekspos.
Dokter juga bilang seharusnya saya tidak boleh gerak sama sekali selama enam bulan. Tapi saya bilang saya bisa gila kalau tidak latihan.
Pada akhirnya pengurus mengizinkan saya berlatih dengan jadwal tertentu tapi dengan didampingi fisioterapis. Saya pun mengikuti arahan pengurus, tapi lama-kelamaan kok saya tidak nyaman ke mana-mana didampingi fisioterapis.
Misal latihan jam 8, saya harus datang jam 7 dengan diawali latihan bersama fisioterapis dengan gerakan-gerakan yang membosankan. Akhirnya saya bilang ke tim fisioterapis 'Niat kalian baik, tapi saya kurang nyaman'.
Tetapi kami pun bisa saling mengerti. Saya mengerti itu tanggung jawab mereka, karena kalau saya melakukan gerakan yang berlebihan bisa membuat cedera saya makin parah. Mereka juga selalu mengingatkan kalau latihan saya berlebihan.
Memang rasa sakit itu baru muncul ketika selesai latihan. Akibatnya, saya harus rutin melakukan terapi setiap hari. Jadi hari-hari saya jelang Paralimpiade yaitu latihan dan terapi.
Saya juga tidak mau memakai deker saat bertanding di Paralimpiade, karena saya tidak mau lawan tahu kalau saya sedang cedera. Walaupun hal itu tidak bisa saya hindari saat pertandingan final yang mengharuskan saya memakai deker.
 Leani Ratri jadi bintang kontingen Indonesia di Paralimpiade Tokyo. (REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA) |
Saya memang tidak ingin menunjukkan kalau saya sedang sakit, padahal di belakang itu saya masih harus recovery dan tim fisioterapi juga selalu mendampingi. Selesai Paralimpiade barulah tim fisioterapi cerita ke semua orang kalau saya cedera.
Di final sebenarnya saya juga sudah tidak kuat, bahkan dari awal Paralimpiade saya sudah menghemat-hemat tenaga karena masih dalam masa pemulihan. Tetapi saya selalu berusaha meyakinkan diri saya sendiri. Saya pasti bisa. Termasuk di final tunggal putri, saya sebenarnya mau ngotot.
Cuma karena saya terkena agenda tes doping [random] yang tesnya itu berlangsung hingga dini hari, sehingga membuat saya kurang istirahat. Secara mental saya kuat, tapi secara kondisi saya tidak membohongi. Saya tidur jam 2 dini hari dan harus bangun jam 6 pagi untuk berangkat ke venue.
Sampai tim fisioterapi meminta maaf kepada saya karena tidak bisa memberikan recovery semaksimal mungkin, tapi mau bagaimana lagi itu harus dijalani. Karena menolak tes doping itu tidak mungkin, karena itu suatu pelanggaran.
Andai saya bisa istirahat lebih cukup dari itu, saya yakin hasilnya bisa lebih baik dari medali perak tunggal putri Paralimpiade.
Tetapi kejadian itu memotivasi saya untuk lebih giat berlatih ke depannya, karena kalau saya bisa meraih tiga emas mungkin beda ceritanya lagi. Karena dengan meraih tiga medali emas di tiga nomor berbeda, apa lagi yang mau saya kejar?
Namun apapun hasil yang telah didapatkan, saya selalu bersyukur. Apalagi saat saya memenangi medali emas Paralimpiade saya mendapatkan ucapan selamat dari idola saya Carolina Marin [pebulutangkis asal Spanyol].
Jadi kemarin lewat aplikasi Helo dia ngetag saya dengan mengucapkan congratulations. Saya terkejut dan juga sangat senang. Saya mengidolakan Carolina Marin karena dia selalu tampil semangat dan ngotot di setiap pertandingan.
Untuk tampil di Paralimpiade Paris 2024 mendatang, tentu kalau saya diberikan kesehatan dan panjang umur, saya ingin ke sana. Terutama untuk pecah telur medali emas di tunggal putri itu.
Saya juga belum berpikir soal pensiun, karena rekan-rekan saya juga masih ada yang bermain hingg usia 40-50. Jadi selama saya masih mampu bersaing, saya akan main terus.
Di sisi lain saya juga berharap media dan masyarakat bisa menyetarakan mengenai atlet difabel dan atlet non difabel. Karena dengan media mengekspos atlet difabel, paling tidak kami mudah untuk mendapatkan sponsor.
[Gambas:Video CNN]